Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 22 November 2025
Dalam pusaran kosmos yang tak pernah berhenti berputar, manusia menempelkan label pada peristiwa: keberhasilan dan kegagalan. Namun bagi semesta, yang ada hanyalah tarian energi, perpindahan materi, dan transformasi tanpa henti. "Keberhasilan hanyalah nama yang diberikan manusia pada titik tertentu dari arus perubahan, sementara kegagalan adalah nama lain dari arus yang sama" (Santosa, 2021). Di balik gemerlap ekonomi atau runtuhnya usaha, semesta hanya melihat aliran: materi berpindah, energi bergeser, keseimbangan mencari bentuk baru.
Manusia menciptakan narasi tentang pencapaian, seolah-olah semesta menilai. Padahal, "nilai keberhasilan dan kegagalan adalah konstruksi sosial yang lahir dari kebutuhan manusia untuk memberi makna pada pengalaman" (Berger & Luckmann, 1991). Dalam perspektif kosmologi, tidak ada titik akhir yang disebut berhasil atau gagal, hanya proses yang terus bergerak. Seperti sungai yang mengalir tanpa peduli apakah manusia menyebutnya sebagai musibah banjir atau limpahan berkah air, semesta tetap melanjutkan pertunjukan kosmiknya. Bintang yang mati ataupun yang lahir, pergeseran kerak bumi, gunung yang meletus ataupun yang baru tumbuh, rusa yang diterkam singa, elang yang memangsa anak ayam, manusia yang lahir ataupun yang mati, manusia yang menjadi raja ataupun yang dipenjara, hanyalah peristiwa dan tarian alam semesta. Nilainya sama saja di mata semesta; tak ada yang lebih mulia, tak ada yang lebih hina. Norma, etika, hukum, moralitas, standar baik-buruk, standar benar-salah, maupun standar keberhasilan-kegagalan adalah kesepakatan ciptaan manusia untuk mengatur hidupnya secara bersama-sama.
Ekonomi, yang sering dijadikan ukuran keberhasilan, sesungguhnya hanyalah pergeseran material. "Pertumbuhan ekonomi adalah redistribusi sumber daya dari satu sektor ke sektor, dari satu tempat ke tempat lain, bukan penciptaan materi baru" (Stiglitz, 2019). Ketika satu pihak memperoleh keuntungan, pihak lain kehilangan sebagian. Ketika satu wilayah mengalami surplus, wilayah lain mengalami defisit. Ketika bangunan-bangunan di kota berdiri, ada bagian dari gunung dan hutan yang terkurangi. Semesta tidak menilai, ia hanya memberi ruang konsekuensi logis.
Demikian pula kegagalan ekonomi. "Krisis bukanlah kehancuran mutlak, melainkan mekanisme alamiah untuk menata ulang keseimbangan sistem" (Krugman, 2009). Apa yang disebut keruntuhan pasar hanyalah perpindahan nilai, pergeseran energi sosial, dan transformasi struktur. Kerugian seorang pengusaha adalah keuntungan bagi pengusaha lain. Keuntungan di pasar saham adalah membeli di harga rendah, dan menjual di harga tinggi, yang berarti karena ada pihak lain lagi yang membeli di harga yang sudah tinggi. Pencurian, perampokan, korupsi, hanyalah perpindahan materi dari satu tempat ke tempat lain; tidak ada materi yang hilang dari alam semesta dalam hal ini. Semesta tidak mengenal kata gagal, ia hanya mengenal perubahan bentuk dan perpindahan materi.
Konsep keberhasilan dan kegagalan, jika dilihat dari perspektif ekologis, hanyalah ilusi. "Ekologi menunjukkan bahwa setiap penambahan di satu titik ekosistem selalu berarti pengurangan di titik lain" (Odum, 2004). Tidak ada yang benar-benar bertambah atau berkurang, hanya berpindah. Semesta adalah panggung keseimbangan, bukan arena kompetisi.
Konklusi dari refleksi ini adalah bahwa keberhasilan dan kegagalan hanyalah cermin psikologis manusia. "Psikologi eksistensial menegaskan bahwa penderitaan dan keberhasilan hanyalah interpretasi subjektif atas pengalaman hidup" (Frankl, 2006). Semesta tidak pernah memberi label, manusialah yang menempelkan makna. Dengan demikian, memahami bahwa semesta hanya mengenal gerakan dapat membebaskan manusia dari belenggu ilusi keberhasilan dan kegagalan.
Dan akhirnya, dalam ruang refleksi yang sunyi, kita dapat menyadari bahwa semesta adalah panggung tanpa tepuk tangan, tanpa ejekan. Ia hanya berputar, bergerak, berpindah, dan berubah. "Segala sesuatu adalah transformasi, bukan kemenangan atau kekalahan" (Capra, 2002). Maka, manusia yang bijak adalah ia yang mampu melihat gerakan itu sebagai tarian kosmik, bukan sebagai catatan skor. Di sanalah kebebasan sejati terjadi: menerima bahwa hidup adalah tarian, bukan perlombaan.
Referensi:
• Berger, P. L., & Luckmann, T. (1991). The Social Construction of Reality. London: Penguin.
• Capra, F. (2002). The Hidden Connections: Integrating the Biological, Cognitive, and Social Dimensions of Life. New York: Doubleday.
• Frankl, V. E. (2006). Man’s Search for Meaning. Boston: Beacon Press.
• Krugman, P. (2009). The Return of Depression Economics and the Crisis of 2008. New York: W.W. Norton.
• Odum, E. P. (2004). Fundamentals of Ecology. Belmont: Brooks Cole.
• Santosa, A. (2021). Kosmologi dan Makna Hidup dalam Perspektif Nusantara. Jakarta: Gramedia.
• Stiglitz, J. E. (2019). People, Power, and Profits: Progressive Capitalism for an Age of Discontent. New York: W.W. Norton.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji


Social Header