Breaking News

JIKA MANUSIA HIDUP ABADI, MASIH ADAKAH MAKNA DAN NILAI?


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 8 Desember 2025

Bayangkan dunia tanpa kematian. Waktu tidak lagi menjadi batas, usia tak lagi menjadi misteri, dan perpisahan tak pernah terjadi. Manusia hidup terus, melampaui generasi, melampaui sejarah, melampaui rasa kehilangan. Namun, dalam keabadian itu, apakah makna masih bisa tumbuh? “Jika hidup tidak memiliki akhir, maka intensitas pengalaman akan larut dalam kelimpahan waktu” (Thomson, 2025). Keabadian bukanlah surga, melainkan ruang yang membentang tanpa tepi, di mana makna bisa menguap seperti kabut yang tak pernah jatuh.

Secara psikologis, hidup abadi dapat mengikis urgensi dan motivasi manusia. “Keterbatasan waktu adalah pemicu utama bagi pencapaian, refleksi, dan pertumbuhan pribadi” (Sus, 2025). Tanpa kematian, manusia mungkin kehilangan dorongan untuk mencipta, untuk mencintai dengan sungguh-sungguh, atau untuk memperbaiki kesalahan. Segala hal bisa ditunda, sebab waktu tak pernah habis. Dalam kondisi seperti itu, kehidupan bisa menjadi datar, seperti simfoni yang tak pernah mencapai klimaks.

Dari sudut pandang biologis, keabadian menimbulkan tantangan besar. “Tubuh manusia dirancang untuk mengalami degenerasi, dan upaya memperpanjang hidup secara ekstrem dapat memicu ketidakseimbangan genetik dan ekologis” (Psychology Today, 2024). Jika semua manusia hidup abadi, populasi akan membengkak, sumber daya akan menipis, dan keseimbangan alam bisa runtuh. Keabadian bukan hanya soal tubuh yang tak mati, tetapi juga tentang sistem yang harus menopang keberlangsungan tak terbatas.

Secara filosofis, kematian adalah bagian dari struktur makna. “Kematian memberi batas, dan batas memberi bentuk pada nilai-nilai kehidupan” (Thomson, 2025). Tanpa kematian, nilai dari keberanian, pengorbanan, dan cinta bisa menjadi kabur. Jika tidak ada akhir, maka tidak ada puncak. Jika tidak ada kehilangan, maka tidak ada penghargaan. Keabadian bisa mengubah manusia menjadi makhluk yang berjalan tanpa arah, hidup tanpa rasa gentar, dan mencinta tanpa rasa takut kehilangan.

Kesimpulannya, hidup abadi bukanlah jawaban atas penderitaan manusia, melainkan awal dari dilema baru. “Keabadian menghapus rasa genting, dan rasa genting adalah akar dari makna” (Sus, 2025). Dalam dunia tanpa kematian, manusia mungkin kehilangan rasa syukur, kehilangan rasa hormat terhadap waktu, dan kehilangan kemampuan untuk merasakan keindahan dalam kefanaan.

Dan akhirnya, mari kita renungkan: mungkinkah justru kematianlah yang membuat hidup menjadi indah? Bahwa dalam keterbatasan, kita belajar mencintai lebih dalam, mencipta lebih sungguh, dan hadir lebih penuh. Jika semua manusia hidup abadi, mungkin kita akan lupa bagaimana rasanya kehilangan, dan dengan itu, kita akan kehilangan kemampuan untuk benar-benar menghargai. Maka biarlah hidup tetap memiliki ujung, agar setiap langkah menuju ujung itu menjadi bermakna.

Referensi:
• Psychology Today. (2024). The Quest for Immortality: What Do Scientists Say?. https://www.psychologytoday.com/gb/blog/the-superhuman-mind/202409/the-quest-for-immortality-what-do-scientists-say
• Sus, V. (2025). Can You Live Forever? A Philosophical Approach to Immortality. TheCollector. https://www.thecollector.com/live-forever-philosophical-approach-immortality/
• Thomson, J. (2025). Five Philosophical Takes on Living Forever. Freethink. https://www.freethink.com/opinion/immortality-in-philosophy
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM