Breaking News

REDEFINISI KEBERLANJUTAN: DARI FORMALITAS PELAPORAN DAN PERBAIKAN PROSES BISNIS SEMATA MENUJU KE PERUBAHAN RADIKAL INTI BISNIS


Oleh: Makin Perdana Kusuma, Depok, 30 Juni 2025
Laksana ilusi optik yang membuat kita merasa bergerak maju padahal hanya berputar di tempat, narasi keberlanjutan seringkali terjebak dalam jebakan "tetap melakukan hal yang buruk tapi dengan cara yang sedikit lebih baik." Padahal, definisi awal dari pembangunan berkelanjutan adalah "pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang" (WCED, 1987). Namun, kebenaran yang tak terhindarkan adalah: keberlanjutan sejati bukan tentang melakukan hal yang buruk dengan cara yang sedikit lebih baik, melainkan tentang berhenti melakukan hal buruk itu sama sekali. Ini adalah panggilan tegas bagi perusahaan-perusahaan besar untuk berani mengambil langkah radikal—bukan hanya memperbaiki proses bisnis dan melaporkannya, tetapi mengubah inti bisnis mereka sama sekali. Jika tidak, kesuksesan finansial mereka akan terus dibayar dengan kerusakan lingkungan yang semakin parah, dan dunia akan menanggung akibatnya. Ini adalah drama eksistensial antara stagnasi yang nyaman dan revolusi yang mendesak.

Paradigma keberlanjutan yang umum saat ini seringkali berfokus pada "efisiensi hijau" atau "mitigasi dampak". Perusahaan berinvestasi pada teknologi yang lebih hemat energi, mengurangi emisi karbon, atau mengelola limbah dengan lebih baik. Meskipun langkah-langkah ini patut diapresiasi, mereka seringkali hanya merupakan "perbaikan kosmetik" (Hawken, 1993). Jika model bisnis inti sebuah perusahaan masih didasarkan pada ekstraksi sumber daya yang berlebihan, konsumsi sekali pakai, atau polusi sistemik, maka perbaikan marginal hanya memperlambat, bukan menghentikan, laju kerusakan. Ini seperti mencoba mengosongkan bak mandi yang airnya terus mengalir dari keran yang rusak—masalah sebenarnya ada pada kerannya.

Konsep "menghentikan praktik buruk itu sama sekali" menuntut lebih dari sekadar optimasi proses; ia menuntut "pemikiran ulang fundamental" terhadap inti bisnis itu sendiri. Ini berarti mengevaluasi kembali bagaimana nilai diciptakan, disampaikan, dan ditangkap. Perusahaan kini didorong untuk mengadopsi model ekonomi sirkular (Ellen MacArthur Foundation, 2013), di mana produk dirancang untuk umur panjang dan dapat didaur ulang sepenuhnya. Selain itu, definisi kesuksesan korporat harus melampaui laba semata menuju "penciptaan nilai bersama" (Porter & Kramer, 2011), di mana keuntungan ekonomi selaras dengan kemajuan sosial dan lingkungan. Perubahan ini memerlukan pemahaman baru tentang pendanaan korporasi, seperti yang dianalisis dalam studi mengenai masa depan keuangan (Walch, 2019), yang menuntut mekanisme investasi yang lebih bertanggung jawab.

Sejarah penuh dengan contoh di mana kesuksesan finansial perusahaan dibayar mahal oleh kerusakan lingkungan. Perusahaan minyak dan gas bumi raksasa, meskipun kini berupaya mengurangi emisi, inti bisnisnya masih bergantung pada ekstraksi dan pembakaran bahan bakar fosil, kontributor utama perubahan iklim. Perusahaan pertambangan mineral dan batubara seringkali didera kasus deforestasi dan pencemaran air akibat limbah, terlepas dari upaya reklamasi lahan, dan lebih dari itu batubara adalah emisi karbon terbesar setelah minyak. Lebih jauh ke belakang, industri yang memproduksi CFC meraup keuntungan besar sebelum dampak destruktifnya terhadap lapisan ozon terungkap. Contoh-contoh ini menggarisbawahi bahwa perbaikan parsial tidak cukup; perubahan fundamental dari inti model bisnis adalah keharusan. Seperti halnya membangun sebuah arsitektur yang kokoh harus dimulai dari pondasi yang kuat, bukan sekadar hiasan luar (Wiryomartono, 2005), transformasi bisnis harus dimulai dari kerangka berpikirnya.

Implikasi dari kegagalan untuk melakukan transformasi radikal ini sangatlah mengerikan. Jika perusahaan-perusahaan besar terus melanjutkan pendekatan "bisnis seperti biasa" dengan sedikit perbaikan, "kesuksesan finansial mereka akan terus dibayar dengan kerusakan lingkungan yang semakin parah." Kerusakan ini bukan hanya berupa polusi atau deforestasi, tetapi juga hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim ekstrem, kelangkaan air, dan dampaknya terhadap kesehatan manusia serta stabilitas sosial. Pada akhirnya, "dunia akan menanggung akibatnya"—sebuah warisan yang tidak hanya mengancam keberlangsungan alam, tetapi juga pondasi peradaban manusia itu sendiri.

Pada akhirnya, seruan untuk "menghentikan praktik buruk itu sama sekali" bukanlah utopia, melainkan "sebuah keharusan moral dan strategis". Ini adalah "gaung kebenaran" yang menuntut setiap pemimpin, setiap korporasi, untuk melihat melampaui metrik keuangan dan merangkul tanggung jawab yang lebih besar terhadap planet dan generasi mendatang. Ini juga menuntut reorientasi dalam pendidikan dan kekuasaan untuk menciptakan pemimpin yang berintegritas dan sadar lingkungan (Tilaar, 2012). Seperti halnya ritual adat yang memiliki makna mendalam di balik simbolnya (Susanto, 2014), praktik bisnis harus memiliki nilai etis yang otentik, bukan sekadar pertunjukan publik. Marilah kita, dengan "keberanian dan integritas", merumuskan ulang definisi kesuksesan, tidak lagi sebagai akumulasi kekayaan semata, tetapi sebagai "penciptaan dunia yang lebih sehat, adil, dan lestari" bagi semua. Hanya melalui "transformasi radikal" inilah, keberlanjutan sejati akan tercapai, dan kita dapat menyelamatkan rumah bersama kita.

Referensi:
• Ellen MacArthur Foundation. (2013). Towards the circular economy: An economic and business rationale for an accelerated transition.
• Hawken, P. (1993). The Ecology of Commerce: A Declaration of Sustainability. HarperBusiness.
• Porter, M. E., & Kramer, M. R. (2011). Creating Shared Value. Harvard Business Review, 89(1/2), 62-77.
• Susanto, B. (2014). Mengenal Ritual dan Upacara Adat Jawa. Pustaka Baru Press.
• Tilaar, H. A. R. (2012). Kekuasaan dan Pendidikan: Studi Kasus Pendidikan Nasional. Rineka Cipta.
• Walch, A. (2019). The ICO, the token, and the future of corporate finance. Harvard Business Law Review, 7, 229-301.
• World Commission on Environment and Development (WCED). (1987). Our common future. Oxford University Press.
• Wiryomartono, B. (2005). The architecture of traditional Lombok: A study of spatial organizations and community values. Gadjah Mada University Press.

________________________________________
“MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM