Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Queensland, 25 Desember 2025
Ketika berkebun—di bawah terik matahari atau rintik hujan halus, ketika lutut mencium bumi dan jemari yang berlumur tanah mulai menari di antara akar-akar, sebuah gerbang tak kasat mata perlahan terbuka. Ini bukan sekadar aktivitas agrikultur; ini adalah ritual purba di mana keheningan kebun berbicara lebih lantang daripada kata-kata. Napas melambat, menyelaraskan diri dengan denyut halus fotosintesis di sekeliling. Dalam panggung sunyi nan dramatis ini, realitas fisik mulai melengkung; tanah bukan lagi sekadar materi mati, melainkan portal menuju kesadaran yang lebih luas, sebuah ruang di mana seseorang mulai merasakan "pengalaman kesatuan yang mendalam dengan alam, di mana batas antara diri dan lingkungan menjadi cair" (Cervinka et al., 2012).
Proses memasuki kondisi meditatif ini sering kali dipicu oleh gerakan repetitif—mencangkul, menyiangi, menyiram—yang bertindak sebagai mantra kinetik. Aktivitas fisik yang berulang ini menenangkan keriuhan pikiran sadar, memungkinkan individu terserap sepenuhnya ke dalam momen saat ini. Para peneliti mencatat bahwa keterlibatan intens dalam aktivitas berbasis alam seperti ini memfasilitasi kondisi flow, di mana "Seseorang menjadi begitu tenggelam dalam aktivitas tersebut sehingga hal lain tampaknya tidak penting; pengalaman itu sendiri sangat menyenangkan sehingga orang akan melakukannya bahkan dengan biaya besar, hanya karena ingin melakukannya semata" (Corazon et al., 2019).
Puncak dari spiritual gardening adalah pelarutan ego yang radikal. Identitas sosial, jabatan, kekecewaan dan kekhawatiran duniawi menguap seperti embun pagi. Yang tersisa hanyalah resonansi murni; unit ruh individual yang selama ini merasa terisolasi perlahan menyatu kembali dengan ruh sentral semesta. Pelaku kebun tidak lagi sekadar merawat tanaman di hadapannya; ia manunggal, menjadi taman itu sendiri—merasakan haus pada daun yang layu dan kegembiraan pada kuncup yang merekah. Literatur ilmiah mendukung bahwa interaksi mendalam dengan lingkungan taman memiliki "potensi restoratif yang kuat, tidak hanya untuk kelelahan mental tetapi juga sebagai sarana untuk pembaruan spiritual dan transendensi diri" (Grahn et al., 2010).
Secara neurosains, fenomena pelarutan ego di kebun ini bukanlah sekadar metafora puitis, melainkan pergeseran nyata dalam lanskap aktivitas otak dan tubuh. Ketika atensi terserap penuh secara mindful pada sensasi tekstur tanah, aroma humus, dan detail visual tanaman, area otak yang bertanggung jawab atas narasi diri yang tak henti-hentinya—dikenal sebagai Default Mode Network (DMN)—mulai menenang (Tang et al., 2015). Lebih jauh lagi, aktivitas ini memicu simfoni neurokimiawi yang menyembuhkan. Sentuhan langsung dengan tanah dan ritme alam merangsang peningkatan produksi serotonin (zat kimia pengatur suasana hati dan kebahagiaan) dan dopamin (yang memberikan rasa kepuasan saat melihat hasil panen atau pertumbuhan). Bersamaan dengan kerja fisik yang melepaskan endorfin sebagai pereda nyeri alami, kadar hormon stres kortisol menurun drastis. Perubahan kimiawi ini menciptakan landasan biologis bagi perasaan damai yang transenden, di mana studi menegaskan bahwa interaksi dengan alam secara signifikan "mengurangi konsentrasi kortisol, menurunkan denyut nadi, menurunkan tekanan darah, meningkatkan aktivitas saraf parasimpatis, dan menurunkan aktivitas saraf simpatis" (Park et al., 2010).
Sebagai konklusi, berkebun dalam dimensi spiritualnya adalah teknologi jiwa untuk mencapai transendensi. Ia mengubah tindakan sederhana menanam benih menjadi meditasi mendalam yang menjembatani dunia materi dan dunia ghaib. Melalui kontak langsung dengan siklus kehidupan, pertumbuhan, dan pelapukan di tanah, seseorang menemukan kembali keterhubungan fundamentalnya dengan Sang Pencipta dan semesta, membuktikan bahwa kedamaian tertinggi sering kali ditemukan di ujung jemari yang kotor oleh tanah.
Akhirnya, ketika alat-alat telah dibersihkan dan kita kembali melangkah ke dunia yang bising, jejak keheningan agung itu tetap tertinggal, terukir dalam di sukma. Kita menyadari dengan sentakan kesadaran bahwa kebun sesungguhnya tidak pernah hanya berada di luar sana. Tanah, benih, air, dan cahaya adalah metafora sempurna dari lanskap batin kita sendiri. Momen manunggal di antara flora mengajarkan satu kebenaran sunyi yang menggema: kita bukanlah penghuni asing yang terpisah di bumi ini, melainkan bagian tak terpisahkan dari jaring kehidupan semesta, yang untuk sesaat, kembali mengingat asalnya melalui sentuhan mesra dengan ibu pertiwi.
Referensi:
• Cervinka, R., Röderer, K., & Hefler, E. (2012). Are nature lovers happy? On various modes of nature connectedness, health and well-being. Journal of Environmental Psychology, 32(4), 379-388.
• Corazon, T. Y., Sidenius, U., Poulsen, D. V., Gramkow, M. C., & Stigsdotter, U. K. (2019). Psycho-physiological stress recovery in outdoor nature-based interventions: A systematic review of the past eight years of research. International Journal of Environmental Research and Public Health, 16(10), 1711.
• Grahn, P., Tenngart Ivarsson, C., Stigsdotter, U. K., & Bengtsson, I. L. (2010). Using affordances as a health-promoting tool in a therapeutic garden. Dalam Innovative Approaches to Researching Landscape and Health (hlm. 116-154). Routledge.
• Park, B. J., Tsunetsugu, Y., Kasetani, T., Kagawa, T., & Miyazaki, Y. (2010). The physiological effects of Shinrin-yoku (taking in the forest atmosphere or forest bathing): evidence from field experiments in 24 forests across Japan. Environmental health and preventive medicine, 15(1), 18–26.
• Tang, Y. Y., Hölzel, B. K., & Posner, M. I. (2015). The neuroscience of mindfulness meditation. Nature Reviews Neuroscience, 16(4), 213-225.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji


Social Header