Oleh: Makin Perdana Kusuma - Depok, 22 Juni 2025.
Laksana nahkoda yang mempercayai kompas usang di tengah samudra "kekeliruan", kita seringkali berlayar dalam kehidupan dengan keyakinan penuh pada "pikiran" kita. Namun, benarkah ia kompas yang tak pernah salah? Sesungguhnya, pikiran adalah "produk dari conditioning", serangkaian "refleks" yang terbentuk oleh lingkungan dan pengalaman (Pavlov, 1927). Ia adalah "bentukan pemrograman sosial", narasi dan nilai yang ditanamkan oleh keluarga, budaya, dan masyarakat (Bandura, 1977). Ia berdenyut mengikuti "impuls hormonal" yang tak terduga (Cahill, 2005) dan "impuls serebral" yang kadang irasional (Libet, 1985). Terlebih lagi, ia "terdistorsi" oleh "bias kognisi" dan "heuristik", jalan pintas mental yang seringkali menyesatkan persepsi dan penilaian kita (Tversky & Kahneman, 1974). Maka, "jangan percaya sepenuhnya pada pikiranmu", sebab ia adalah panggung sandiwara di mana berbagai pengaruh bermain peran, seringkali tanpa kita sadari.
Pikiran kita, sejak dini, dibentuk oleh proses "conditioning". Pengalaman berulang, baik positif maupun negatif, menciptakan asosiasi dan pola pikir yang "membentuk diri" (Skinner, 1938). Selain itu, "pemrograman sosial" memainkan peran krusial dalam membentuk keyakinan dan nilai-nilai kita. Norma-norma masyarakat, ajaran agama, dan ideologi politik secara halus maupun tegas menanamkan cetakan pemikiran yang mempengaruhi bagaimana kita memahami diri sendiri dan dunia di sekitar (Berger & Luckmann, 1966). Lebih jauh lagi, otak kita secara alami sering mengandalkan "heuristik" atau jalan pintas mental untuk memproses informasi dan membuat keputusan dengan cepat berdasarkan pengalaman dan pola kebiasaan (Kahneman, 2011). Meskipun seringkali efektif, heuristik ini dapat menyebabkan kesalahan sistematis, membentuk cara kita berpikir tanpa kita sadari. Tanpa kesadaran diri yang mendalam, kita seringkali hanya mengulang narasi dan keyakinan yang diwariskan, tanpa mempertanyakannya lebih lanjut.
Rasionalitas pikiran seringkali terganggu oleh gelombang "impuls hormonal". Hormon seperti testosteron dan estrogen tidak hanya mengatur fungsi biologis, tetapi juga memengaruhi mood, motivasi, dan pengambilan keputusan (van Honk & Schutter, 2008). Di sisi lain, "impuls serebral" yang berasal dari bagian otak purba, seperti sistem limbik, dapat memicu reaksi emosional dan intuitif yang mendahului pemikiran sadar (LeDoux, 1996). Fenomena "reaksi cepat" ini seringkali mengesampingkan pertimbangan logis dan membawa kita pada keputusan impulsif.
Pikiran kita rentan terhadap berbagai "bias kognisi", yaitu pola "sistematik" kesalahan dalam berpikir yang mempengaruhi bagaimana kita memproses informasi dan membuat penilaian (Tversky & Kahneman, 1974). Contohnya adalah "bias konfirmasi", kecenderungan untuk mencari dan menafsirkan informasi yang sesuai dengan keyakinan yang sudah ada, sambil mengabaikan bukti yang bertentangan (Nickerson, 1998). Ada pula "bias jangkar", di mana kita terlalu bergantung pada informasi pertama yang kita terima saat membuat keputusan (Tversky & Kahneman, 1974). Bias-bias ini bekerja secara otomatis dan sering tanpa kita menyadarinya, "secara sistematik" mendistorsi pandangan kita tentang realitas.
Mengingat betapa kompleks dan dipengaruhinya pikiran kita, "percaya sepenuhnya" padanya tanpa "reservasi" dapat menjadi langkah yang berbahaya. Kesadaran akan berbagai faktor yang membentuk pemikiran kita adalah kunci pertama untuk "pemikiran yang lebih jernih dan objektif". Mengembangkan "pemikiran kritis", kemampuan untuk menganalisis informasi secara logis, mengevaluasi bukti, dan mempertimbangkan berbagai perspektif, menjadi esensial (Facione, 1990). Dengan memahami keterbatasan dan potensi kesalahan pikiran, kita dapat belajar untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan dan membentuk keyakinan.
Perjalanan pengenalan diri adalah labirin yang tak berujung, di mana pikiran kita secara bersamaan berfungsi sebagai peta dan jebakan. Menyadari bahwa ia adalah produk dari berbagai pengaruh bukanlah alasan untuk menolaknya, melainkan undangan untuk menjelajahinya dengan lebih bijaksana. Seperti seorang arkeolog yang menggali lapisan sejarah, kita perlu mengupas lapisan "conditioning, pemrograman sosial, impuls, dan bias" yang membentuk pemikiran kita untuk mencapai inti kesadaran yang lebih autentik. Dengan "mewaspadai" setiap bisikan pikiran, mempertanyakan setiap asumsi, dan mengembangkan "kesadaran metakognitif"—kesadaran tentang proses berpikir kita sendiri—kita dapat membebaskan diri dari "ilusi" kepastian dan merangkul ketidakpastian dengan kebijaksanaan. Inilah jalan menuju "kebebasan kognitif", di mana kita tidak lagi menjadi korban "refleks" dan "kekeliruan", melainkan nahkoda yang sadar dalam pelayaran eksistensi.
------SELESAI------
Referensi:
• Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. Prentice Hall.
• Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. Doubleday.
• Cahill, L. (2005). Sex-related modulation of memory consolidation. Current Directions in Psychological Science, 14(2), 122-126.
• Facione, P. A. (1990). Critical Thinking: A Statement of Expert Consensus for Purposes of Educational Assessment and Instruction. The California Academic1 Press.
• Kahneman, D. (2011). Thinking, Fast and Slow. Farrar, Straus and Giroux.
• LeDoux, J. E. (1996). The Emotional Brain: The Mysterious Underpinnings of Emotional Life. Simon & Schuster.
• Libet, B. (1985). Unconscious cerebral initiative and the role of conscious will in voluntary action.2 Behavioral and Brain Sciences, 8(4),3 529-566.
• Nickerson, R. S. (1998). Confirmation bias: A ubiquitous phenomenon in many guises. Review of General Psychology, 2(2), 175-220.
• Pavlov,4 I. P. (1927). Conditioned Reflexes: An Investigation of the Physiological Activity of the Cerebral Cortex. Oxford University Press.
• Skinner, B. F. (1938). The Behavior of Organisms: An Experimental Analysis. Appleton-Century.5
• Tversky, A., & Kahneman, D. (1974). Judgment under Uncertainty: Heuristics and Biases. Science, 185(4157), 1124-1131.
• van Honk, J., & Schutter, D. J. L. G. (2008). Testosterone and selective attention to social threat in humans. Psychoneuroendocrinology, 33(9), 1275-1280.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header