Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 4 Agustus 2025.
Dahulu orang sering mengatakan “dunia tak selebar daun kelor”, yang berarti dunia ini tak sesempit yang dikira, luas sekali. Namun kini peradaban manusia telah melipat bumi, menjadikannya "selebar daun kelor". Ruang dan waktu telah takluk di bawah jemari, terkikis oleh kecepatan internet, keajaiban kecerdasan buatan, dan mobilitas yang nyaris tanpa batas. Kita dapat "berada" di mana saja, kapan saja, mengakses ilmu pengetahuan dan memenuhi kebutuhan fisik dengan cara yang cepat, mudah, dan murah. Namun sebuah ironi yang pahit namun nyata terjadi; "kemajuan peradaban yang diagung-agungkan ternyata belum mampu mengobati luka filosofis umat manusia" (Kompasiana, 2025). Di tengah segala capaian ini, sebuah pertanyaan sunyi berbisik: apakah hati kita, di balik segala kemudahan ini, juga telah mekar-bersemi?
Teknologi telah mengubah lanskap kehidupan secara radikal. Email, video tele-konferensi, dan AI telah meruntuhkan dinding-dinding geografis, memungkinkan kita berkomunikasi, belajar, dan berbisnis melintasi benua dalam hitungan detik. Mobilitas fisik pun menjadi sangat efisien, membuka pintu-pintu perjalanan yang sebelumnya hanya dapat diimpikan. "Teknologi dapat memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam menjalani kehidupan sehari-hari," (Kompasiana, 2023), mengubah cara kita bekerja, berinteraksi, dan bahkan memenuhi kebutuhan dasar. Tingkat kenyamanan hidup melonjak, seolah kita telah mencapai puncak peradaban.
Namun, di balik fasad kemudahan itu, tersembunyi sebuah paradoks yang menusuk. Kecepatan dan konektivitas tanpa henti seringkali justru melahirkan kesunyian yang lebih dalam. Meskipun terhubung dengan ribuan orang di media sosial, banyak individu merasa kesepian. "Interaksi digital seringkali kurang memiliki kedalaman yang diperlukan untuk keintiman yang tulus" (First Steps NZ, 2025), menciptakan sebuah "keintiman buatan" yang dangkal dan tak memuaskan. Kita hidup di tengah pusaran perbandingan sosial, di mana kehidupan orang lain yang terkurasi di layar memicu kecemasan dan rasa rendah diri. Kemudahan yang ditawarkan teknologi, "sering kali berbalik menjadi malapetaka bagi umat manusia" (Journal UNJ, 2025), merampas rasa ingin tahu, perjuangan, dan makna sejati.
Dari perspektif filosofis, kebahagiaan sejati tidak pernah berada di luar diri. Aliran Stoikisme, misalnya, mengajarkan bahwa kebahagiaan "bukan berasal dari apa yang kita miliki, melainkan dari cara kita memandangnya" (Viva, 2025). Kebahagiaan yang bertumpu pada materi dan kenyamanan eksternal bersifat rapuh dan tidak abadi. Teknologi mungkin telah membebaskan kita dari belenggu fisik, tapi ia belum membebaskan kita dari belenggu batin; ego, kecemasan, dan rasa takut kehilangan. Kita telah berhasil menaklukkan dunia, tapi masih gagal menaklukkan diri sendiri.
Peradaban modern telah memberi manusia sebuah "surga" material yang nyaris tanpa batas, namun masih gagal memberikan ketenangan batin. Dunia yang selebar daun kelor ini adalah sebuah pencapaian, tetapi ia adalah cangkang yang hampa jika hati manusia tetap menguncup. Kebahagiaan tidak bisa diunduh dari dunia maya, tidak bisa dibeli, dan tidak bisa diakses dengan satu klik. Kebahagiaan sejati adalah sebuah perjalanan ke dalam, sebuah penemuan yang menuntut kehadiran dan kesadaran.
Maka, mari kita memandang gawai di tangan bukan sebagai peta yang menuntun kebahagiaan, melainkan sebagai cermin yang memantulkan siapa diri kita di tengah hiruk-pikuknya. Di antara kecepatan yang memabukkan dan kemudahan yang melenakan, panggilan terpenting adalah memperluas hati, menjadikannya seluas samudra, bukan selebar daun kelor. Inilah perang sejati yang harus kita menangkan: menaklukkan diri dari ilusi kenyamanan, dan menemukan kembali keajaiban yang tersembunyi di balik kesederhanaan. Hanya dengan begitu, manusia dapat benar-benar merasakan kemerdekaan paripurna di dunia yang telah terlipat, namun dengan hati yang telah tumbuh dan mekar.
Referensi:
• First Steps NZ. (2025). The Loneliness Epidemic: Navigating Connection in a Digital Age.
• Kompasiana. (2023). Bagaimana Teknologi Mempengaruhi Kebahagiaan Kita?.
• Kompasiana. (2025). Paradoks Manusia Modern.
• Journal UNJ. (2025). Paradoks Kemajuan dalam Dua Puisi L'Homme et La Mer dan L'Ennemi Karya Charles Baudelaire.
• Viva. (2025). Filosofi Chrysippus tentang Bahagia Tanpa Bergantung pada Harta.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header