Breaking News

BAGAIMANA UMAT MANUSIA TANPA KONSEP KETUHANAN DAN AGAMA?


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 7 Desember 2025

Bayangkan dunia yang sunyi dari doa, kosong dari mimbar dan altar, dan sepi dari ritual. Tidak ada kitab suci, tidak ada konsep ketuhanan, tidak ada agama yang menuntun. Dalam ruang yang lengang itu, manusia tetap berjalan, mencari arah, mencari makna. “Ketika sistem kepercayaan tradisional runtuh, manusia akan mencari nilai pengganti yang dapat menjadi kompas moral” (Taylor, 2020). Dan kompas itu adalah cinta, dan non cinta. Cinta menjadi cahaya yang menuntun, non cinta menjadi rambu yang memperingatkan. Seperti dua kutub magnet, keduanya mengarahkan manusia dalam perjalanan eksistensialnya. Sebab, ketika lahir dan menjadi bayi mungil, manusia tidak mengenal konsep ketuhanan maupun agama, tapi yang pasti dia mengenal cinta dan absennya cinta atau non cinta. Konsep ketuhanan maupun agama diajarkan kemudian oleh orangtua, guru dan masyarakat.

Manusia dalam perkembangan peradaban awal yang sederhana dalam komunitas kecil hingga menjadi struktur sosial yang lebih kompleks, tetap memiliki kepentingan untuk mempertahankan hidup dengan cara menciptakan kehidupan bersama yang nyaman dan aman. Kenyamanan dan keamanan bisa diciptakan dengan modal bawaan, yakni cinta. Secara psikologis, cinta adalah energi yang membentuk perilaku prososial. “Cinta dan kasih sayang terbukti meningkatkan empati, kerja sama, dan kesejahteraan psikologis” (Fredrickson, 2016). Tanpa agama, manusia tetap bisa menemukan pedoman melalui cinta: merawat, berbagi, dan melindungi. Sebaliknya, non cinta, yang berupa kebencian, kekerasan, dan pengabaian, menjadi tanda bahaya, rambu yang menunjukkan arah yang salah. Dengan demikian, cinta dan non cinta berfungsi sebagai sistem regulasi emosional yang menggantikan aturan moral tradisional.

Dalam filsafat moral sekuler, cinta dipandang sebagai dasar etika universal. “Etika berbasis cinta menekankan penghargaan terhadap martabat manusia tanpa memerlukan legitimasi transenden” (Nussbaum, 2011). Tanpa konsep ketuhanan, manusia tetap bisa membangun etika yang kokoh dengan menjadikan cinta sebagai prinsip utama. Non cinta, sebaliknya, menjadi indikator pelanggaran etika. Ia menunjukkan batas yang tidak boleh dilanggar, agar kehidupan bersama tetap terjaga.

Secara sosial, cinta dan non cinta membentuk struktur komunitas. “Hubungan sosial yang sehat bergantung pada kehadiran cinta sebagai perekat, dan non cinta sebagai peringatan akan disintegrasi” (Baumeister & Leary, 1995). Tanpa agama, masyarakat tetap bisa bersatu melalui cinta, dan tetap bisa waspada terhadap ancaman perpecahan melalui non cinta. Dengan demikian, cinta dan non cinta menjadi mekanisme sosial yang menjaga harmoni.

Kesimpulannya, tanpa konsep ketuhanan dan agama, manusia tidak kehilangan arah. “Cinta dapat berfungsi sebagai pemandu moral, sementara non cinta menjadi rambu peringatan” (Taylor, 2020). Keduanya adalah sistem nilai yang sederhana namun mendalam, yang mampu menggantikan peran agama dalam memberi arah dan makna. Cinta mengajarkan kita untuk peduli, merawat, menguatkan, dan menumbuhkan, non cinta mengingatkan kita untuk berhenti mengabaikan, merusak dan melemahkan; baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.

Dan akhirnya, mari kita beri ruang bagi renungan yang obyektif, jernih dan tenang: mungkinkah manusia berjalan dengan cinta dan non cinta sebagai penunjuk arah, ketika kitab, altar, dan dogma tak lagi menjadi pusat pijakan? Sebab cinta, dalam segala bentuknya, tetap menyentuh hati dan menggerakkan tindakan. Dan non cinta, dalam wujud luka dan jarak, tetap memberi tanda bahwa ada sesuatu yang perlu dijaga. Mungkin bukan soal mengganti, tetapi memahami: bahwa dalam ketiadaan konsep ketuhanan dan agama, manusia masih bisa menemukan makna melalui kehangatan dan kehati-hatian, melalui rasa yang menghubungkan dan batas yang mengingatkan. Sebab, pada dasarnya tujuan semua agama, dengan segala doktrin, dogma, aturan dan ritualnya, adalah untuk membentuk akhlak yang baik. Dan akhlak yang baik pada dasarnya adalah menebar cinta dan menghindari tindakan non cinta. Ketika pemahaman ini tumbuh, manusia beragama pun akan menjalani agamanya dengan sikap batin yang berbeda; agama tidak lagi menjadi sistem yang eksklusif dan kaku, tetapi menjadi jalan pulang menuju hati yang terang dan dunia yang damai.

Referensi:
• Baumeister, R. F., & Leary, M. R. (1995). The Need to Belong: Desire for Interpersonal Attachments as a Fundamental Human Motivation. Psychological Bulletin, 117(3), 497–529.
• Fredrickson, B. L. (2016). Love 2.0: How Our Supreme Emotion Affects Everything We Feel, Think, Do, and Become. Plume.
• Nussbaum, M. C. (2011). Creating Capabilities: The Human Development Approach. Harvard University Press.
• Taylor, C. (2020). Sources of the Self: The Making of the Modern Identity. Harvard University Press.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM