Breaking News

POLITIK KANTOR: TAK MENGENAL ENTITAS LOKAL MAUPUN INTERNASIONAL


Oleh: Makin Perdana Kusuma - Depok, 16 Juni 2025
Dia seperti bayangan abadi yang merayap di lorong-lorong kekuasaan setiap perusahaan, dia bukanlah anomali, melainkan sebuah fenomena universal. Politik kantor menari di setiap panggung korporasi, bahkan mulai dari lapak usaha desa yang sederhana hingga menara-menara kaca perusahaan tingkat dunia. Dari CV mungil yang baru menapakkan kakinya di dunia usaha hingga raksasa internasional yang terdaftar di bursa. Di setiap jaring laba-laba hierarki, di setiap sudut meja kerja, politik kantor adalah denyut nadi yang tak terhindarkan, drama tanpa naskah yang selalu dimainkan di pentas pengaruh dan kekuasaan, sebuah simfoni ambisi yang abadi (Mintzberg, 1983; Pfeffer, 1992). Perang sunyi di mana ambisi, kepentingan pribadi, dan perebutan kekuasaan berbaur dalam sebuah koreografi tarian yang rumit. Setiap percakapan di koridor, setiap senyum di ruang rapat, bisa jadi adalah bagian dari siasat, sebuah strategi dalam permainan catur yang tak pernah berhenti. Di antara dinding-dinding labirin ini, reputasi dipertaruhkan, karier bisa melesat atau meleset terjerembap, dan kemanusiaanpun seringkali menjadi korban dari pertarungan yang sunyi namun brutal ini.

Politik kantor, atau yang dikenal sebagai “political behavior in organizations” (Mintzberg, 1983), merujuk pada aktivitas-aktivitas yang tidak secara resmi diakui sebagai bagian dari peran formal, namun memengaruhi distribusi kekuasaan dalam menciptakan rugi-laba dalam organisasi. Ini seringkali melibatkan “penggunaan pengaruh dan kekuasaan” (Pfeffer, 1992) untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompok, yang mungkin tidak selalu selaras dengan tujuan organisasi. “Lingkungan kerja yang kompetitif” (Ferris et al., 2007) dapat memperkuat dinamika ini, memicu individu untuk terlibat dalam manuver politik demi keuntungan pribadi.

Salah satu aspek krusial dari politik kantor adalah “penyusunan aliansi dan jaringan” (Kaplan et al., 2011). Individu secara strategis menjalin hubungan dengan rekan kerja, atasan, atau bahkan bawahan untuk mendapatkan dukungan, informasi, atau sumber daya yang diperlukan. Ini bukan hanya tentang kemampuan teknis, melainkan “keterampilan interpersonal dan negosiasi” (Kolb & Williams, 2003) yang kuat. Namun, sisi gelapnya bisa melibatkan “pembentukan klik atau lingkaran konspirasi” (Krackhardt & Brass, 1992) yang bertujuan untuk mengeksklusi atau melemahkan pihak lain, menciptakan “lingkungan kerja yang toksik” (Frost, 2003).

Tekanan psikologis dalam politik kantor juga signifikan. Individu yang terlibat seringkali menghadapi “dilema etis” (Trevino & Nelson, 2017), di mana mereka harus menimbang antara integritas pribadi dan karier. Tingginya tingkat “ketidakpastian dan ambiguitas peran” (Kahn et al., 1964) dalam lingkungan politik dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan bahkan burnout (Maslach & Leiter, 2016). Selain itu, “persepsi ketidakadilan” (Adams, 1965) yang muncul dari keputusan atau promosi yang didasari oleh politik, bukan meritokrasi, dapat merusak moral dan produktivitas karyawan.

Strategi dalam politik kantor seringkali melibatkan “image management” (Goffman, 1959), yang dalam bahasa Indonesia pergaulan disebut dengan “mencari muka”, di mana individu secara sadar dan sengaja membentuk citra diri mereka di mata orang lain untuk memengaruhi persepsi. Ini bisa berupa “pujian yang berlebihan” (Wayne & Ferris, 1989), menunjukkan kesetiaan buta, atau bahkan “manipulasi informasi” (Dirks & Ferrin, 2002) untuk keuntungan pribadi. Pada tingkatan yang lebih ekstrem, ada juga perilaku bullying dan agresifitas di tempat kerja (Einarsen et al., 2009) yang digunakan untuk menyingkirkan pesaing atau mengamankan posisi, menciptakan iklim ketakutan.

Pada akhirnya, labirin politik kantor adalah cerminan kompleksitas sifat manusia—perpaduan antara ambisi, ketakutan, dan keinginan untuk bertahan hidup. Di sana, kesuksesan sering kali diraih dengan harga mahal, bukan hanya dalam bentuk jam kerja yang panjang, tetapi juga pada terkikisnya integritas, koyaknya kepercayaan, dan terkadang, hilangnya esensi kemanusiaan. Saat pintu kantor ditutup dan lampu-lampunya meredup, menyisakan jejak hari yang melelahkan, para aktor dalam drama ini, dalam keheningan malam, mungkin merenung: apakah kemenangan di medan pertempuran ini sepadan dengan segala intrik dan pengorbanan yang telah dilakukan? Apakah kursi kekuasaan di puncak hierarki yang diperoleh dengan jalan ini benar-benar membawa kepuasan abadi, ataukah ia hanyalah sebuah singgasana sunyi yang dibangun di atas reruntuhan kehancuran relasi dan nilai-nilai kemanusiaan yang terabaikan, yang meninggalkan luka yang menganga di dalam jiwa para kolega? Dan bisa jadi kesempatan untuk mengalami “hidup yang benar dan baik” sebagai manusia terlewatkan, yang di penghujung usia kelak akan menjadi kegetiran dan penyesalan.

Referensi:
Adams, J. S. (1965). Inequity in social exchange. In L. Berkowitz (Ed.), Advances in experimental social psychology (Vol. 2, pp. 267–299). Academic Press.
Dirks, K. T., & Ferrin, D. L. (2002). Trust in leadership: Meta-analytic findings and implications for research and practice. Journal of Applied Psychology,1 87(4), 611–628.
Einarsen, S., Hoel, H., Zapf, D., & Cooper, C. L. (2009). Bullying and harassment in the workplace: Developments in theory, research, and practice. CRC Press.
Ferris, G. R., Treadway, D. C., Brouer, R. L., & Munyon, T. P. (2007). Political skill in the organizational sciences. Journal of Management, 33(3), 290–320.
Frost, P. J. (2003). Toxic emotions at work: How contempt, envy, and anger undermine companies and careers. Harvard Business School Press.
Goffman, E. (1959). The presentation of self in everyday life. Doubleday.
Kahn, R. L., Wolfe, D. M., Quinn, R. P., Snoek, J. D., & Rosenthal, R. A. (1964). Organizational stress: Studies in role conflict and ambiguity. John Wiley & Sons.2
Kaplan, S., O’Connor, K., & Orlikowski, W. J. (2011). The dynamics of power and influence in organizational decision making: An interpretive perspective. Organization Science, 22(4), 863–880.
Kolb, D. M., & Williams, J. (2003). The shadow negotiation: How women can master the hidden agendas that determine bargaining success. W. W. Norton & Company.
Krackhardt, D., & Brass, D. J. (1992). Intraorganizational networks: The micro-macro link. Academy of Management Review, 17(1), 127–146.
Maslach, C., & Leiter, M. P. (2016). Burnout: The New World View. In C. L. Cooper & J. C. Quick (Eds.), The handbook of stress and health: A guide to research and practice (pp. 523–542). Wiley-Blackwell.
Mintzberg, H. (1983). Power in and around organizations. Prentice-Hall.
Pfeffer, J. (1992). Managing with power: Politics and influence in organizations. Harvard Business School Press.
Trevino, L. K., & Nelson, K. A. (2017). Managing business ethics: Straight talk about how to do it right (7th ed.). John Wiley & Sons.
Wayne, S. J., & Ferris, G. R. (1989). Influence tactics, self-esteem, and career outcomes. Journal of Applied Psychology, 74(5), 754–761.

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM