Breaking News

“TIDAK ADA AGAMA YANG MEMILIKI KEBENARAN MUTLAK DAN OBYEKTIF”


(Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma) – Depok, 10 November 2025

Gagasan bahwa "tidak ada agama yang memiliki kebenaran mutlak dan obyektif" merupakan perspektif yang mendapatkan perhatian signifikan dalam studi agama dan filsafat modern. Pandangan ini menyatakan bahwa "semua agama benar secara subyektif-kolektif menurut penganutnya masing-masing". Artinya, kebenaran agama tidak terletak pada pembuktian empiris atau logika universal, melainkan pada "keyakinan pribadi dan konsensus komunal" (Berger, 1967) dalam suatu tradisi keagamaan tertentu.

Dari sudut pandang sosiologi pengetahuan, "konstruksi sosial realitas" (Berger & Luckmann, 1966) menjelaskan bagaimana makna dan kebenaran, termasuk kebenaran agama, dibangun dan dipelihara melalui interaksi sosial. Setiap komunitas agama memiliki "sistem simbolik, narasi, dan praktik ritualnya sendiri" (Geertz, 1973) yang membentuk pemahaman anggotanya tentang dunia dan tempat mereka di dalamnya. Kebenaran agama, dalam kerangka ini, bersifat "relatif terhadap konteks sosial dan budaya" di mana agama tersebut dipraktikkan. Apa yang dianggap benar dan sakral dalam satu agama mungkin berbeda atau bahkan bertentangan dengan keyakinan agama lain.

Dalam kajian pluralisme agama, pandangan ini didukung oleh pengamatan terhadap "keragaman fenomena keagamaan" (Hick, 1989) di seluruh dunia. Meskipun berbagai agama mungkin memiliki kesamaan nilai-nilai etis universal, mereka memiliki "doktrin teologis, kosmologi, dan jalan spiritual yang berbeda-beda". Pluralis agama berpendapat bahwa "tidak ada satu agama pun yang memegang monopoli kebenaran" atau merupakan satu-satunya jalan menuju keselamatan atau pemahaman tertinggi. Sebaliknya, setiap tradisi agama dapat dipandang sebagai "respons yang valid dan berharga terhadap Yang Ilahi atau Realitas Transenden", meskipun respons tersebut diungkapkan melalui lensa budaya dan sejarah yang berbeda.

Dari perspektif filsafat agama, gagasan tentang "keterbatasan kognitif manusia" (Kant, 1781/1998) dalam memahami realitas mutlak juga relevan. Menurut Kant, pikiran manusia hanya dapat mengakses "fenomena" (dunia pengalaman) dan tidak dapat mengetahui "noumena" (realitas sebagaimana adanya). Jika Yang Ilahi atau kebenaran tertinggi berada di ranah noumena, maka "klaim kebenaran mutlak oleh agama-agama yang dibangun atas pengalaman dan interpretasi manusia bersifat problematik". Setiap agama menawarkan "interpretasi dan representasi" (Armstrong, 1993) dari Yang Ilahi yang dibatasi oleh bahasa, budaya, dan sejarah manusia.

Implikasi dari pandangan ini adalah pentingnya "toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan agama" (Küng, 1991). Jika tidak ada agama yang memiliki kebenaran mutlak dan obyektif, maka tidak ada dasar yang kuat untuk mengklaim superioritas satu agama atas agama lain atau untuk memaksakan keyakinan agama tertentu kepada orang lain. Pengakuan terhadap "validitas subyektif-kolektif" setiap tradisi agama dapat menjadi landasan bagi "dialog antaragama yang konstruktif" dan "kehidupan berdampingan yang damai" dalam masyarakat pluralistik.

Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa pandangan ini tidak berarti bahwa semua klaim keagamaan sama validnya dalam segala hal, atau bahwa tidak ada standar etika universal. Namun, dalam ranah keyakinan metafisik dan teologis, perspektif ini mendorong "kerendahan hati intelektual" dan pengakuan terhadap "batas-batas pemahaman manusia" tentang Yang Transenden.

Referensi:
• Armstrong, K. (1993). A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam. Ballantine Books.
• Berger, P. L. (1967). The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion. Doubleday.
• Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. Anchor Books.
• Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures: Selected Essays. Basic Books.
• Hick, J. (1989). An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent. Yale University Press.
• Kant, I. (1998). Critique of Pure Reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781)
• Küng, H. (1991). Global Responsibility: In Search of a New World Ethic. Crossroad Publishing Company.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives" 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM