Breaking News

TREN HOLISTIKISME DALAM BERAGAMA: KETIKA SAINS MEMBUKA GERBANG PEMAHAMAN


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 27 Juni 2025.
Di tengah arus informasi dan kemajuan sains yang tak terbendung, cara manusia modern memandang dan merasakan agama sedang mengalami pergeseran fundamental. Generasi sekarang, yang terbiasa dengan pemikiran rasional dan akses tak terbatas terhadap ilmu-pengetahuan, cenderung "mempertanyakan segala sesuatu, termasuk dogma agama". Dogma yang hanya bisa diterima melalui iman buta menjadi kurang menarik. Namun, bukan berarti spiritualitas memudar. Sebaliknya, ada kecenderungan kuat menuju "holistikisme dalam beragama": sebuah pendekatan yang melihat keterhubungan erat antara aspek fisik, mental, emosional, sosial, dan spiritual. Fenomena menariknya, pertumbuhan tren holistikisme ini justru difasilitasi dan diperkuat oleh perkembangan sains modern, yang mulai memberikan penjelasan neurokimia dan biologis atas konsep-konsep yang secara tradisional dianggap murni spiritual-keagamaan.

Selama berabad-abad, praktik spiritual seperti rasa syukur, keberserahan, penerimaan, doa, dan meditasi seringkali dijelaskan murni dalam kerangka iman, teologis atau filosofis semata. Namun, kini neurosains modern mulai memberikan penjelasan neurokimia untuk konsep-konsep ini. Studi pencitraan otak (fMRI) telah menunjukkan bahwa "doa, dzikir, sholat/sembahyang, membaca mantra, samadi dan meditasi mengaktifkan korteks prefrontal", area otak yang terkait dengan fokus, perhatian, dan pengambilan keputusan. Pada saat yang sama, aktivitas ini juga "menurunkan aktivitas di amigdala", pusat respons ketakutan dan kecemasan, sehingga secara fisik mengurangi stres (Newberg & Iversen, 2003; Lutz et al., 2004). Penemuan ini memvalidasi secara ilmiah manfaat relaksasi dan ketenangan yang telah lama diklaim oleh praktik spiritual. Ini memberikan landasan rasional bagi mereka yang skeptis terhadap dimensi non-materi.

Fenomena puasa dalam berbagai tradisi keagamaan dan kebudayaan, yang telah dipraktikkan selama berabad-abad sejak jaman peradaban Mesopotamia, Mesir kuno, Romawi kuno, Hindhu-Budha, sampai agama Abrahamik, sebagai ibadah dan disiplin diri, kini menemukan relevansi ilmiah yang kuat melalui penemuan autofagi. Autofagi adalah proses alami di mana sel-sel tubuh membersihkan diri dari komponen-komponen yang rusak dan mendaur ulang energi. Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran tahun 2016 dianugerahkan atas penemuan ini, yang menunjukkan bahwa "puasa dapat memicu dan meningkatkan proses autofagi" (Mizushima et al., 2008). Ini berarti bahwa praktik spiritual yang bertujuan untuk kesucian jiwa dan disiplin diri, secara bersamaan juga memberikan "manfaat kesehatan fisik yang signifikan" seperti perbaikan sel, peningkatan metabolisme, potensi perlindungan terhadap penyakit, dan umur panjang. Keterkaitan yang jelas antara praktik spiritual dan manfaat biologis ini memperkuat pandangan holistik tentang agama. Definisi tentang “pahala” menjadi bergeser/melebar.

Tren holistikisme dalam beragama merefleksikan kebutuhan manusia modern untuk menjembatani dikotomi lama antara tubuh, pikiran, dan jiwa. Di masa lalu, seringkali ada pemisahan tajam, di mana agama mengurus jiwa, sains mengurus tubuh dan pikiran. Namun, seiring dengan kemajuan psikologi positif, psikiatri, dan neurosains, semakin jelas bahwa ketiga aspek ini saling terkait erat (Davidson & Harrington, 2002). Kesehatan mental memengaruhi spiritualitas, dan praktik spiritual dapat memengaruhi kesehatan fisik. Bagi generasi yang tumbuh dengan pemahaman ini, agama tidak lagi hanya tentang ritual dan dogma, tetapi juga tentang "bagaimana ajaran tersebut memengaruhi kesejahteraan mereka secara menyeluruh"—dari kemampuan mengelola stres, meningkatkan empati, hingga menjaga kesehatan fisik.

Kecenderungan menuju holistikisme ini memiliki implikasi besar bagi masa depan praktik beragama. Relevansi yang Meningkat: Agama dapat menjadi lebih relevan bagi individu yang mencari pemahaman dan kesejahteraan yang komprehensif, tidak hanya dogma. Dialog Sains-Agama yang Lebih Produktif: Memperkuat jembatan antara sains dan agama, memicu dialog yang lebih konstruktif dan mengurangi konflik yang tidak perlu. Praktik Keagamaan yang Lebih Sadar dan Terbuka: Umat mungkin akan mempraktikkan ibadah dengan pemahaman yang lebih dalam tentang manfaatnya, baik secara spiritual maupun ilmiah, bukan sekadar ritual kewajiban. Fokus pada Kesejahteraan Menyeluruh: Penekanan pada bagaimana agama dapat meningkatkan kesejahteraan mental, emosional, dan fisik akan menjadi lebih sentral.

Tren holistikisme dalam beragama, yang difasilitasi oleh kemajuan sains modern, mencerminkan evolusi pemahaman manusia tentang dirinya sendiri dan alam semesta. Ini adalah era di mana "dogma tidak lagi berdiri sendiri", melainkan dilengkapi dengan pemahaman ilmiah tentang dampaknya pada diri manusia. Dengan adanya validasi neurokimia terhadap pengalaman spiritual dan pengakuan biologis terhadap praktik keagamaan, agama menjadi sebuah jalur yang lebih komprehensif menuju kesejahteraan menyeluruh. Ini adalah masa depan di mana iman dan akal, spiritualitas dan sains, tidak lagi berlawanan, melainkan "bersinergi untuk mengungkap kebenaran yang lebih utuh tentang eksistensi".

Di masa lalu, spiritualitas dan sains mungkin bermain di ruangan yang terpisah, kadang bersahutan dalam disonansi. Namun, kini, dengan penemuan-penemuan yang terus terungkap, mereka mulai menemukan "harmoni dalam simfoni yang lebih besar". Ketika neurosains mengungkap misteri korteks prefrontal saat berdoa/bersembahyang, atau biologi sel menguak keajaiban autofagi saat puasa, kita tidak sedang mereduksi keilahian. Sebaliknya, kita justru "menambah kedalaman apresiasi kita" terhadap desain kosmis yang begitu cerdas, di mana hukum-hukum spiritual dan hukum-hukum alam berpadu sempurna. Ini adalah undangan untuk merayakan keindahan yang tersembunyi dalam praktik-praktik kuno, yang kini bersinar terang di bawah cahaya pemahaman modern, membimbing kita menuju "kesejahteraan yang benar-benar menyeluruh".

------SELESAI------
________________________________________
Referensi:
• Davidson, R. J., & Harrington, A. (Eds.). (2002). Visions of compassion: Western scientists and Tibetan Buddhists examine human nature. Oxford University Press. 
• Lutz, A., Greischar, L. L., Rawlings, N. B., Ricard, M., & Davidson, R. J. (2004). Long-term meditators self-induce high-amplitude gamma synchrony during mental practice. Proceedings of the National Academy of Sciences, 101(46), 16369-16373.
• Mizushima, N., Levine, B., Cuervo, A. M., & Klionsky, D. J. (2008). Autophagy fights disease through cellular self-digestion. Nature, 451(7182), 1069-1075.
• Newberg, A. B., & Iversen, J. (2003). The neurobiology of spiritual experience. In J. D. Ashbrook (Ed.), Mind and Brain: A Dialogue on Christian Philosophy (pp. 95-108). Baker Academic.
_________________________________________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM