Breaking News

PEMILIK KORPORASI; MEMBANGUN PERADABAN ATAU MEMUASKAN EGO?


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 16 Desember 2025

Di balik gedung-gedung tinggi yang menjulang, di balik rapat direksi yang penuh strategi, dan di balik laporan keuangan yang berkilau angka, tersimpan pertanyaan yang tak pernah sederhana: apa sebenarnya tujuan seorang pemilik korporasi? Apakah ia sekadar pelayan bagi kesejahteraan karyawan, penyumbang pajak bagi pembangunan, penggerak pertumbuhan ekonomi nasional, atau pencari reputasi dan kekuasaan? “Korporasi adalah entitas yang lahir dari ambisi manusia, dan ambisi itu sering kali bercabang antara idealisme dan kepentingan pribadi” (Friedman, 1970). Seperti api yang bisa menghangatkan sekaligus membakar, tujuan seorang pemilik korporasi selalu berada di antara cahaya, keremangan, dan bahkan kegelapan.

Dalam perspektif ekonomi klasik, tujuan utama korporasi adalah menghasilkan keuntungan. “Tujuan bisnis adalah memaksimalkan laba bagi pemegang saham” (Jensen, 2001). Keuntungan menjadi fondasi yang menopang semua fungsi lain: kesejahteraan karyawan, kontribusi pajak, dan pertumbuhan ekonomi. Namun, ketika keuntungan menjadi satu-satunya tujuan, korporasi berisiko melupakan dimensi sosial dan moral yang melekat pada keberadaannya; pelanggaran tata-kelola yang baik, pengrusakan hutan, polusi/pencemaran lingkungan, penyerobotan dan penggusuran lahan, pelanggaran regulasi/hukum, manipulasi transaksi, penyembunyian pajak dll.

Dalam perspektif manajemen modern, korporasi juga dituntut untuk memperhatikan kesejahteraan karyawan. “Kesejahteraan tenaga kerja adalah faktor penting dalam meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan perusahaan” (Guest, 2017). Pemilik korporasi yang bijak menyadari bahwa manusia bukan sekadar mesin produksi, melainkan jiwa yang harus dirawat. Cinta kepada karyawan adalah investasi jangka panjang yang menentukan keberlangsungan perusahaan.

Dalam perspektif makroekonomi, korporasi berperan sebagai penyumbang pajak dan penggerak pembangunan. “Kontribusi pajak dari sektor korporasi adalah salah satu sumber utama pembiayaan pembangunan nasional” (OECD, 2020). Dengan demikian, tujuan seorang pemilik korporasi tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab sosial terhadap negara. Ia bukan hanya pengusaha, tetapi juga warga yang harus ikut menanggung beban pembangunan.


Namun, di balik semua idealisme itu, ada tujuan yang lebih personal: reputasi dan kekuasaan. “Korporasi sering menjadi sarana bagi pemiliknya untuk membangun status sosial dan pengaruh politik” (Useem, 1996). Reputasi menjadi mahkota yang dikenakan di hadapan publik, sementara kekuasaan menjadi senjata yang digunakan untuk mengendalikan arah kebijakan regulator demi keberlangsungan dan perkembangan bisnisnya. Di titik ini, tujuan korporasi bergeser dari kepentingan kolektif menuju kepentingan ego.

Lebih jauh, laba yang diterima pemegang saham pada tingkat eksistensial-individual digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar; mulai dari menyalurkan hasrat-hasrat dasar manusiawi, meningkatkan kualitas hidup, mencari rasa aman, membangun status sosial, hingga mengejar aktualisasi diri. “Keuntungan finansial bagi individu bukan hanya angka, tetapi sarana untuk memenuhi hierarki kebutuhan manusia, dari fisiologis hingga transendensi” (Maslow, 1968; Kenrick et al., 2010). Dengan demikian, laba tidak berhenti pada pencapaian material, melainkan menjadi medium bagi manusia untuk mencari kepuasan primordial, mencari makna, kebebasan, dan bahkan gaya hidup yang mencerminkan identitas dirinya.

Kesimpulannya, tujuan seorang pemilik korporasi adalah mozaik yang terdiri dari banyak keping: kenikmatan, kepuasan, keuntungan, kesejahteraan, kontribusi sosial, reputasi, dan kekuasaan. “Motivasi pemilik korporasi adalah campuran antara rasionalitas ekonomi dan hasrat manusiawi” (Jensen, 2001). Pada akhirnya, bahkan di balik semua jargon bisnis dan strategi manajemen, tujuan itu bisa kembali pada hal yang paling sederhana: memenuhi hasrat dasar untuk hidup “enak-enakan dan gaya-gayaan” belaka.

Dan akhirnya, mari kita renungkan: apakah korporasi adalah alat untuk membangun dunia, atau sekadar panggung untuk memuaskan ego? Sebab di balik setiap laporan keuangan, ada jiwa manusia yang mencari makna. Jika tujuan korporasi hanya berhenti pada gaya hidup mewah, maka ia hanyalah istana pasir yang akan runtuh. Tetapi jika tujuan itu adalah kesejahteraan bersama, maka korporasi bisa menjadi mercusuar yang menuntun manusia menuju masa depan yang lebih adil dan bermakna.

Referensi:
• Friedman, M. (1970). The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits. The New York Times Magazine.
• Jensen, M. C. (2001). Value Maximization, Stakeholder Theory, and the Corporate Objective Function. European Financial Management, 7(3), 297–317.
• Maslow, A. H. (1968). Toward a Psychology of Being. Van Nostrand Reinhold.
• Kenrick, D. T., Griskevicius, V., Neuberg, S. L., & Schaller, M. (2010). Renovating the Pyramid of Needs: Contemporary Extensions Built Upon Ancient Foundations. Perspectives on Psychological Science, 5(3), 292–314.
• Guest, D. E. (2017). Human Resource Management and Employee Well-being: Towards a New Analytic Framework. Human Resource Management Journal, 27(1), 22–38.
• OECD. (2020). Corporate Tax Statistics. Organisation for Economic Co-operation and Development.
• Useem, M. (1996). Investor Capitalism: How Money Managers Are Changing the Face of Corporate America. Basic Books.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM