Oleh: Makin Perdana Kusuma - Depok, 28 Juni 2025.
Di balik pukauan jubah dan bibir yang fasih mengucapkan kosa kata keagamaan dan melantunkan ayat-ayat suci berbahasa asing, ada jiwa yang berjalan dalam lorong duniawi, mengendap-endap bersama bayangan pujian dan citra diri. Kesalehan hari ini tak selalu dipintal dari ketundukan dan ketakziman batiniah, melainkan banyak dijahit dari atraksi penggunaan kosa kata agama, akrobat doa, retorika pengetahuan agama, dan hasrat eksistensi dalam dunia yang menyanjung gunungan koleksi ayat-ayat dan tampilan lahiriah. “Agama telah mengalami estetisasi yang menyesuaikan diri dengan tuntutan gaya hidup,” tulis Hidayat (2023), menandai transformasi dari iman yang batiniah menjadi identitas sosial yang memburu hierarki penghormatan dan menuntut nilai, serta menjadi pertunjukan (performance) sosial-ekonomi, yang kemudian dikenal dengan performative piety (kesalehan performatif).
Kesalehan performatif didefinisikan sebagai praktik religius yang dilakukan untuk mendapatkan pengakuan sosial atau memperkuat citra diri sebagai "orang suci", bukan karena ketulusan iman (Goffman, 1959; Ali & Hanapi, 2022). Fenomena ini mereduksi agama menjadi sekadar kostum. Ritual keagamaan seringkali dipentaskan demi penampilan luar, seperti terlihat pada doa panjang berbahasa asing di tempat umum atau retorika keagamaan yang bombastis, sementara tindakan sehari-hari justru berbeda atau bertolak belakang dengan nilai-nilai agama yang dianut (Hidayat, 2023). Lebih jauh, kesalehan performatif dapat menciptakan alienasi spiritual dengan membentuk hierarki "kelompok suci" yang memandang rendah mereka yang dianggap "tidak cukup religius" (Bourdieu, 1984). Dari sudut pandang psikologis, perilaku ini berakar pada pemuasan ego, memberikan kepuasan emosional melalui pengakuan oleh kelompok dan rasa superioritas moral (Jung, 1964). Selain itu, praktik keagamaan yang dilakukan secara berlebihan dan demonstratif untuk menciptakan kesan kesalehan di mata publik (overt ritual) dapat berfungsi sebagai peredam keraguan, menjadi cara untuk meyakinkan diri sendiri bahwa mereka "layak mendapat surga", terutama ketika mereka meragukan cara mereka mencari penghidupan dan menjalani kehidupan yang “tidak mengarah ke surga”, saat iman sejati sedang goyah (Frankl, 1984).
Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut Ali dan Hanapi (2022) sebagai “orientasi transaksional religius,” di mana praktik keagamaan menjadi alat untuk membangun jejaring sosial, status, bahkan bisnis. “Kesalehan bukan lagi ekspresi spiritual, bukan lagi laku batiniah yang murni dan suci, melainkan strategi sosial yang diperhitungkan, sebagai spiritual branding.” Maka muncullah tren ibadah sebagai “status update”/laporan kesalehan kepada teman-temannya, menjadi konten, zikir sebagai caption, dan sedekah sebagai tanda tangan digital. Ketulusan tenggelam dalam logika performatif-transaksional.
Masyarakat urban menjadi ruang subur bagi gejala ini. Menurut studi oleh Siregar (2021), gaya hidup religius di kota-kota besar kerap diwarnai oleh “penyesuaian simbolik terhadap tekanan materialisme dan narsisme kolektif.” Mereka yang terlihat shaleh dipandang, lebih terpercaya, lebih menjanjikan, lebih ‘marketable’. Maka topeng-topeng pun dipasang: berkhotbah dengan gemerlap cahaya, berbagi amal dengan kamera menyala.
Namun, di sisi lain, secara global umat manusia juga sedang mengalami pergeseran ke arah transformasi dari religiusitas menjadi spiritualitas. Ada sisi di mana gaya hidup spiritual membuka ruang baru bagi dialog lintas identitas, memunculkan kebangkitan kesadaran batiniah-universal, dan solidaritas sosial. Menurut Yusuf dan Indrawati (2024), “tren spiritualitas kontemporer bisa menjadi jembatan menuju reformulasi makna keberagamaan yang lebih suci dan menghati-murni, inklusif dan relevan.” Di tengah zaman yang kacau, bahkan topeng pun bisa menjadi pengingat akan wajah sejati yang terlupakan.
Kesalehan performatif memang problematik, tapi ia sekaligus mencerminkan hausnya jiwa akan makna. Manusia menggenggam gadget di satu tangan, dan menengadahkan tangan lainnya ke langit, berharap ada keseimbangan di antara keduanya. Di sinilah urgensi menghidupkan kembali religiusitas yang batiniah, yang tidak menjadikan agama sekadar identitas sosial, tapi sebagai proses pembebasan batin, penghalusan budi, dan pemurnian hati.
Barangkali, yang kita butuhkan bukan sekadar merobek topeng, melainkan memahami mengapa topeng itu dipakai. Apakah karena takut diabaikan secara sosial? Karena terlalu sepi untuk jujur? Atau karena tuntutan ekonomi di dalam diri sudah terlalu bising untuk bisa mendengar suara hati? Dalam kesalehan yang menjadi citra, tersimpan kisah sunyi manusia yang rapuh—yang sedang mencari jalan pulang ke dalam dirinya sendiri.
Referensi
Ali, F., & Hanapi, M. S. (2022). Transformasi keagamaan dalam era konsumerisme: Tinjauan hermeneutik Islam. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 11(3), 203–219.
Ali, M., & Hanapi, N. (2022). Religiosity and transactional orientation.
Bourdieu, P. (1984). Distinction: A social critique of the judgement of taste. Harvard University Press.
Frankl, V. E. (1984). Man's search for meaning. Washington Square Press.
Goffman, E. (1959). The presentation of self in everyday life. Anchor Books.
Hidayat, A. (2023). Spiritualitas sebagai komoditas: Antropologi gaya hidup religius perkotaan. Jurnal Kebudayaan dan Agama, 6(1), 45–62.
Hidayat, M. (2023). Estetika agama dan gaya hidup.
Jung, C. G. (1964). Man and his symbols. Dell Publishing.
Siregar, R. (2021). Religi dan identitas dalam lanskap media sosial. Jurnal Komunikasi dan Budaya Digital, 9(2), 134–148.
Yusuf, M., & Indrawati, I. (2024). Spiritualitas inklusif dan ekoteologi Muslim urban. Jurnal Studi Islam Kontemporer, 14(1), 77–90.
_____________________________________________________
“MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header