Breaking News

PEMBERONTAKAN LAHIR SAAT PENGUASA LUPA UNTUK MELAYANI

 
Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 15 September 2025.
Di lorong sejarah yang panjang, kekuasaan sering diibaratkan obor yang menyala di tangan para pemimpin; cahaya yang seharusnya menerangi jalan rakyatnya. Namun, ketika obor itu diarahkan hanya untuk menerangi singgasana sendiri, bayang-bayang kegelapan mulai merayap di hati rakyat. “Pemberontakan lahir saat penguasa lupa bahwa mereka ada untuk melayani” (Konfusius, dalam The Analects). Inilah titik di mana legitimasi runtuh, dan suara-suara yang dulu berbisik berubah menjadi gelombang yang mengguncang.

Konsep kepemimpinan yang berakar pada pelayanan telah lama menjadi inti ajaran filsafat Timur. “Pemimpin sejati adalah ia yang menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi” (Hutahaean, 2021). Dalam pandangan ini, kekuasaan bukanlah hak istimewa, melainkan amanah yang harus dijaga dengan integritas. Pemimpin yang melayani memahami bahwa kesejahteraan rakyat adalah fondasi stabilitas negara.

Ilmu politik modern menegaskan bahwa legitimasi kekuasaan lahir dari pengakuan rakyat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah. “Legitimasi adalah pengakuan dan penerimaan masyarakat kepada pemimpin untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik” (Retizen, 2021). Ketika penguasa mengabaikan kebutuhan rakyat, legitimasi ini terkikis, membuka jalan bagi krisis kepercayaan yang dapat memicu pemberontakan.

Dalam perspektif kepemimpinan etis, “etika adalah kompas moral yang mengarahkan setiap keputusan pemimpin” (Mulyana et al., 2023). Pemimpin yang kehilangan kompas ini akan tersesat dalam labirin kepentingan pribadi, mengabaikan arah menuju kesejahteraan bersama. Kepemimpinan etis menuntut keberanian untuk menolak godaan kekuasaan absolut dan memilih jalan yang sulit: melayani dengan tulus.

Sejarah menunjukkan bahwa pemberontakan sering kali bukan sekadar reaksi spontan, melainkan akumulasi kekecewaan yang panjang. “Ketidakpuasan publik yang terakumulasi dapat memicu mobilisasi massa yang cepat dan destruktif” (Tarrow, 2011). Dari revolusi besar hingga gerakan rakyat lokal, pola ini berulang: penguasa yang lalai melayani akan menuai badai.

Dalam konteks globalisasi, arus informasi mempercepat proses ini. “Jaringan digital mempercepat difusi emosi kolektif dan koordinasi spontan” (Tufekci, 2017). Rakyat kini memiliki saluran untuk menyuarakan ketidakpuasan secara masif, dan penguasa yang menutup telinga akan segera merasakan getaran perlawanan.

Konklusinya, prinsip yang diajarkan Konfusius tetap relevan: kekuasaan adalah tanggung jawab, bukan hak mutlak. “Pemulihan legitimasi menuntut reformasi yang menyeimbangkan respons cepat dengan keadilan jangka panjang” (Diamond, 2019). Pemimpin yang bijak akan melihat tanda-tanda awal keretakan dan segera kembali pada esensi kepemimpinan: melayani.

Pada akhirnya, kepemimpinan adalah cermin yang memantulkan wajah moral bangsa. Bila cermin itu retak oleh keserakahan, bayangan yang muncul adalah wajah pemberontakan. Namun, bila ia dijaga dengan bening oleh pelayanan tulus, yang terpantul adalah wajah persatuan. Di titik inilah, kita diingatkan bahwa kekuasaan sejati bukanlah kemampuan untuk memerintah, melainkan kesediaan untuk mengabdi. Dan di sanalah, badai akan bisa mereda, karena obor kembali menerangi jalan yang seharusnya.

Referensi:
• Diamond, L. (2019). Ill winds: Saving democracy from Russian rage, Chinese ambition, and American complacency. Penguin Press.
• Hutahaean, W. S. (2021). Filsafat dan teori kepemimpinan. Ahlimedia Book.
• Konfusius. (n.d.). The Analects.
• Mulyana, A. R., Sobandi, A., & Santoso, B. (2023). Literatur review kepemimpinan etis. Ekonomis: Journal of Economics and Business, 7(2), 983–991.
• Retizen. (2021). Kekuasaan, kewenangan, dan legitimasi dalam ilmu politik. Republika.
• Tarrow, S. (2011). Power in movement: Social movements and contentious politics (3rd ed.). Cambridge University Press.
• Tufekci, Z. (2017). Twitter and tear gas: The power and fragility of networked protest. Yale University Press.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives" 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
___________________________________________________________________________

Keterangan Keterbukaan:
- Ide pokok, konteks, kerangka berfikir, format dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis 
- Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya oleh penulis dengan menggunakan AI

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM