Oleh: Makin Perdana Kusuma - Depok, 21 Juni 2025
Perkembangan sains dan teknologi telah membawa peradaban manusia menuju kemajuan yang belum pernah terjadi sebelumnya, menghasilkan “kemakmuran” dan kenyamanan fisik yang fantastis dalam berbagai aspek kehidupan. Akses terhadap sandang-pangan-papan, transportasi, interkoneksi, informasi, dan hiburan menjadi semakin mudah dan terjangkau. Namun, ironisnya, di tengah kelimpahan ini, banyak individu justru mengalami penurunan kualitas hidup, terutama dalam hal kesehatan fisik dan mental. Kita menyaksikan sebuah “paradoks kemakmuran” di mana ketersediaan pangan serba enak dan gaya hidup yang kurang aktif justru memicu berbagai penyakit metabolik yang kini menjadi pembunuh nomor satu di dunia (WHO, 2023), dan secara paradoks, tidak juga membawa kebahagiaan yang sepadan.
-Kemakmuran Fisik, Derita Metabolik-. Kemudahan akses terhadap makanan yang tinggi kalori, lemak, dan gula, yang seringkali diproses secara berlebihan, menjadi ciri khas era kemakmuran ini. Industri pangan berlomba-lomba menciptakan produk yang “hiper-palatabel”, penggugah selera secara ekstrem, yang merangsang pusat reward di otak dan mendorong konsumsi berlebihan (Schulte et al., 2017). Di sisi lain, otomatisasi dan digitalisasi dalam berbagai sektor pekerjaan dan kehidupan sehari-hari telah mengurangi kebutuhan aktivitas fisik. Konsumsi kalori yang berlebihan dan gaya hidup “sedentari” (kurang bergerak) menjadi semakin lazim. Ini berkontribusi pada peningkatan risiko obesitas, diabetes tipe 2, penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan berbagai gangguan kesehatan lainnya (Booth et al., 2012). Selama lima dekade terakhir, data menunjukkan adanya “peningkatan suplai kalori per kapita secara global” yang konsisten (Our World in Data, n.d.). Peningkatan ini, meskipun mencerminkan peningkatan ketersediaan pangan dunia, juga diiringi oleh “perubahan komposisi diet” yang didominasi oleh makanan olahan, daging, dan gula. Data juga menunjukkan bahwa di banyak wilayah di dunia, suplai kalori telah melampaui kebutuhan dasar, menciptakan kondisi yang memfasilitasi “konsumsi berlebihan” sebagai norma, bukan pengecualian (CEPR, 2016).
-Kaya Harta, Miskin Rasa-. Fenomena “paradoks kemakmuran” ini tidak hanya terbatas pada kesehatan fisik, tetapi juga merambah pada tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan psikologis. Tekanan sosial dan budaya yang sering kali mengasosiasikan konsumsi berlebihan dan kepemilikan materi dengan status tinggi dan kebahagiaan, turut memperburuk kondisi ini (Wilkinson & Pickett, 2010). Iklan dan media sosial gencar mempromosikan sedentarianisme (kurang bergerak secara fisik), gaya hidup konsumtif dan materialistik yang seringkali tidak realistis, membuat banyak individu terjebak dalam beratnya tekanan mental perbandingan sosial yang tak ada habisnya, yang semakin berat dari waktu ke waktu, dan perasaan tidak pernah cukup yang terus menghantui. Meskipun negara-negara maju secara ekonomi cenderung lebih kaya, studi menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan setelah titik tertentu tidak selalu berkorelasi positif dengan peningkatan kebahagiaan (Easterlin, 1974; Kahneman & Deaton, 2010). Justru, di tengah kemudahan dan kelimpahan, lebih banyak orang mengalami peningkatan tingkat stres, kecemasan, depresi, dan bahkan dalam kasus ekstrem, peningkatan angka bunuh diri (WHO, 2021).
Lebih lanjut, sistem yang ada sering kali lebih berfokus pada pengobatan penyakit (kuratif) daripada pencegahan (preventif). Meskipun teknologi kedokteran terus berkembang, mengatasi dampak buruk dari gaya hidup tidak sehat pada populasi secara luas menjadi tantangan yang semakin hari semakin membesar. Pendidikan kesehatan dan upaya intervensi yang efektif untuk mendorong pola makan sehat dan aktivitas fisik yang cukup seringkali belum menjadi prioritas utama (Kickbusch, 2003). Demikian pula, isu kesehatan mental seringkali masih kurang mendapat perhatian yang serius dibandingkan kesehatan fisik, padahal masalah ini menjadi semakin lazim di era modern. Dengan demikian, kemakmuran yang seharusnya membawa kesejahteraan justru menjadi sumber penderitaan bagi sebagian besar masyarakat akibat pilihan gaya hidup yang tidak sehat dan tekanan psikologis.
Untuk itu diperlukan perubahan paradigma kemakmuran yang lebih dari sekedar pengejaran material. Pemerintah perlu memfasilitasi. Fokus tidak lagi hanya pada peningkatan produksi dan konsumsi, tetapi juga pada peningkatan kesehatan dan kebahagiaan yang berkelanjutan, melalui kebijakan publik yang mendukung lingkungan yang kondusif untuk hidup sehat, regulasi industri pangan, serta peningkatan kesadaran dan pendidikan kesehatan fisik maupun mental (Marmot, 2005). Selain itu, individu juga perlu mengambil peran aktif. Ini termasuk manajemen asupan yang bijak, dengan memilih makanan utuh dan membatasi asupan kalori berlebihan serta makanan olahan. Pentingnya olahraga teratur, minimal 30 menit setiap hari, untuk menjaga kebugaran fisik dan mental. Manajemen stres melalui praktik spiritual-keagamaan, teknik relaksasi, atau meditasi menjadi vital untuk mengatasi tekanan hidup modern (Grossman et al., 2004). Manajemen tidur yang baik, dengan memastikan kualitas dan kuantitas tidur yang cukup, juga merupakan fondasi penting bagi kesehatan fisik dan psikologis (Luyster et al., 2012). Hanya dengan pendekatan holistik yang mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan kesehatan, termasuk dimensi psikologis dan gaya hidup pribadi, kita dapat benar-benar menikmati buah dari kemajuan peradaban tanpa harus mengorbankan kesehatan dan kebahagiaan.
________________________________________
· Referensi:
· Booth, F. W., Roberts, C. K., & Laye, M. J. (2012). Lack of exercise is a major cause of chronic diseases. Comprehensive Physiology, 2(2), 1143–1211.1
· CEPR (Centre for Economic Policy Research). (2016). Nutrient intake through time and across regions. VoxEU.org.
· Easterlin, R. A. (1974). Does Economic Growth Improve the Human Lot? Some Empirical Evidence. In P. A. David & M. W. Reder (Eds.), Nations and Households in Economic2 Growth: Essays in Honor of Moses Abramovitz (pp. 89–125). Academic Press.3
· FAO (Food and Agriculture Organization of the United Nations). (n.d.a). Prospects for food and nutrition. World Agriculture: Towards 2015/2030 - An FAO perspective.
· Grossman, P., Niemann, L., Schmidt, S., & Walach, H. (2004). Mindfulness-based stress reduction and health benefits: A meta-analysis. Journal of Psychosomatic Research, 57(1), 35–43.4
· Kahneman, D., & Deaton, A. (2010). High income improves evaluation of life but not emotional well-being. Proceedings of the National Academy of Sciences,5 107(38), 16489–16493.6
· Kickbusch, I. (2003). Global health governance: the next phase. Public Health, 117(3), 179–184.
· Luyster, F. S., Strollo, P. J., Jr., Gooneratne, L. S., & Walsh, J. K. (2012). The Effects of Sleep on Health: A Concise Review. Clinics in Chest Medicine, 33(4), 859–867.
· Marmot, M. (2005). Social determinants of health inequalities. The Lancet, 365(9464), 1099–1104.
· Our World in Data. (n.d.). Food Supply.
· Schulte, E. M., Avena, N. M., & Gearhardt, A. N. (2017). Which foods may be addictive? The roles of processing, fat content, and glycemic load. PLoS ONE, 12(2), e0171593.
· Wilkinson, R. G., & Pickett, K. E. (2010). The spirit level: Why more equal societies almost always do better. Penguin UK.
· WHO (World Health Organization). (2021). Suicide worldwide in 2019: Global health estimates. World Health Organization.
· WHO (World Health Organization). (2023). Noncommunicable diseases.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header