Breaking News

"Hedonic Treadmill”; Kehampaan Eksistensial di Balik Pengejaran Materi Tanpa Henti


Oleh: Makin Perdana Kusuma – Depok, 10 Juni 2025
Dalam pusaran ambisi dan obsesi yang tiada bertepi, manusia modern mengejar kepemilikan seperti fatamorgana di cakrawala yang terus menjauh. Didorong oleh janji semu kebahagiaan dan gemerlapnya status, mereka mengumpulkan materi dengan harapan mengisi ruang kosong dalam diri. 

Namun, dalam ironi yang menggema di lorong-lorong batin, kelimpahan eksternal tak mampu mengusir kehampaan yang mengakar di kedalaman jiwa. 

Filsafat membisikkan perenungan tentang esensi keberadaan, kebudayaan menyusun narasi tentang keterasingan, spiritualisme membuka jalan menuju ketenangan, psikologi menggambarkan gejolak hasrat yang tak kunjung terpenuhi, sementara agama mengingatkan bahwa pemenuhan sejati tak ditemukan dalam timbunan duniawi. 

Dalam paradoks ini, manusia berdiri di persimpangan: terus berlari terengah-engah tanpa akhir, atau berhenti sejenak, dan lalu melambatkan langkah, mengendapkan pikiran dan hati mencari jalan pulang kepada diri yang sejati. 

Dari sudut pandang filsafat, gagasan tentang "batas" dan "tujuan" dalam hidup manusia menjadi krusial. Aristoteles dalam Etika Nikomakea (Aristotle, 350 BCE/1999) menekankan konsep eudaimonia, atau "kehidupan yang baik dan bermakna", yang tidak semata-mata dicapai melalui kekayaan materi, melainkan melalui "pengembangan kebajikan dan pemenuhan potensi manusia". 

Pengejaran kepemilikan tanpa akhir, tanpa tujuan yang lebih tinggi, dapat dianggap sebagai "keinginan yang tidak terarah" (Deleuze & Guattari, 1972/1983) yang justru menjauhkan dari esensi kebahagiaan sejati.

Dalam konteks kebudayaan, banyak narasi dan mitos memperingatkan tentang bahaya "keserakahan yang tak terpuaskan". Cerita-cerita tentang Raja Midas yang segala sentuhannya menjadi emas, atau Faust yang menjual jiwanya demi pengetahuan dan kesenangan duniawi, menggambarkan bagaimana "akumulasi tanpa batas dapat berujung pada bencana dan kekecewaan" (Campbell, 1949/2008). Budaya konsumerisme modern, dengan "iklan yang terus menerus merangsang keinginan baru" (Baudrillard, 1970/1998), melanggengkan siklus pengejaran materi yang tidak pernah berakhir.

Dari sudut pandang spiritualisme, berbagai tradisi mengajarkan tentang "ketidaklekatan" (non-attachment) terhadap materi. Dalam Buddhisme, "kemelekatan adalah akar dari penderitaan" (Goleman, 1995). Demikian pula, dalam banyak aliran mistisisme Islam dan Kristen, fokus diberikan pada "pengembangan diri spiritual" dan "hubungan dengan Yang Ilahi", bukan pada akumulasi kekayaan duniawi yang bersifat fana (Underhill, 1911/1999). 

"Kekayaan sejati terletak pada kedalaman jiwa, bukan pada jumlah harta benda" (Huxley, 1945).

Dalam psikologi, fenomena "hedonic treadmill" (Brickman & Campbell, 1971) menjelaskan mengapa peningkatan kekayaan atau kepemilikan seringkali hanya menghasilkan peningkatan kebahagiaan yang sementara. Individu cenderung "beradaptasi dengan keadaan baru mereka", dan keinginan baru terus muncul, menciptakan siklus yang tidak pernah memuaskan yang akan terus berulang. "Kesenjangan antara harapan dan kenyataan" (Festinger, 1957) juga dapat menyebabkan perasaan tidak puas dan hampa, meskipun secara materi tercukupi.

Dari perspektif agama, banyak ajaran menekankan pentingnya "bersyukur, berbagi, memberi, dan hidup sederhana". Dalam Islam, konsep "zakat" dan "infak" mengajarkan untuk mendistribusikan kekayaan dan menghindari penumpukan yang berlebihan (Qardhawi, 1999). 

Dalam Kristen, ajaran tentang "lebih mudah bagi seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah" (Matius 19:24) memberikan peringatan tentang bahaya keterikatan pada kekayaan. 

Agama-agama seringkali menekankan bahwa "kekayaan sejati terletak pada hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia" (Tillich, 1952/2001).

Pada akhirnya, manusia berjalan di lorong tanpa ujung, menyusuri waktu dalam perburuan tanpa henti—mencari kepuasan di antara bayangan-bayangan kepemilikan yang kian menumpuk. Namun, di tengah gemuruh hasrat duniawi, sebuah bisikan purba, meski lirih, tak bisa dipungkiri kebenaranya: “kebahagiaan sejati bukanlah seberapa banyak yang kita genggam, melainkan seberapa dalam kita mengenali diri, seberapa luas kita menebarkan kasih, dan seberapa ikhlas kita berserah kepada Yang Maha Melampaui batas-batas duniawi.”

Di persimpangan ini, manusia dihadapkan pada pilihan: terus berlari dalam jerat hedonic treadmill yang menguras jiwa, atau berhenti sejenak—merenungi keseimbangan antara kebutuhan raga dan panggilan jiwa. 

Hanya dalam harmoni itu, oase kedamaian tak lekang oleh waktu ditemukan, membebaskan diri dari kehampaan eksistensial yang selama ini menghimpit, menyesakkan, dalam perjalanan tak berujung.


Referensi:
Aristotle. (1999). Nicomachean Ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing Company. (Original work published 350 BCE)
Baudrillard, J. (1998). The Consumer Society: Myths and Structures (C. Turner, Trans.). SAGE Publications. (Original work published 1970)
Brickman, P., & Campbell, D. T. (1971). Hedonic relativism and planning the good society. In M. H. Appley (Ed.), Adaptation Level Theory: A Symposium1 (pp. 287-302). Academic Press.
Campbell, J. (2008). The Hero with a Thousand Faces (3rd ed.). New World Library. (Original work published 1949)
Deleuze, G., & Guattari, F. (1983). Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia (R. Hurley, M. Seem, & H. R. Lane, Trans.). University of Minnesota Press.2 (Original work published3 1972)
Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.
Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. Bantam Books.
Huxley, A. (1945). The Perennial Philosophy. Harper & Brothers.
Qardhawi, Y. (1999). Fiqh az-Zakah: A Comparative Study (M. S. H. Rijal, Trans.). Dar Al-Fikr.
Tillich, P. (2001). The Courage to Be. Yale University Press. (Original work published 1952)
Underhill, E. (1999). Mysticism: A Study in the Nature and Development of Man's Spiritual Consciousness. Dover Publications. (Original work published 1911)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM