Breaking News

TUGAS KITA ADALAH MENGALAMI SEPENUHNYA


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 20 Agustus 2025.
Di tengah pusaran kehidupan yang tak pernah berhenti, manusia sering kali terperangkap dalam dikotomi sempit: mengejar kebahagiaan bak mengejar fatamorgana di padang pasir, dan menjauhi penderitaan seperti lari dari sesi mata pelajaran yang tak ingin diikuti. Kita didoktrin untuk mencari kesenangan dan lari dari kesedihan, seolah-olah eksistensi ini hanyalah sebuah permainan dengan dua pilihan ekstrem. Namun, bukankah kehidupan itu sendiri adalah sebuah simfoni yang terdiri dari nada-nada cerah dan gelap? Bukankah kanvas lukisan pengalaman manusia justru kaya karena adanya kontras antara tawa dan air mata? Tugas kita di dunia ini mungkin jauh lebih mendalam daripada sekadar memilih satu sisi koin; barangkali, esensi kehidupan terletak pada keberanian untuk sepenuhnya mengalami keduanya, untuk menari di antara suka dan duka, agar dari perjumpaan kedua elemen kehidupan itu lahir makna sejatinya.

Secara filosofis, pandangan bahwa penderitaan memiliki peran penting dalam pembentukan makna telah dikemukakan oleh berbagai pemikir. Viktor Frankl (2006), seorang psikiater yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi, menekankan bahwa makna dapat ditemukan bahkan dalam situasi penderitaan yang paling ekstrem. "Penderitaan berhenti menjadi penderitaan pada saat ia menemukan makna," tulis Frankl. Pengalaman pahit dapat menjadi katalisator untuk pertumbuhan pribadi, ketahanan, dan pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri dan dunia.

Dari perspektif psikologi positif yang lebih kontemporer, meskipun kebahagiaan dan kesejahteraan subjektif tetap menjadi fokus, semakin diakui bahwa emosi negatif juga memiliki fungsi adaptif yang penting. Menurut Fredrickson (2001), emosi negatif seperti kesedihan atau ketakutan dapat memicu proses refleksi dan membantu individu mengatasi tantangan. "Emosi negatif mempersempit fokus perhatian, mempromosikan analisis situasi yang cermat dan respons spesifik tindakan yang adaptif," jelas Fredrickson. Tanpa kemampuan untuk merasakan dan memproses penderitaan, kapasitas kita dalam empati, pemahaman, dan pertumbuhan moral akan terhambat.

Lebih lanjut, pengalaman akan kebahagiaan dan penderitaan secara bersamaan memungkinkan manusia untuk menghargai kontras dan paradoks kehidupan. Kebahagiaan sering kali terasa lebih manis setelah mengalami kesulitan, dan penderitaan dapat memberikan perspektif yang lebih dalam tentang apa yang benar-benar berharga. "Kontras emosional meningkatkan intensitas pengalaman subjektif, memungkinkan penghargaan yang lebih mendalam terhadap aspek positif kehidupan setelah mengatasi kesulitan," catat Solomon (1993) dalam teorinya tentang proses melawan emosi. Penderitaan dan kebahagiaan bukanlah sekadar peristiwa remeh biasa, melainkan cara Tuhan mengekspresikan dan mengalami seluruh potensi-Nya melalui diri kita.

Oleh karena itu, tugas hidup kita bukanlah sekadar menghindari satu dan mengejar yang lain, melainkan untuk membuka diri pada spektrum penuh pengalaman manusia. Baik kebahagiaan maupun penderitaan adalah guru yang berharga, masing-masing menawarkan pelajaran yang unik dan esensial untuk perjalanan jiwa. Dengan merangkul keduanya, kita tidak hanya bertahan hidup, tetapi kita benar-benar hidup, menciptakan makna yang mendalam dari setiap liku dan tantangan.

Pada akhirnya, kehidupan bukanlah sebuah garis lurus satu arah yang menuju kebahagiaan tanpa akhir, melainkan sebuah perjalanan yang berkelok-kelok melalui lembah kesedihan dan puncak sukacita. Setiap air mata yang jatuh dan setiap tawa yang membahana adalah benang yang merajut permadani eksistensi kita. Janganlah kita menutup diri dari salah satunya, karena di sanalah, dalam perpaduan keduanya, kita menemukan keutuhan diri. Tugas kita bukanlah untuk menghindari badai, tetapi untuk belajar menari di tengah hujan, karena di sanalah, makna sejati kehidupan bersemi, teralami, dan terpahami. Ketika makna sejati sepenuhnya sudah terpahami, maka tugas kita di setiap episode kehidupan selesai. Sebab, di saat makna sejati terpahami, di situ lah pertumbuhan dan pembebasan jiwa terjadi.

Referensi:
• Frankl, V. E. (2006). Man's Search for Meaning. Beacon Press.
• Fredrickson, B. L. (2001). “The role of positive emotions in positive psychology: The broaden-and-build theory of positive emotions.” American Psychologist, 56(3), 218–226.
• Solomon, R. L. (1993). “An opponent-process theory of motivation: IV. The affective dynamics of addiction.” In The Nature of Remembering: Essays in Honor of Robert G. Crowder (pp. 243-272). Psychology Press.

"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Narasumber : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM