Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 1 Desember 2025
Ada luka yang tak berdarah, tapi mengalirkan kepahitan, kesedihan sepanjang hidup. Ia tinggal di dalam dada, bersembunyi di balik senyum, dan menyelinap dalam setiap interaksi. Luka itu adalah rasa bersalah, rasa kalah yang belum dimaafkan. Seseorang yang belum bisa memaafkan diri sendiri menjadi narapidana sekaligus penjara. Ia mengurung dirinya dalam dinding batin yang dingin, dan dari sana terpancar gelombang yang memengaruhi cara ia mencintai, memberi, dan hidup. “Memaafkan diri sendiri adalah langkah awal menuju kebebasan psikologis dan spiritual” (Woodyatt et al., 2017). Tanpa itu, jiwa akan terus berjalan dengan rantai yang tak terlihat.
Psikologi modern menegaskan bahwa memaafkan diri sendiri bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang menyembuhkan. “Kemampuan untuk memaafkan kesalahan diri sendiri secara signifikan meningkatkan kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis” (Vismaya et al., 2024). Ketika seseorang mampu berdamai dengan masa lalu, ia membuka ruang untuk pertumbuhan dan ketenangan. Sebaliknya, penolakan terhadap permaafan diri dapat memicu stres berkepanjangan, kecemasan, dan isolasi sosial. Dalam konteks ini, permaafan bukan sekadar tindakan moral, melainkan terapi batin yang menyelamatkan.
Dalam filsafat eksistensial, manusia adalah makhluk yang bebas namun bertanggung jawab atas pilihannya. “Kesalahan adalah bagian dari keberadaan, dan memaafkan diri adalah bentuk penerimaan terhadap eksistensi yang tidak sempurna” (Yalom, 1980). Memaafkan diri berarti menerima bahwa kita adalah makhluk yang sedang belajar, bukan mesin yang harus sempurna. Dari penerimaan itu lahir kebijaksanaan, dan dari kebijaksanaan lahir keberanian untuk melangkah tanpa bayang-bayang masa lalu.
Sosiologi interaksi manusia menunjukkan bahwa luka batin yang belum dimaafkan akan memengaruhi relasi sosial. “Ketidakmampuan memaafkan diri sendiri dapat tercermin dalam pola komunikasi yang defensif, penuh penolakan, atau agresif” (Goffman, 1959). Posisi batin yang terpenjara akan memancar keluar, memengaruhi cara seseorang melihat orang lain, menilai dunia, dan merespons kehidupan. Maka, permaafan diri bukan hanya urusan pribadi, tetapi juga tanggung jawab sosial dan spiritual.
Dalam pandangan spiritual, memaafkan diri sendiri adalah bentuk tertinggi dari penerimaan ilahiah. Ia bukan sekadar tindakan psikologis, melainkan gerakan jiwa menuju kesatuan dengan sumber kehidupan. “Permaafan diri adalah jalan menuju penyatuan batin dengan cinta yang tidak bersyarat” (Woodyatt et al., 2017). Dalam banyak tradisi mistik, kesalahan bukanlah dosa yang harus dihukum, melainkan pengalaman yang harus dipeluk dengan kasih. Ketika manusia mampu memaafkan dirinya, ia membuka ruang bagi cahaya Tuhan untuk masuk, bukan sebagai hakim, melainkan sebagai pelukan. Di sana, spiritualitas bukan lagi tentang penebusan, melainkan tentang pembebasan.
Kesimpulannya, permaafan terbesar adalah memaafkan diri sendiri. “Permaafan diri adalah proses kompleks yang melibatkan penerimaan, tanggung jawab, dan rekonstruksi identitas” (Woodyatt et al., 2017). Memaafkan diri bukan berarti melupakan kesalahan, tetapi menerima bahwa kesalahan adalah bagian dari proses menjadi manusia. Ia adalah pintu menuju kebebasan, bukan pelarian dari tanggung jawab. Memaafkan diri sendiri menjadi hal besar, sebab ia menentukan cara memandang dan memperlakukan diri sendiri, orang lain, dan bahkan alam semesta seisinya.
Dan akhirnya, refleksi ini mengajak kita untuk menatap cermin bukan dengan penyesalan, tetapi dengan kelembutan. Di sana, kita melihat bukan hanya wajah yang pernah jatuh, tetapi jiwa yang sedang bangkit. Memaafkan diri sendiri adalah tindakan paling revolusioner dalam perjalanan batin. Ia membebaskan, menyembuhkan, dan mengembalikan kita pada hakikat keberadaan: menjadi manusia yang terus belajar mencintai, termasuk mencintai dirinya sendiri.
Referensi:
• Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. Anchor Books.
• Vismaya, A., Gopi, A., Romate, J., & Rajkumar, E. (2024). Psychological interventions to promote self-forgiveness: A systematic review. BMC Psychology, 12(1), 1–15. https://doi.org/10.1186/s40359-024-01671-3
• Woodyatt, L., Worthington Jr., E. L., Wenzel, M., & Griffin, B. J. (2017). Handbook of the Psychology of Self-Forgiveness. Springer.
• Yalom, I. D. (1980). Existential Psychotherapy. Basic Books.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji


Social Header