Oleh: Makin Perdana Kusuma – Depok, 13 Juni 2025
Konsep "hedonic adaptation" yang diperkenalkan oleh Philip Brickman dan Donald Campbell (1971) menggambarkan kecenderungan manusia untuk kembali ke kondisi awal (baseline state) setelah mengalami peristiwa yang tidak biasa, baik positif ataupun negatif, dalam hidup. Fenomena ini menunjukkan bahwa "peningkatan kebahagiaan maupun penderitaan akibat perubahan eksternal bersifat sementara" (Brickman & Campbell, 1971, hal. 287). Sementara itu, di Jawa, seorang filsuf dan tokoh spiritual Ki Ageng Suryomentaram (20 Mei 1892 – 18 Maret 1962) sebelum itu juga telah mengembangkan konsep sejenis, yang disebutnya dengan "mulur-mungkret" (mengembang-mengempis) yang diperkaya dengan perangkat “Kawruh Begja” (Ilmu Kebahagiaan) yang menekankan pemahaman mendalam tentang rasa bahagia (begja) yang bersumber dari dalam diri dan penerimaan.
"Hedonic adaptation" atau "adaptasi hedonis" menjelaskan bahwa ketika individu mengalami peningkatan dalam kondisi kehidupan, seperti kenaikan gaji atau kepemilikan barang baru, mereka merasakan kebahagiaan sesaat. Namun, seiring waktu, mereka "beradaptasi dengan keadaan baru tersebut" (Frederick & Loewenstein, 1999) dan tingkat kebahagiaan mereka kembali ke titik awal. Sebaliknya, ketika terjadi peristiwa negatif, meskipun awalnya menimbulkan ketidakbahagiaan, individu cenderung "memulihkan diri dan kembali pada tingkat keadaan yang relatif stabil" (homeostasis) (Gilbert et al., 1998). Konsep ini menekankan bahwa "kebahagiaan jangka panjang tidak ditentukan oleh perubahan eksternal" semata.
Sejalan dengan itu, konsep "mulur-mungkret" dari Ki Ageng Suryomentaram sangat relevan. "Mulur-mungkret" secara harfiah berarti "melar-menciut" atau "mengembang-mengempis", merujuk pada "perasaan dan keinginan manusia yang selalu berubah dan tidak statis" (Suryomentaram, 1930/2003).
Ketika seseorang mendapatkan sesuatu yang diinginkan, perasaannya "mulur" (mengembang) dan merasa senang, namun tidak lama kemudian akan "mungkret" (menciut) dan kembali ke kondisi netral atau bahkan mencari keinginan baru. Sebaliknya, ketika menghadapi kesulitan, perasaan bisa "mungkret", namun kemudian akan "mulur" kembali. Konsep "mulur-mungkret" ini secara paralel "menggambarkan dinamika adaptasi hedonis", di mana puncak kebahagiaan atau kesedihan bersifat sementara dan "manusia cenderung kembali ke titik setimbang emosional" (homeostasis) mereka.
Dalam konteks konsep di atas, “Kawruh Begja” dari Ki Ageng Suryomentaram menawarkan perspektif dan perangkat praktis yang sinambung namun dengan penekanan pada dimensi internal. "Begja iku ana ing atine dhewe" (bahagia itu ada di dalam hati sendiri) adalah salah satu ajaran pokoknya. Ilmu ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada "olèh-olèhan" (mendapatkan sesuatu dari luar), melainkan pada kemampuan "nrima ing pandum" (menerima apa adanya)/(acceptant) dan "sumeleh" (berserah diri dengan ikhlas)/(surrender) terhadap keadaan saat ini (Suryomentaram, 1930/2003). Ki Ageng Suryomentaram menekankan pentingnya "kesadaran diri" (eling) dan "pengendalian diri" (awas) untuk mencapai ketenangan batin dan kebahagiaan yang berkelanjutan.
Keterkaitan antara "hedonic adaptation", "mulur-mungkret", dan “Kawruh Begja”, terletak pada penolakan ketiganya terhadap gagasan bahwa kebahagiaan sejati dapat ditemukan semata-mata melalui pencapaian eksternal. "Hedonic adaptation" secara empiris menunjukkan keterbatasan kebahagiaan yang bersumber dari perubahan kondisi luar.
"Mulur-mungkret" secara intuitif menjelaskan sifat dinamis dan tidak abadi dari perasaan yang terkait dengan pemenuhan keinginan material. Sementara itu, “Kawruh Begja” secara filosofis menawarkan jalan keluar dari lingkaran ini melalui latihan "inner peace" (ketenangan batin) dan "contentment" (kepuasan). Dengan memfokuskan diri pada penerimaan diri dan kondisi saat ini, individu dapat "melepaskan keterikatan pada hasil atau perubahan eksternal" (Kornfield, 1993) sebagai syarat kebahagiaan. Alih-alih terus menerus mengejar "olèh-olèhan" yang memicu "mulur-mungkret" yang tidak berkesudahan, “Kawruh Begja” mengajak untuk "menemukan kekayaan batin" dan "rasa syukur" dalam setiap momen kehidupan. Dengan demikian, kebahagiaan tidak lagi menjadi ilusi yang terus bergerak menjauhi, melainkan "kondisi batin yang dapat diakses dan dipelihara" terlepas dari naik turunnya keadaan eksternal.
Harmoni antara konsep Barat dan Timur ini menegaskan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tujuan yang dapat dicapai melalui akumulasi kepemilikan atau pengalaman eksternal. “Kebahagiaan sejati adalah sebuah proses adaptasi internal dan penerimaan”. Dengan memahami "hedonic adaptation", kita sadar bahwa gairah dan kesedihan adalah gelombang alami yang datang dan pergi. Melalui "mulur-mungkret", kita diajak untuk melihat dinamika keinginan sebagai bagian tak terhindarkan dari eksistensi. Ini bukan berarti sikap pasrah tanpa upaya, tapi dalam kejernihan pikiran dan hati meniti jalan untuk “menciptakan ketenangan di tengah ombak dan badai” untuk menemukan Kembali “kebahagiaan” yang sebenarnya sudah ada dan selalu ada di dalam diri, agar kita dapat menjalani hidup dengan “kedamaian yang sejati dan lestari”.
Referensi
Brickman, P., & Campbell, D. T. (1971). Hedonic relativism and planning the good society. In M. H. Appley (Ed.), Adaptation Level Theory: A Symposium1 (pp. 287-302). Academic Press.
Frederick, S., & Loewenstein, G. (1999). Hedonic adaptation. In D. Kahneman, E. Diener, & N. Schwarz (Eds.), Well-being: The foundations of hedonic psychology (pp. 302-329).2 Russell Sage Foundation.3
Gilbert, D. T., Pinel, E. C., Wilson, T. D., Blumberg, S. J., & Wheatley, T. P. (1998). Immune neglect: A source of durability bias in affective forecasting. Journal of4 Personality and Social Psychology, 75(3), 617–638.5
Kornfield, J. (1993). A Path With Heart: A Guide Through the Perils and Promises of Spiritual Life. Bantam Books.
Suryomentaram, K. A. (2003). Ilmu Begja (Cetakan ke-7). Yayasan Idayu. (Karya asli diterbitkan tahun 1930)
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header