Breaking News

MENGUASAI TEKNOLOGI NAMUN TAK MENGUASAI HATI, MELIHAT DUNIA NAMUN TAK TAHU RUMAH JIWANYA


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 2 November 2025.

Di lautan modernitas yang bergolak, kita telah menumbuhkan sayap baru dari serat optik dan membekali mata kita dengan lensa kristal dari silikon. Peradaban hari ini bersenandung dengan mesin, sebuah simfoni agung yang konon merupakan perpanjangan organik dari organ-organ kita yang terbatas: teleskop adalah mata yang lebih tajam, mobil adalah kaki yang lebih cepat, dan internet adalah perluasan radikal dari sistem saraf komunal kita. Namun, di tengah gemuruh kemajuan ini, ada keheningan yang mengusik, sebuah pertanyaan eksistensial yang menggantung seperti kabut. Benarkah sayap-sayap baru ini membawa kita lebih dekat pada matahari kebahagiaan sejati? Atau justru kita, dalam ekspansi kemampuan yang tak terbatas ini, tersesat menjauh dari rumah batin kita sendiri? "Teknologi bukanlah sekadar alat, melainkan medium yang membentuk kembali skala dan pola interaksi manusia, menjadikannya perpanjangan dari sistem saraf pusat kita." (McLuhan, 1964, hlm. 4).

Ironi terbesar zaman ini adalah bahwa manusia yang berkuasa atas dunia tidak berkuasa atas hati mereka sendiri. Kita telah melampaui batas-batas fisik yang tak terbayangkan oleh leluhur kita seabad yang lalu, tetapi beban kegelisahan dan rasa hampa tampaknya tetap berada pada takaran yang sama, jika tidak bertambah. Peningkatan kemampuan material dan kecepatan hidup tidak serta-merta berbanding lurus dengan peningkatan kualitas kepuasan batin. Kita tak dapat mengklaim dengan tulus bahwa kita lebih bahagia daripada petani di desa tahun 1925 yang hidup sederhana. "Kepuasan batin sejati tidak ditemukan dalam peningkatan kuantitas fasilitas hidup, melainkan dalam realisasi makna hidup dan respons terhadap tuntutan eksistensial." (Frankl, 1984, hlm. 125). Kemajuan eksternal telah menutupi keretakan internal.

Para ahli psikologi menyebut kondisi ini sebagai adaptasi hedonis, sebuah mekanisme psikologis di mana manusia dengan cepat terbiasa dengan kondisi baru, termasuk kemewahan dan kemudahan teknologi. Kehadiran gawai tercanggih hari ini akan menjadi norma yang membosankan dalam hitungan bulan. Kemajuan teknologi telah menjadi semacam hedonic treadmill yang membuat kita berlari kencang hanya untuk tetap di tempat yang sama, terperangkap dalam siklus keinginan dan pemenuhan yang tak pernah usai. "Adaptasi hedonis memastikan bahwa peningkatan kekayaan atau kemudahan teknologi memberikan dorongan kebahagiaan yang bersifat transien, bukan permanen." (Lyubomirsky, 2007, hlm. 55). Kenaikan batas atas selalu diikuti oleh ambang batas baru yang lebih tinggi.

Lebih jauh, perpanjangan indera kita melalui teknologi digital telah menciptakan arena perbandingan sosial yang masif dan tak terhindarkan. Jika dahulu kita hanya membandingkan diri dengan tetangga di sebelah rumah, kini indra kita diperpanjang untuk melihat highlight reel kehidupan jutaan orang di seluruh dunia. Kepuasan dari pencapaian pribadi segera tergerus oleh perasaan kurang setelah melihat pertunjukan "kesempurnaan" yang terpajang di layar. Teknologi, alih-alih menjadi pembebas, justru menjadi tirani komparasi. "Lingkungan digital telah mengubah medan perbandingan sosial, menciptakan standar yang tidak realistis dan rasa kekurangan yang kronis, terlepas dari pencapaian material individu." (Twenge & Campbell, 2018, hlm. 89).

Sebagai konklusi, tantangan kemanusiaan di era teknologi bukanlah tentang membangun tools yang lebih baik, tetapi tentang membangun diri yang lebih utuh. Persoalannya terletak pada kesalahpahaman mendasar bahwa kebahagiaan adalah hasil dari ekspansi eksternal; perpanjangan jangkauan dan kecepatan, bukan dari penemuan internal dan perluasan kedalaman makna. Teknologi hanya memperkuat arah fokus kita; jika fokusnya adalah pada kekurangan di luar, maka teknologi akan memperbesar kekurangan itu. "Kebahagiaan bukan tentang memiliki lebih banyak, tetapi tentang menginginkan apa yang sudah kita miliki; sebuah pergeseran fokus dari perpanjangan eksternal menuju kedalaman internal." (Haidt, 2006, hlm. 150).

Kita adalah pelayar di samudra kemajuan, dan teknologi adalah layar raksasa yang menangkap angin. Namun, jika kompas batin kita rusak, sebesar apapun layar itu, ia hanya akan membawa kita lebih cepat ke pulau kesepian yang tak bertepi. Kebahagiaan sejati tidak terukir pada kecepatan transmisi data atau resolusi gambar, melainkan pada kemampuan kita untuk diam, bernapas, dan menyadari bahwa kekayaan terbesar bukanlah apa yang dapat kita raih, tetapi apa yang dapat kita rasakan tanpa perlu meraih. Biarlah teknologi menjadi pelayan bagi jiwa, bukan tuan bagi keinginan. Biarlah kita kembali ke titik nol, di mana suara hati lebih nyaring daripada notifikasi, dan menemukan bahwa surga yang kita cari di ujung kecepatan justru tersembunyi di kedalaman jeda.


Referensi:
• Frankl, V. E. (1984). Man's Search for Meaning (Revised ed.). Beacon Press.
• Haidt, J. (2006). The Happiness Hypothesis: Finding Modern Truth in Ancient Wisdom. Basic Books.
• Lyubomirsky, S. (2007). The How of Happiness: A Scientific Approach to Getting the Life You Want. Penguin Press.
• McLuhan, M. (1964). Understanding Media: The Extensions of Man. McGraw-Hill.
• Twenge, J. M., & Campbell, W. K. (2018). iGen: Why Today's Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy—and Completely Unprepared for Adulthood. Atria Books.
"MPK’s Literature-based Perspectives"
"Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight"
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM