Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 3 Desember 2025
Ada saat ketika manusia berhenti mengejar cahaya di luar, dan mulai menyalakan lentera di dalam. Ia duduk dalam keheningan, menatap bayangan dirinya sendiri, dan menemukan bahwa dunia bukanlah cermin, melainkan gema dari batin yang belum dikenali. “Perjalanan spiritual mengubah cara seseorang memandang dunia luar, karena ia mulai melihat dari dalam” (Pargament, Exline, & Jones, 2013). Dalam ruang batin yang sunyi, dunia material kehilangan kilau semunya, dan menjadi panggung tempat jiwa belajar tentang makna, bukan sekadar benda.
Psikologi spiritual menunjukkan bahwa individu yang menjalani perjalanan ke dalam cenderung mengalami perubahan persepsi terhadap nilai-nilai eksternal. “Kesadaran spiritual menggeser fokus dari pencapaian material menuju pemaknaan eksistensial” (Park, 2022). Mereka tidak lagi menilai hidup dari ukuran kekayaan, status, atau pujian, melainkan dari kedalaman pengalaman dan keutuhan batin. Dunia luar tetap ada, tetapi tidak lagi menjadi pusat gravitasi jiwa. Ia menjadi lanskap yang dilihat dengan mata yang telah dibasuh oleh keheningan.
Dalam filsafat kontemplatif, transformasi batin adalah gerbang menuju kebijaksanaan. “Orang yang telah memandang ke dalam akan melihat dunia dengan mata yang baru, bukan sebagai medan perebutan, tetapi sebagai ruang pembelajaran” (Walsh & Vaughan, 1993). Dunia material tidak lagi menjadi musuh spiritualitas, melainkan cermin yang memantulkan pelajaran tentang keterikatan, keinginan, dan pelepasan. Dalam pandangan ini, spiritualitas bukan pelarian dari dunia, tetapi cara baru untuk hadir di dalamnya.
Neurosains spiritual menunjukkan bahwa praktik kontemplatif seperti meditasi dan refleksi batin mengubah struktur dan fungsi otak. “Aktivitas spiritual yang mendalam dapat meningkatkan empati, ketenangan, dan persepsi holistik terhadap kehidupan” (Newberg & Waldman, 2016). Secara struktural, meditasi jangka panjang terbukti mempertebal korteks prefrontal—area yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan, empati, dan kesadaran diri. Secara kelistrikan, meditasi meningkatkan gelombang alfa dan theta, yang berkaitan dengan relaksasi dan intuisi. Sementara itu, secara hormonal, praktik kontemplatif menurunkan kadar kortisol (hormon stres) dan meningkatkan serotonin serta oksitosin, yang berperan dalam rasa bahagia dan keterhubungan sosial. “Meditasi dan refleksi spiritual mengubah neurokimia otak, menciptakan kondisi hormonal yang mendukung ketenangan dan keterhubungan” (Tang, Hölzel, & Posner, 2015). Dengan demikian, transformasi spiritual bukan hanya metaforis, tetapi juga biologis—otak yang telah terbiasa menatap ke dalam akan merespons dunia luar dengan lebih lembut, lebih bijak, dan lebih sadar.
Kesimpulannya, orang yang telah memulai perjalanan spiritual tidak lagi melihat dunia dengan mata yang sama. “Perjalanan ke dalam mengubah orientasi nilai, persepsi, dan cara berinteraksi dengan realitas eksternal” (Pargament et al., 2013). Dunia material tetap ada, tetapi tidak lagi menjadi pusat pencarian. Ia menjadi medan latihan, bukan medan perang. Ia menjadi tempat untuk memberi, bukan sekadar mengambil.
Dan akhirnya, refleksi ini mengajak kita untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia, dan bertanya: apakah kita sudah memandang ke dalam? Sebab hanya dari kedalaman batin, kita bisa melihat dunia dengan mata yang tidak lagi haus, tetapi penuh. Mata yang tidak lagi menilai, tetapi memahami. Menjadi manusia bukanlah tentang menguasai dunia, tetapi tentang mengenali jiwa yang mengalaminya. Dalam pengenalan itu, kita menemukan kebebasan yang tidak bisa dibeli, dan kedamaian yang tidak bisa dicuri.
Referensi:
• Newberg, A., & Waldman, M. R. (2016). How Enlightenment Changes Your Brain: The New Science of Transformation. Avery.
• Pargament, K. I., Exline, J. J., & Jones, J. W. (2013). APA Handbook of Psychology, Religion, and Spirituality (Vol. 1): Context, Theory, and Research. American Psychological Association.
• Park, C. L. (2022). Spirituality and Meaning Making in the Context of Psychological Well-Being. Psychology of Religion and Spirituality, 14(3), 215–228.
• Tang, Y. Y., Hölzel, B. K., & Posner, M. I. (2015). The neuroscience of mindfulness meditation. Nature Reviews Neuroscience, 16(4), 213–225.
• Walsh, R., & Vaughan, F. (1993). Paths Beyond Ego: The Transpersonal Vision. Tarcher/Putnam.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji


Social Header