Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Queensland, 21 Desember 2025
Di antara senja yang merambat pelan di pelipis usia, rambut yang memutih bukan sekadar tanda bahwa waktu telah menorehkan jejaknya. Ia adalah puisi biologis yang ditulis tubuh dalam bahasa perlindungan. Sehelai uban bukan hanya serpihan usia, melainkan keputusan sunyi sel-sel tubuh untuk memilih keselamatan daripada keindahan. Dalam diamnya, ada keberanian: sel-sel pigmen yang enggan membelah diri karena mereka mencium aroma kerusakan DNA. Mereka memilih mundur, tidak melawan, tidak melanjutkan, agar tidak berubah menjadi ancaman. “Ketika sel punca pendukung warna rambut mendeteksi kerusakan genetik, mereka menghentikan aktivitasnya demi mencegah transformasi menjadi sel kanker,” tulis Takahashi et al. (2023) dalam jurnal Nature Aging. Maka uban bukanlah kekalahan, melainkan strategi bertahan.
Fenomena ini membuka jendela baru dalam pemahaman kita tentang penuaan. Penelitian dari University of Tokyo menunjukkan bahwa stem cell melanocyte, yang bertugas memberi warna pada rambut, akan berhenti membelah saat mendeteksi kerusakan DNA. “Penghentian aktivitas sel punca merupakan mekanisme protektif terhadap potensi keganasan,” ungkap studi tersebut (Takahashi et al., 2023). Dengan tidak memproduksi pigmen, tubuh menghindari risiko mutasi yang bisa berujung pada melanoma atau kanker kulit lainnya. Dalam konteks ini, uban menjadi simbol pilihan biologis yang bijak: tubuh lebih memilih kelabu daripada bahaya.
Lebih jauh, proses ini menunjukkan bahwa penuaan bukan semata-mata degenerasi, melainkan adaptasi. “Penuaan adalah hasil dari akumulasi keputusan seluler untuk menjaga integritas tubuh,” tulis López-OtÃn et al. (2013) dalam Cell. Dalam uban, kita melihat bagaimana tubuh menimbang risiko dan memilih jalan yang paling aman. Ini bukan sekadar estetika yang memudar, melainkan narasi tentang bagaimana tubuh mencintai dirinya sendiri dengan cara yang tidak selalu tampak indah. Uban adalah bentuk cinta yang tidak berisik.
Konklusi dari temuan ini mengubah cara kita memandang rambut beruban. Ia bukan hanya tanda usia, tetapi juga bukti bahwa tubuh memiliki sistem pertahanan yang canggih dan penuh pertimbangan. “Rambut beruban bisa menjadi indikator bahwa tubuh sedang mengaktifkan mekanisme perlindungan terhadap kanker,” tulis Greco & Guo (2022) dalam Annual Review of Cell and Developmental Biology. Maka, uban bukanlah akhir dari vitalitas, melainkan awal dari kebijaksanaan biologis.
Dan di titik ini, kita diajak untuk merenung: apakah kita cukup bijak untuk melihat keindahan dalam perlindungan? Dalam dunia yang memuja penampilan, tubuh diam-diam memilih keselamatan. Uban adalah pesan lembut bahwa hidup bukan hanya tentang tampak muda, tetapi tentang bertahan dengan elegan. Ia adalah surat cinta dari tubuh kepada dirinya sendiri, ditulis dalam warna perak yang tak pernah berbohong. Di sana, dalam helai yang memutih, ada keberanian, ada cinta, ada hidup yang memilih untuk tetap hidup.
Referensi:
• Takahashi, K., et al. (2023). “Kerusakan DNA pada sel punca melanocyte memicu penghentian aktivitas demi mencegah keganasan.” Nature Aging.
• López-OtÃn, C., Blasco, M. A., Partridge, L., Serrano, M., & Kroemer, G. (2013). “Penuaan sebagai hasil keputusan seluler.” Cell, 153(6), 1194–1217.
• Greco, V., & Guo, S. (2022). “Rambut beruban sebagai indikator proteksi kanker.” Annual Review of Cell and Developmental Biology, 38, 1–25.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji


Social Header