Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma – Depok, 2 Oktober 2025.
Hidup bukanlah panggung yang hanya menampilkan tawa. Ia adalah simfoni yang mewadahi nada-nada mayor, jeda yang hening, maupun nada-nada minor, yang tidak hanya menyambut tawa, tapi juga merangkul tangis, luka, dan keheningan. Di balik cahaya yang kita kejar, ada bayangan yang tak bisa dihindari. Terlalu banyak orang berlari mengejar kebahagiaan, seolah itu satu-satunya bukti bahwa hidup telah dijalani dengan benar. Padahal, “kesedihan bukan musuh kebahagiaan, melainkan saudaranya yang diam-diam mengajarkan makna” (Siregar, 2023). Dalam kesedihan, manusia belajar tentang kedalaman, tentang kehilangan hal-hal yang ada di luar, tentang cinta yang tak selalu utuh. Ia bukan kegagalan, melainkan ruang untuk pulang ke diri yang paling dalam, yang sejati. Kesedihan adalah panggilan untuk pulang ke rumah batin semesta.
Kebahagiaan yang dikejar secara obsesif justru bisa menjadi sumber tekanan. “Semakin seseorang memaksakan diri untuk bahagia, semakin besar kemungkinan ia merasa gagal ketika kenyataan tidak sesuai harapan” (Ryan & Deci, 2001). Dalam studi psikologi positif, ditemukan bahwa pencarian kebahagiaan yang berlebihan dapat menimbulkan paradoks emosional, di mana harapan akan kebahagiaan justru menciptakan kecemasan dan rasa tidak cukup (Ford et al., 2015). Maka, hidup yang sehat bukanlah hidup yang selalu bahagia, melainkan hidup yang mampu menerima seluruh spektrum emosi dengan sadar, takzim, dan lapang dada. “Hidup bukan tentang menghindari badai dan topan, tapi tentang belajar menari di dalam hujan” (Yalom, 2017).
Kesedihan memiliki fungsi eksistensial. Ia bukan sekadar emosi negatif, melainkan mekanisme reflektif yang membantu manusia memahami nilai, kehilangan, dan keterikatan. “Kesedihan adalah bentuk komunikasi batin antara manusia dan makna hidupnya” (Frankl, 2006). Dalam konteks ini, kesedihan menjadi jendela menuju pemaknaan yang lebih dalam, bukan sekadar beban yang harus disingkirkan. Ia mengajarkan bahwa hidup bukan tentang menghindari rasa sakit, melainkan tentang bagaimana kita berdamai dengannya.
Keseimbangan emosional adalah kunci. “Integrasi antara emosi positif dan negatif membentuk ketahanan psikologis yang lebih kuat” (Lomas, 2016). Ketika manusia mampu menerima kesedihan sebagai bagian dari narasi hidupnya, ia tidak lagi terjebak dalam ilusi kebahagiaan. Ia tidak lagi terlalu sibuk mencari dan mengoleksi alat-alat bantu kebahagiaan. Ia menjadi lebih utuh, lebih manusiawi. Dalam konteks budaya Timur, penerimaan terhadap kesedihan bahkan dianggap sebagai bentuk kedewasaan spiritual (Koentjaraningrat, 2009).
Kesadaran bahwa kesedihan adalah bagian dari perjalanan hidup membuka ruang refleksi yang mendalam. Kita tidak harus selalu tersenyum untuk merasa hidup. Terkadang, air mata adalah bentuk kejujuran yang paling murni. Dalam kesedihan, kita dituntun untuk menemukan ruang hening yang tidak bisa dijangkau oleh tawa. Di sanalah kita belajar tentang ketabahan, tentang cinta yang tidak bersyarat, tentang pulang ke kehangatan pelukan dan pangkuan ibu semesta. Maka, biarkan kesedihan hadir. Ia bukan akhir, melainkan bagian dari perjalanan pulang ke diri yang paling hakiki, yang sejati.
Referensi:
• Ford, B. Q., Mauss, I. B., & Gruber, J. (2015). “Pengejaran kebahagiaan yang berlebihan dapat merusak kesejahteraan emosional.” Journal of Experimental Psychology: General, 144(5), 1053–1065.
• Frankl, V. E. (2006). Man’s Search for Meaning. Beacon Press.
• Koentjaraningrat. (2009). Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka.
• Lomas, T. (2016). “Keseimbangan emosi sebagai fondasi ketahanan psikologis.” The Journal of Positive Psychology, 11(5), 525–536.
• Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2001). “Kebutuhan dasar psikologis dan kesejahteraan manusia.” American Psychologist, 55(1), 68–78.
• Siregar, A. (2023). “Kesedihan sebagai ruang pemaknaan.” Jurnal Psikologi Nusantara, 12(2), 87–95.
• Yalom, I. D. (2017). Staring at the Sun: Overcoming the Terror of Death. Jossey-Bass.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di media sosial dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header