Oleh: Makin Perdana Kusuma - Depok, 2 Desember 2025
Menjadi warga semesta adalah panggilan untuk keluar dari sekat-sekat sempit identitas, menuju cakrawala yang lebih luas. Kita bukan hanya warga negara, ataupun hanya bagian dari agama, bukan hanya bagian dari etnis, melainkan partikel yang berdenyut dalam tarian kosmik. Seperti bintang yang lahir dari ledakan supernova, manusia pun lahir dari debu kosmik yang sama. “Manusia adalah bagian integral dari semesta, bukan entitas yang terpisah darinya” (Krauss, 2012). Dalam kesadaran ini, kita menemukan bahwa keberadaan kita bukan sekadar lokal, melainkan universal. Namun, semesta bukanlah hanya untuk manusia. Semesta hanya mengada secara bersama-sama, tanpa awal, tanpa akhir, tanpa batas. Semesta bukan hanya tentang manusia, tetapi di dalam semesta ada manusia. Setiap mahluk dan benda sebagai anggota dan peserta alam semesta memiliki kedudukan yang setara, sesuai dengan fungsinya dalam keturutsertaannya menyangga dan menyelenggarakan kesemestaan.
Psikologi transpersonal menegaskan bahwa pengalaman spiritual sering kali membawa manusia pada kesadaran kosmik. “Kesadaran transpersonal membuka ruang bagi manusia untuk merasa menyatu dengan semesta” (Walsh & Vaughan, 1993). Menjadi warga semesta berarti melampaui ego pribadi, maupun ego kolektif kelompok, merasakan diri sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang tak terbatas. Dari perspektif ini, identitas bukan lagi sekadar nama, etnis, bangsa, ataupun agama, melainkan resonansi energi yang bergetar bersama seluruh jagat raya.
Ilmu ekologi modern menunjukkan bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari sistem kehidupan planet ini. “Keberlanjutan hidup manusia bergantung pada keseimbangan ekologis yang terjaga” (Rockström et al., 2009). Menjadi warga semesta berarti menyadari bahwa setiap tindakan kecil—menggunakan air, menyalakan listrik, membuang sampah—adalah bagian dari interaksi dengan sistem kosmik yang lebih besar. Kesadaran ekologis adalah bentuk konkret dari spiritualitas kosmik, karena ia menghubungkan manusia dengan tanggung jawab menjaga rumah semesta.
Dalam filsafat eksistensial, menjadi warga semesta adalah menerima absurditas sekaligus kebebasan. “Manusia adalah makhluk yang dilempar ke dunia, dan dari keterlemparan itu ia harus mencipta makna” (Heidegger, 1927/1962). Menjadi warga semesta berarti berani hidup tanpa naskah yang sudah ditentukan, menulis puisi eksistensi di atas panggung kosmik. Kebebasan itu bukan hanya hak, melainkan beban yang menuntut keberanian untuk bertanggung jawab atas pilihan-pilihan yang memengaruhi seluruh jaringan kehidupan.
Kesimpulannya, menjadi warga semesta adalah kesadaran bahwa kita bukan hanya bagian dari bangsa atau agama, melainkan bagian dari kosmos yang luas. “Identitas kosmik adalah fondasi bagi etika global dan keberlanjutan hidup” (Laszlo, 2017). Dengan kesadaran ini, manusia tidak lagi terjebak dalam sekat sempit, melainkan terbuka pada tanggung jawab universal: menjaga bumi, menghormati kehidupan, dan merayakan keberadaan dengan segala peristiwanya sebagai bagian dari tarian kosmik.
Dan akhirnya, refleksi ini mengajak kita untuk menatap langit malam bukan sekadar sebagai hiasan, melainkan sebagai cermin diri. Di sana, bintang-bintang bukan hanya cahaya, melainkan saudara jauh yang mengingatkan kita akan asal-usul. Menjadi warga semesta adalah keberanian untuk hidup dengan kesadaran kosmik, menerima bahwa kita adalah debu bintang yang sedang belajar mencintai, memberi, memelihara dan menjaga kehidupan. Dalam kesadaran itu, manusia menemukan kebebasan yang sejati: menjadi bagian dari semesta yang tak terbatas, dan tetap bersinar dalam keheningan yang abadi.
Referensi:
• Heidegger, M. (1962). Being and Time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927)
• Krauss, L. M. (2012). A Universe from Nothing: Why There Is Something Rather than Nothing. Free Press.
• Laszlo, E. (2017). What is Reality? The New Map of Cosmos, Consciousness, and Existence. SelectBooks.
• Rockström, J., Steffen, W., Noone, K., Persson, Ã…., Chapin, F. S., Lambin, E., ... & Foley, J. (2009). Planetary boundaries: exploring the safe operating space for humanity. Ecology and Society, 14(2), 32.
• Walsh, R., & Vaughan, F. (1993). Paths Beyond Ego: The Transpersonal Vision. Tarcher/Putnam.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji


Social Header