Breaking News

BUDAYA DUDUK DAN KRISIS METABOLIK PERADABAN


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 3 November 2025

Sejak pertama kali kursi diangkat dari sekadar alas menjadi lambang kekuasaan dan kenyamanan dalam peradaban, manusia modern secara tragis telah menandatangani kontrak diam-diam dengan kelemahan. Tubuh kita, yang dirancang oleh jutaan tahun evolusi untuk memanjat pohon, menggapai buah-buahan, lari mengejar binatang atau lari dari kejaran binatang, kini dipaksa menjadi patung kaku di depan layar. Kita telah berevolusi dari pemburu-pengumpul yang aktif menjadi pengumpul risiko di balik meja kerja, menjadikan posisi duduk sebagai ritual sakral bagi produktivitas dan status. Bekerja duduk telah menjadi lambang kelas pekerja; mereka yang bekerja dengan pikiran, bukan dengan otot. Ironisnya, tahta kenyamanan kursi kantor ini adalah peti mati metaforis bagi kesehatan kita, sebuah jebakan elegan yang menyembunyikan ancaman serius terhadap integritas biologis. Budaya kerja sedentari (minim gerakan fisik/hanya duduk) yang kita junjung tinggi adalah sebuah paradox: produktifitas dicapai dengan mengorbankan fungsi dasar tubuh.

Akar masalahnya terletak pada inaktivitas otot dan risiko kardiovaskular. "Duduk dalam jangka waktu lama, yang didefinisikan sebagai perilaku sedentari, secara independen dari kurangnya aktivitas fisik terstruktur, telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian dini dan penyakit kardiovaskular" (Owen et al., 2010). Ketika otot-otot utama, terutama otot kaki dan inti, tidak digunakan, proses biologis penting akan melambat. Otot-otot ini adalah mesin metabolisme utama yang bertanggung jawab untuk memproses gula dan lemak dari aliran darah. Begitu otot ini pasif, efisiensi penyerapan glukosa akan menurun secara drastis, menyebabkan peningkatan kadar gula darah dan peningkatan risiko penyakit jantung.

Konsekuensi neurologis dan biokimiawi dari gaya hidup ini pun tak terhindarkan. "Perilaku sedentari berkepanjangan dikaitkan dengan penurunan aktivitas lipoprotein lipase (LPL), enzim kunci yang diperlukan untuk memecah trigliserida dan lemak, sehingga meningkatkan risiko dislipidemia dan penumpukan lemak visceral" (Hamilton et al., 2007). Ketika LPL berhenti bekerja, tubuh menjadi kurang mampu mengelola lemak, menyebabkan resistensi insulin dan penimbunan lemak berbahaya di sekitar organ internal. Inilah titik awal bagi munculnya sindrom metabolik, serangkaian kondisi yang mencakup obesitas, diabetes tipe 2, dan hipertensi. Tubuh kita dirancang untuk bergerak; saat kita menolaknya, kita membayar harga berupa disfungsi metabolisme sistemik.

Lebih dari sekadar risiko metabolik, beban mekanik akibat posisi duduk yang buruk juga menimbulkan masalah struktural. "Duduk dalam posisi statis yang berkepanjangan sering menyebabkan postur membungkuk (kyphosis) dan beban berlebihan pada diskus intervertebralis, yang mengarah pada nyeri punggung bawah kronis" (Hwang et al., 2017). Tekanan terus-menerus pada tulang belakang, terutama di area lumbal, mengurangi aliran nutrisi ke diskus, mempercepat degenerasi. Kursi kantor, meskipun ergonomis, tidak dapat mengatasi kenyataan bahwa tubuh manusia dirancang untuk siklus berdiri, bergerak, dan berganti postur, bukan imobilitas selama delapan jam.

Pada akhirnya, krisis duduk ini adalah konklusi yang menyedihkan: kita telah mencapai tingkat peradaban di mana pekerjaan paling berharga justru menuntut kita untuk mengabaikan sinyal biologis terdalam. Gaya hidup sedentari adalah pandemi pasif di abad ke-21. Mengatasi hal ini bukan hanya tentang berolahraga setelah bekerja, tetapi tentang re-desain ulang budaya kerja dan lingkungan kantor, mengintegrasikan gerakan sebagai bagian tak terpisahkan dari tugas kognitif kita.

Saat jam kerja berakhir, dan kita bangkit dari singgasana kantor dengan punggung yang kaku dan pikiran yang lelah, kita mendengar bisikan evolusi yang telah lama kita abaikan. Kelelahan, kekakuan yang kita rasakan bukanlah akibat kerja keras, melainkan hasil dari perlawanan terhadap takdir biologis. Kursi, yang awalnya merupakan lambang istirahat, kini menjadi artefak yang menuntut pertobatan. Refleksi terdalamnya adalah bahwa kesehatan sejati bukanlah anugerah yang datang dari luar, tetapi hasil dari pilihan fundamental untuk menggerakkan diri. Sudah waktunya kita mendefinisikan ulang kemuliaan kerja: bukan melalui ketiadaan gerak, melainkan melalui harmoni antara pikiran yang cerdas dan tubuh yang aktif, membebaskan diri dari jeratan tahta sedentari yang terus mengintai dan mengancam dengan berbagai risiko penyakit.

Referensi:
• Hamilton, M. T., Hamilton, D. G., & Zderic, T. S. (2007). Role of low energy expenditure and muscle fiber type in obesity and insulin resistance. Exercise and Sport Sciences Reviews, 35(2), 52–58.
• Hwang, S. H., Park, S. G., & Kim, M. K. (2017). The effects of prolonged sitting on lumbosacral mechanical stress and muscle activity. Journal of Physical Therapy Science, 29(9), 1599–1602.
• Owen, N., Healy, G. N., Matthews, C. E., & Dunstan, D. W. (2010). Too much sitting: The population health science of sedentary behavior. Exercise and Sport Sciences Reviews, 38(3), 105–113.
________________________________________
“MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI).

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM