Breaking News

FENOMENA DI BALIK TRANSFORMASI KATA PIKNIK MENJADI “HEALING”


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma – Depok, 8 Agustus 2025.
Dulu, manusia pergi ke taman, ke pantai, ke gunung, dan menyebutnya piknik. Kini, ia menyebutnya healing. Kata yang dulu ringan kini menjadi berat, menyiratkan luka, mengandung harapan, dan pencarian makna. “Healing” bukan lagi sekadar liburan, melainkan ritual pemulihan jiwa yang retak oleh tekanan zaman. “Perubahan istilah dari piknik ke healing menunjukkan pergeseran paradigma dari rekreasi menuju restorasi batin” (Suryani, 2023). Di balik senyum di media sosial, tersimpan jeritan sunyi yang tak terucap. Dunia yang bergerak terlalu cepat telah meninggalkan banyak jiwa yang bermandi peluh, tertatih di belakangnya.

Fenomena ini bukan sekadar tren linguistik, melainkan cerminan dari meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental. “Kebutuhan akan healing menunjukkan bahwa individu semakin menyadari pentingnya keseimbangan psikologis dalam kehidupan modern” (WHO, 2022). Tekanan ekonomi, tuntutan sosial, dan ekspektasi digital telah menciptakan generasi yang lelah secara emosional. Piknik tidak lagi cukup. Jiwa membutuhkan ruang untuk menangis, merenung, dan menyembuhkan. Maka, healing menjadi bentuk perlawanan terhadap dunia yang memaksa manusia untuk terus kuat tanpa jeda.

Dalam konteks global, peningkatan pencarian healing menunjukkan adanya penderitaan kolektif. “Kondisi psikologis masyarakat dunia menunjukkan tren peningkatan gangguan kecemasan dan depresi pasca-pandemi” (APA, 2023). Dunia tidak hanya sakit secara fisik, tetapi juga secara batin. Ketika jutaan orang merasa perlu untuk menyembuhkan diri, itu bukan hanya masalah individu, tetapi gejala dari sistem yang gagal memberi ruang bagi kemanusiaan. Healing menjadi simbol bahwa manusia sedang mencari kembali dirinya yang hilang di tengah hiruk-pikuk modernitas.

Di Indonesia, istilah healing menjadi bagian dari budaya populer. “Penggunaan kata healing dalam percakapan sehari-hari mencerminkan kebutuhan masyarakat urban untuk mengartikulasikan kelelahan batin mereka” (Putri & Santoso, 2024). Dari meme hingga caption Instagram, kata ini menjadi mantra yang menyelamatkan. Namun, di balik kelucuannya, tersimpan keseriusan: bahwa banyak orang merasa tidak baik-baik saja. Dan mereka tidak malu lagi untuk mengakuinya. Ini adalah langkah awal menuju pemulihan kolektif.

Kesimpulannya, transformasi dari piknik ke healing bukan sekadar perubahan kata, tetapi perubahan kesadaran. Ia menunjukkan bahwa manusia kini lebih jujur terhadap luka-lukanya, dan lebih berani untuk mencari penyembuhan. “Healing adalah proses aktif untuk merebut kembali kendali atas kesejahteraan batin” (Kirmayer, 2007). Dalam dunia yang menuntut produktivitas, healing menjadi bentuk keberanian untuk berhenti dan merawat diri.

Dan mungkin, dalam keheningan healing itu, kita menemukan bahwa luka bukanlah musuh. Ia adalah guru. Ia mengajarkan kita tentang batas, tentang kebutuhan untuk kembali ke dalam. Piknik adalah pelarian, healing adalah perjalanan pulang. Ketika manusia mulai menyebut liburannya sebagai penyembuhan, itu berarti ia telah mengakui bahwa dunia ini menyakitkan. Tapi juga, bahwa ia masih menaruh harapan untuk pulih, sembuh, dan utuh. Di sanalah, manusia belajar merangkul sakit sebagai bagian dari perjalanan. Di sanalah, kesembuhan bukan lagi pelarian, melainkan kepulangan; kepulangan ke dalam diri sejati.

Referensi:
• American Psychological Association. (2023). Global Mental Health Trends Post-Pandemic. APA Press.
• Kirmayer, L. J. (2007). Psychotherapy and the cultural concept of the person. Transcultural Psychiatry, 44(2), 232–257. https://doi.org/10.1177/1363461507075716
• Putri, R. A., & Santoso, B. (2024). Fenomena healing dalam budaya populer urban Indonesia. Jurnal Komunikasi Sosial, 9(1), 77–89.
• Suryani, N. (2023). Dari piknik ke healing: Pergeseran makna rekreasi dalam masyarakat digital. Jurnal Psikologi Humanis, 6(2), 101–115.
• World Health Organization. (2022). Mental Health and COVID-19: Early evidence of the pandemic’s impact. WHO Publications.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM