Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Queensland, 24 Desember 2025
Di balik desir angin yang membelai kelopak bunga, di antara nyanyian burung yang menggema di pagi hari, dan dalam getar halus buah yang matang di dahan, tersimpan satu energi purba yang menghidupi semesta: energi seksual. Kehidupan ini tumbuh dan berkembang karena seks. Ia adalah salah satu manifestasi dari cinta, manifestasi dari kehendak ilahi. Hasrat seksual bukanlah dosa. Itu alami, sehat, dan normal. Setiap manusia yang sehat memiliki hasrat seksual. Itu seperti lapar atau haus. Itu adalah kebutuhan biologis, dorongan hidup, energi kreatif yang mencari ekspresi. Ia bukan sekadar dorongan biologis, melainkan nyala kehidupan yang menari dalam tubuh dan jiwa. “Energi seksual adalah bentuk awal dari spiritualitas yang belum dimurnikan,” tulis Erasmus & Lombaard (2017). Namun, sejarah panjang peradaban telah mengaburkan cahaya ini, menjadikannya bayangan yang ditakuti dan disangkal. Ia dilabeli negatif, namun dikejar dan dicari, menguasai pikiran dan hati. Ketika manusia menyentuhnya dengan kesadaran, ia berubah menjadi doa, menjadi meditasi, menjadi tarian jiwa yang menyatu dengan kosmos.
“Dalam banyak tradisi keagamaan, tubuh dianggap sebagai bejana dosa, dan seks sebagai godaan yang harus ditundukkan,” ungkap Browning & Smith (2024). Pandangan ini telah melahirkan generasi yang terbelah antara tubuh dan jiwa, antara hasrat dan moralitas. Seksualitas yang seharusnya menjadi jalan menuju keintiman dan keutuhan, berubah menjadi medan perang antara rasa bersalah dan kebutuhan. Akibatnya, banyak yang menjalani kehidupan seksual yang kering, terburu-buru, dan tanpa penghayatan, sekadar memenuhi kewajiban, atau melampiaskan nafsu birahi belaka. “Ketika seks direpresi, ia tidak lenyap, melainkan mencari jalan keluar yang sering kali menyimpang,” tulis Toscano (2017).
Fenomena ini tidak hanya terjadi di ruang privat, tetapi juga meresap ke dalam struktur sosial dan budaya. “Pemahaman yang keliru tentang seksualitas telah menciptakan stigma terhadap perempuan sebagai objek godaan, dan terhadap laki-laki, sebagai pelaku dosa,” ujar McCann et al. (2020). Perempuan diajarkan untuk malu atas tubuhnya, laki-laki diajarkan untuk curiga terhadap hasratnya. Dalam relasi yang seharusnya saling menyembuhkan, tumbuh luka-luka yang diwariskan lintas generasi. Seks menjadi tabu, bukan karena ia kotor, tetapi karena manusia lupa bahwa ia sakral. Padahal ia adalah alat bagi Tuhan untuk menciptakan dan menumbuhkembangkan kehidupan.
Kini, saat dunia mulai membuka diri terhadap spiritualitas yang lebih inklusif dan holistik, muncul kesadaran baru bahwa “seksualitas dan spiritualitas bukanlah dua kutub yang bertentangan, melainkan satu energi yang sama dalam wujud berbeda,” tulis Marterella & Brock (2008). Ketika seks dijalani dengan kesadaran, kehadiran, dan cinta, ia menjadi jalan menuju Tuhan. Ia bukan sekadar kenikmatan fisik, tetapi pengalaman transenden yang menyatukan tubuh, jiwa, dan semesta. Seks yang dijalani dengan penghayatan adalah meditasi dalam gerak, doa dalam sentuhan, dan spiritualitas dalam keintiman.
Kesimpulannya, membebaskan seksualitas dari belenggu moralitas sempit bukan berarti menjadikannya liar, tetapi mengembalikannya pada hakikatnya yang suci dan penuh makna. Membebaskannya artinya menjadikannya wahana untuk memahami diri, menjadikannya pranala untuk menjinakkan ego yang cenderung mengejar kenikmatan sendiri dan menguasai, menumbuhkan kesadaran untuk memberi dan melayani. “Integrasi antara seksualitas dan spiritualitas adalah jalan menuju keutuhan manusia,” tegas Vieten et al. (2013). Dalam tubuh yang diterima, dalam hasrat yang dimengerti, dan dalam cinta yang dijalani, manusia menemukan dirinya yang utuh—tidak terbelah antara dosa dan kebajikan, antara tubuh dan jiwa. Orang tidak harus terobsesi mati dengan seks, tidak harus menghabiskan hidup mengejar kenikmatan seksual. Itu akan menjadi ekstrem lain yang sama-sama tidak seimbang. Seks harus diterima secara alami, dijalani secara sadar dan dipahami secara mendalam, bukan ditekan, bukan dikutuk, tetapi juga bukan menjadi obsesi mati. Seks harus ditempatkan secara alami dalam hidup. Tetapi agar hal ini terjadi, terlebih dahulu diperlukan pembebasan diri dari semua rasa bersalah, semua rasa malu yang telah tertanamkan.
Dan di titik ini, kita diajak untuk merenung: berapa banyak luka yang telah diwariskan oleh ajaran yang memisahkan tubuh dari roh? Berapa banyak cinta yang gagal tumbuh karena rasa bersalah yang ditanamkan sejak dini? Mungkin sudah saatnya kita menari kembali dalam tubuh kita sendiri, menyentuh hasrat dengan kesadaran, dan menjadikan seks sebagai jalan pulang menuju spiritualitas yang hidup. Sebab, dalam setiap getar cinta yang tulus, semesta sedang berdoa. Dalam ekspresi cinta yang sepenuhnya dihayati dan disadari, manusia sedang pulang, sedang menyatu dengan Sang Ilahi.
Referensi:
• Browning, S., & Smith, S. J. (2024). Sex-Positive Spirituality: Integrating Spirituality and Sexuality Into Therapy. Canadian Journal of Counselling and Psychotherapy, 58(1–4).
• Erasmus, A., & Lombaard, C.J.S. (2017). When equal becomes the same. The spirituality of sex: Have we lost it? Verbum et Ecclesia, 38(2), a1613.
• Marterella, A., & Brock, K. (2008). Spirituality and sexuality in therapy. Journal of Religion and Health.
• McCann, E., Donohue, G., & Timmins, F. (2020). An Exploration of the Relationship Between Spirituality, Religion and Mental Health Among Youth Who Identify as LGBT+. Journal of Religion and Health, 59, 828–844.
• Toscano, M. E. (2017). Intersectionality of Religion/Spirituality and Sexual and Gender Identity. Psychology of Religion and Spirituality, 9(4), 399–400.
• Vieten, C., et al. (2013). Spiritual and religious competencies in clinical practice. APA Press.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji


Social Header