Breaking News

“STAKEHOLDER CAPITALISM”: MEMANDANG DARI TEPI, MENYINARI YANG TERPINGGIRKAN

 
Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 13 Agustus 2025.
Di tengah gelombang arus ekonomi yang tak pernah diam, korporasi berdiri seperti kapal besar yang kadang kehilangan arah kompasnya. Ombak pikiran datang silih berganti, menggoyang keyakinan tentang untuk apa korporasi ada, ke mana ia harus diarahkan, dan siapa yang seharusnya memegang kemudi. Di balik gemerlap pencapaian dan laporan tahunan, ada suara-suara pelan yang jarang terdengar—napas kelompok rentan, desir langkah mereka yang bangun pagi tanpa kepastian, dan tatapan kosong dari jendela rumah sempit di sudut kampung. “Kita hanya akan melihat dengan utuh jika berdiri di tepi, bersama mereka yang terpinggirkan, bukan di tengah keramaian,” kata Paus Fransiskus, mengingatkan bahwa makna sejati sering kali bersembunyi di tempat yang tak disorot lampu panggung (Irmanto, 2025).

Dalam lanskap korporasi modern, peran pemimpin bukan sekadar pengarah strategi, melainkan penjaga perspektif. Ia menentukan ke mana cahaya diarahkan, dan sering kali, cahaya itu paling dibutuhkan di tempat yang jauh dari panggung. “Seorang pemimpin adalah penjaga perspektif” (Irmanto, 2025), bukan hanya pengambil keputusan, tetapi juga penafsir realitas sosial. Studi oleh Maak dan Pless (2020) menekankan bahwa kepemimpinan yang bertanggung jawab harus berakar pada empati dan keberpihakan terhadap kelompok yang terpinggirkan. Perspektif ini menggeser paradigma lama yang menempatkan pusat kekuasaan sebagai titik pandang utama, menuju pendekatan yang lebih inklusif dan reflektif.

Korporasi yang ingin memahami denyut ekonomi di sekitarnya tidak cukup hanya melihat dari menara kaca kantor pusat. Ia harus turun ke jalan, menyelami kehidupan mereka yang bekerja tanpa jaminan, mendengar cerita dari warung kopi pagi, dan menyaksikan perjuangan harian yang tak tercatat dalam laporan keuangan. “Kalau ingin tahu wajah asli kondisi sosial, jangan hanya mendengar tepuk tangan di aula rapat,” tulis Yunus (2019) dalam kajiannya tentang ekonomi kerakyatan. Pendekatan ini menuntut transformasi cara pandang: dari efisiensi menuju kebermaknaan, dari profit menuju keberlanjutan sosial.

Konsep “stakeholder capitalism” yang digaungkan oleh Schwab (2021) menegaskan bahwa perusahaan harus melayani semua pemangku kepentingan, bukan hanya pemegang saham. Ini berarti mendengar suara yang lemah, melihat wajah yang tak muncul di layar presentasi, dan mengakui bahwa keberlanjutan bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga tentang keadilan sosial. “Membangun dunia yang lebih baik berarti membangun dari pinggiran, bukan dari pusat,” tulis Sen (2020) dalam refleksinya tentang pembangunan inklusif.

Maka, seorang pemimpin sejati bukanlah mereka yang berdiri di tengah sorotan, tetapi yang berjalan ke tepian, menyinari sudut-sudut yang gelap, dan memberi ruang bagi suara yang selama ini dibungkam. Di sanalah, di tepian yang sepi itu, kita menemukan tujuan yang paling jernih—bukan dalam angka, tetapi dalam makna. Kepemimpinan yang berakar pada keberpihakan dan keberanian untuk melihat dari sisi yang tak nyaman adalah kunci untuk membangun dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.

Referensi: 
• Irmanto, B. (2025). Accessed on https://www.linkedin.com/feed/update/urn:li:activity:7360668573628846080/
• Maak, T., & Pless, N. M. (2020). Responsible leadership: Pathways to the future. Journal of Business Ethics, 162(3), 429–444.
• Yunus, M. (2019). A World of Three Zeros: The New Economics of Zero Poverty, Zero Unemployment, and Zero Net Carbon Emissions. PublicAffairs.
• Schwab, K. (2021). Stakeholder Capitalism: A Global Economy that Works for Progress, People and Planet. Wiley.
• Sen, A. (2020). Development as Freedom. Oxford University Press.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM