Breaking News

PERNIKAHAN: PAKET DARI LANGIT ATAU DRAMA DUNIA?


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 5 November 2025

Dalam setiap ikatan suci pernikahan, ada bisikan optimisme yang mengalir dari zaman ke zaman: bahwa dua jiwa telah ditakdirkan, bahwa Tuhan telah merajut takdir untuk mempertemukan belahan jiwa yang sempurna, potongan puzzle yang saling melengkapi dalam simfoni kehidupan. Seolah-olah, alam semesta berhenti sejenak untuk merayakan sebuah kemisteriusan ilahi. Namun, di antara denting janji suci dan taburan bunga, realitas seringkali menyajikan narasi yang berbeda. Kisah-kisah perpisahan dan perceraian yang tak terhitung jumlahnya menjadi saksi bisu, mengoyak mitos "jodoh" menjadi serpihan tanya. Pertanyaannya kemudian, apakah pernikahan sesungguhnya selalu merupakan pertemuan takdir yang ilahi, ataukah ia adalah sebuah peristiwa yang berakar kuat dalam dinamika alamiah: biologis, psikologis, dan sosial belaka?

Dalam pandangan religius dan spiritual, pernikahan seringkali dipandang sebagai sebuah takdir ilahi. "Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Konsep soulmate atau belahan jiwa yang "ditakdirkan" adalah narasi yang kuat, memberikan rasa aman dan makna transenden pada hubungan tersebut. Keyakinan ini bisa menjadi fondasi kuat yang menyatukan pasangan, memberikan kekuatan saat menghadapi badai, karena mereka percaya ada kekuatan yang lebih besar yang merestui dan menyatukan mereka (Rahayu, 2021).

Namun, pandangan yang lebih pragmatis melihat pernikahan sebagai hasil dari serangkaian faktor biologis, psikologis, dan sosial. Secara biologis, daya tarik awal seringkali dipicu oleh feromon (kimiawi tubuh berdaya pikat seksual), penampilan fisik, dan insting reproduksi yang mendalam (Wulandari, t.t.). Ketertarikan kimiawi ini bisa disalahartikan sebagai "cinta sejati" atau "jodoh." Dari sudut pandang psikologis, individu cenderung memilih pasangan yang mencerminkan kebutuhan emosional mereka, pola keterikatan (attachment style) yang familiar, atau yang mengisi kekosongan diri (Ainsworth & Bowlby, 1991, dalam Nurussakinah, Rismaliza, & Ristiyanti, t.t.).

Faktor sosial juga memegang peranan krusial. "Perkawinan adalah suatu proses sosial yang berlangsung di antara dua orang yang berlainan jenis kelamin sebagai suami-isteri" (Wirawan, 2002, dalam Lestari, 2012). Tekanan keluarga, norma budaya, status ekonomi, dan bahkan ekspektasi masyarakat seringkali mendorong individu untuk menikah. Pernikahan menjadi institusi sosial yang mengatur garis keturunan, kepemilikan, dan status. "Dalam Islam, perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang wanita untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga" (Lestari, 2012). Fenomena perceraian, yang semakin meningkat, menunjukkan bahwa “jodoh, takdir" seringkali tidak cukup untuk menopang realitas kompleks sebuah hubungan interpersonal yang terus berkembang dan berubah (Wahyuni & Purnomo, 2021).

Sebagai konklusi, pernikahan mungkin adalah sebuah panggung di mana takdir ilahi bertemu dengan drama manusiawi. Ide "jodoh" adalah sebuah keyakinan indah yang bisa memupuk harapan, namun esensi pernikahan itu sendiri terletak pada upaya kolektif, kompromi berkelanjutan, dan kesadaran diri yang mendalam.

Mungkin, bukan Tuhan yang "mempertemukan belahan jiwa", melainkan Tuhan yang memberi kita kesempatan untuk menempa jiwa-jiwa kita menjadi utuh bersama orang lain. Pernikahan bukanlah ending dari sebuah pencarian, melainkan starting point dari sebuah perjalanan panjang. Ini adalah laboratorium tempat dua individu diundang untuk tumbuh, beradaptasi, dan belajar mencintai tidak hanya pada masa-masa indah, tetapi juga melalui kerutan di wajah, perubahan prioritas, dan badai kehidupan. Pertanyaan tentang "jodoh" sebaiknya tidak diartikan sebagai takdir yang pasif, melainkan sebagai panggilan untuk aktif menciptakan takdir bersama. Apakah kita akan memilih untuk sekadar menjadi penonton takdir, ataukah kita akan menjadi arsitek aktif yang membangun jembatan di atas jurang perbedaan, menenun benang-benang cinta, dan merawat taman komitmen, sehingga ikatan kita dapat berkembang, bukan karena kebetulan, melainkan karena pilihan sadar dan kerja keras? Di situlah terletak keajaiban sejati pernikahan, lebih dari sekadar dogma, melainkan sebuah seni hidup.

------SELESAI------

Referensi:
• Lestari, E. S. (2012). Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perceraian di Kecamatan Kaliwates Kabupaten Jember. Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, 4(1).
• Nurussakinah, Rismaliza, & Ristiyanti. (t.t.). Studi tentang Gaya Keterikatan Dewasa (Adult Attachment Style) pada Mahasiswa yang Berpacaran. Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 1(2), 65-72.
• Rahayu, N. (2021). Konsep Jodoh Menurut Perspektif Al-Qur’an. UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
• Wahyuni, E., & Purnomo, R. (2021). Faktor-Faktor Penyebab Perceraian di Masa Pandemi Covid-19 (Studi Kasus di Pengadilan Agama Kendal). Jurnal Ilmu Hukum, 13(2).
• Wulandari, R. N. (t.t.). Peran Hormon Dalam Psikologi Perkembangan Manusia. Universitas Muhammadiyah Semarang.
__________________________________________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
___________________________________________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM