Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 15 Desember 2025
Ada manusia yang berjalan bukan dengan langkah, tetapi dengan luka. Ia tidak berlari karena ingin menang, tetapi karena sudah terlalu sering jatuh. Ia tidak menantang dunia karena sombong, tetapi karena dunia telah menelanjanginya berkali-kali. “Ketika seseorang tidak lagi takut pada rasa sakit, penolakan, kegagalan, kehilangan, dan penghinaan, maka ia telah melampaui batas-batas yang mengikat manusia biasa” (Frankl, 2006). Ia menjadi sosok yang tak bisa dikalahkan bukan karena kekuatan fisik, tetapi karena ketangguhan batin. Seperti batu yang tetap diam di tengah badai, ia berdiri bukan karena tak terguncang, tetapi karena telah menyatu dengan guncangan itu.
Secara psikologis, ketahanan terhadap penderitaan adalah fondasi dari mental yang tangguh. “Resiliensi bukanlah kemampuan untuk menghindari rasa sakit, tetapi kemampuan untuk tetap berjalan meski rasa sakit itu hadir” (Southwick & Charney, 2018). Orang yang tidak takut pada kegagalan bukanlah orang yang tidak pernah gagal, tetapi orang yang telah berdamai dengan kegagalan. Ia menjadikan luka sebagai guru, bukan sebagai musuh. Dalam dunia yang penuh tekanan dan kompetisi, ketangguhan seperti ini adalah kekuatan yang tak bisa dibeli.
Dalam perspektif eksistensial, penderitaan adalah pintu menuju makna. “Manusia menemukan kekuatan terdalamnya bukan ketika ia menang, tetapi ketika ia tetap memilih untuk bangkit setelah kalah” (Frankl, 2006). Ketika seseorang tidak lagi takut pada penolakan dan kehilangan, ia telah membebaskan dirinya dari belenggu pengakuan eksternal. Ia tidak lagi hidup untuk diterima, tetapi untuk menjadi. Dan dalam keberanian untuk menjadi itulah, kemenangan sejati lahir.
Secara sosial, individu yang tak lagi gentar terhadap penghinaan dan rasa tidak dihargai memiliki daya tahan terhadap manipulasi dan tekanan sosial. “Ketika harga diri tidak lagi bergantung pada validasi eksternal, maka individu menjadi lebih otonom dan berdaya” (Deci & Ryan, 2000). Ia tidak tunduk pada pujian, tidak runtuh oleh cemooh. Ia berjalan dengan arah yang ditentukan oleh nilai, bukan oleh sorak-sorai atau ejekan. Dalam masyarakat yang sering menilai dari permukaan, keberanian untuk tetap tegak adalah bentuk perlawanan yang paling sunyi.
Dalam filsafat spiritual, keberanian untuk tidak takut pada rasa sakit dan penolakan adalah bentuk pelepasan dari keterikatan duniawi. “Ketika manusia tidak lagi menggantungkan makna hidupnya pada penerimaan, kenyamanan, dan kemenangan, ia mulai menyentuh inti dari kebebasan batin” (Al-Attas, 2021). Dalam tradisi mistik, penderitaan bukanlah musuh, melainkan pintu gerbang menuju kesadaran yang lebih tinggi. Orang yang tak lagi gentar terhadap kehilangan dan penghinaan telah melampaui ego, dan mulai berjalan dalam cahaya keikhlasan. Ia tidak lagi berjuang untuk menang, tetapi untuk menjadi selaras dengan kebenaran yang lebih dalam.
Kesimpulannya, manusia yang tak lagi takut pada rasa sakit dan penolakan adalah manusia yang telah melampaui batas-batas psikologis, sosial, dan spiritual. “Ketangguhan batin adalah bentuk kekuatan yang tidak bisa dikalahkan oleh dunia luar” (Southwick & Charney, 2018). Ia bukan hanya bertahan, tetapi menciptakan arah baru. Ia bukan hanya melawan, tetapi mengubah makna dari setiap luka yang diterimanya.
Dan akhirnya, mari kita renungkan: apakah kita hidup untuk menghindari rasa sakit, atau untuk melampaui rasa takut terhadapnya? Sebab kemenangan sejati bukanlah ketika kita tak pernah jatuh, tetapi ketika kita tak lagi takut untuk jatuh. Dalam keberanian untuk tetap berjalan meski dunia menolak, manusia menemukan dirinya yang paling utuh. Dan dalam keutuhan itulah, kekalahan tak lagi punya tempat.
Referensi:
• Frankl, V. E. (2006). Man’s Search for Meaning. Beacon Press.
• Southwick, S. M., & Charney, D. S. (2018). Resilience: The Science of Mastering Life’s Greatest Challenges. Cambridge University Press.
• Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2000). The “What” and “Why” of Goal Pursuits: Human Needs and the Self-Determination of Behavior. Psychological Inquiry, 11(4), 227–268.
• Al-Attas, S. M. N. (2021). Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam. ISTAC.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji


Social Header