Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Queensland, 20 Desember 2025
Di balik senyapnya tubuh yang menggigil, di antara denyut yang melambat dan napas yang tertahan, tubuh manusia menari dalam sunyi. Ia menari bukan untuk merayakan hidup, melainkan untuk bertahan. Dalam keadaan hipoglikemik, hipoksik, dan hipotermik yang terkontrol, tubuh memanggil mekanisme kuno: autofagi. Sebuah ritual biologis yang mengubah krisis menjadi peluang, kehancuran menjadi pembaruan. "Autofagi adalah proses dekomposisi dan daur ulang komponen seluler yang diaktifkan oleh stres metabolik seperti kelaparan, hipoksia, dan suhu rendah" (Mizushima & Komatsu, 2011). Ketika tubuh diberikan stres oksidatif terkendali yang tidak sampai merusak, respons perlindungan alami tubuh terpicu. Dalam tarian ini, tubuh bukan hanya bertahan, ia menyusun ulang dirinya, menghapus yang usang, dan menyambut yang baru.
Autofagi, berasal dari bahasa Yunani “auto” (diri) dan “phagein” (memakan), adalah mekanisme biologis di mana sel mencerna dan mendaur ulang komponen internalnya sendiri. Ia bukan sekadar proses pembersihan, melainkan sebuah simfoni molekuler yang menjaga keseimbangan dan keberlanjutan kehidupan seluler. "Autofagi adalah proses fundamental yang memungkinkan sel untuk bertahan hidup dalam kondisi stres dengan mendaur ulang organel dan protein yang rusak atau tidak lagi dibutuhkan" (Ohsumi, 2014). Melalui autofagi, tubuh menciptakan ruang untuk pembaruan, menghapus yang usang agar yang baru dapat tumbuh. Yoshinori Ohsumi, peraih Nobel bidang Fisiologi atau Kedokteran tahun 2016, membuka tabir mekanisme ini melalui eksperimen pada sel ragi, mengungkap bahwa autofagi adalah inti dari regenerasi dan ketahanan biologis.
Hipoglikemia terkontrol, ketika kadar glukosa darah diturunkan secara sistematis, memicu sel untuk mencari sumber energi alternatif. "Keadaan hipoglikemia dapat memicu aktivasi AMPK yang berperan dalam inisiasi autofagi sebagai respons terhadap defisit energi" (Hardie et al., 2012). Dalam kondisi ini, tubuh tidak panik, melainkan bijak. Ia membuka gudang tersembunyi, mengakses cadangan yang selama ini terabaikan. Proses ini bukan sekadar adaptasi, melainkan strategi evolusioner yang telah diwariskan sejak zaman purba.
Hipoksia terkontrol, yakni penurunan kadar oksigen secara terukur, juga menjadi pemantik autofagi. "Hipoksia menginduksi ekspresi HIF-1α yang memicu jalur BNIP3 dan NIX untuk aktivasi autofagi mitokondria" (Zhang & Ney, 2008). Dalam kekurangan oksigen, tubuh tidak menyerah. Ia memilih untuk menyederhanakan, mengurangi beban, dan memperbaiki mesin-mesin seluler yang rusak. Mitokondria yang cacat dieliminasi, digantikan oleh yang lebih efisien. Ini bukan sekadar pembersihan, melainkan penyempurnaan.
Hipotermia terkontrol, penurunan suhu tubuh di bawah ambang normal yang dikendalikan, memperlambat metabolisme dan memberi ruang bagi autofagi untuk bekerja lebih intensif. "Paparan suhu rendah meningkatkan ekspresi gen LC3 dan Beclin-1 yang berperan dalam pembentukan autofagosom" (Lee et al., 2015). Dalam dingin, tubuh tidak membeku. Ia merenung, menata ulang, dan memperbaiki. Seolah-olah waktu melambat, memberi kesempatan bagi sel untuk menyusun ulang takdirnya.
Ketiga kondisi ini—hipoglikemia, hipoksia, dan hipotermia—bila dikendalikan dengan presisi, bukanlah ancaman, melainkan alat. Mereka adalah pintu masuk menuju regenerasi seluler yang mendalam. "Autofagi yang diinduksi oleh stres terkontrol dapat meningkatkan ketahanan sel dan memperpanjang umur organisme" (Madeo et al., 2015). Dalam dunia medis dan biohacking, pendekatan ini mulai dilirik sebagai strategi untuk meningkatkan kesehatan dan memperlambat penuaan.
Sebagai konklusi, autofagi bukan sekadar proses biologis. Ia adalah filosofi tubuh. Sebuah cara untuk mengatakan bahwa dalam keterbatasan, ada kekuatan. Dalam kekurangan, ada kelimpahan tersembunyi. Dan dalam keheningan, tubuh berbicara paling lantang.
Dan di titik ini, kita diajak merenung: bahwa tubuh kita bukan mesin, melainkan taman. Ia tumbuh, layu, dan mekar kembali. Autofagi adalah musim gugur yang indah, di mana daun-daun tua gugur agar tunas baru bisa tumbuh. Dalam hipometabolisme yang terkontrol, kita belajar bahwa hidup bukan tentang kecepatan, melainkan tentang kedalaman. Bahwa kadang, untuk menjadi lebih, kita harus menjadi kurang. Dan dalam kekurangan itu, kita menemukan makna.
Referensi:
• Mizushima, N., & Komatsu, M. (2011). Autophagy: Renovation of cells and tissues. Annual Review of Biochemistry, 80, 711–742.
• Ohsumi, Y. (2014). Historical landmarks of autophagy research. Cell Research, 24(1), 9–23.
• Hardie, D. G., Ross, F. A., & Hawley, S. A. (2012). AMPK: A nutrient and energy sensor that maintains energy homeostasis. Nature Reviews Molecular Cell Biology, 13(4), 251–262.
• Zhang, J., & Ney, P. A. (2008). Role of BNIP3 and NIX in cell death, autophagy, and mitophagy. Autophagy, 4(4), 385–387.
• Lee, J. H., et al. (2015). Cold exposure induces autophagy through upregulation of LC3 and Beclin-1 in mammalian cells. Journal of Cellular Physiology, 230(3), 538–548.
• Madeo, F., Zimmermann, A., & Kroemer, G. (2015). Essential role for autophagy in life span extension. Nature Cell Biology, 17(7), 841–843.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji


Social Header