Breaking News

PARADOKS MORAL DAN SURVIVAL

Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 27 Oktober 2025.

Jauh di labirin kesadaran, kita adalah makhluk yang terbelah. Di satu sisi, jiwa merindukan kemuliaan kasih, sebuah orkestrasi internal yang membanjiri ruang batin dengan simfoni neurokimiawi yang menenangkan: serotonin, oksitosin, endorfin. Namun, di sisi lain, tangan kita, secara harfiah maupun metaforis, berlumuran darah realitas. Demi secercah eksistensi di dunia materi yang ganas, kita harus berburu, mencabut nyawa, atau setidaknya memanen hasil dari kematian entitas lain. Inilah paradoks kosmik: untuk menegaskan kehidupan diri sendiri, kita harus merenggut kehidupan entitas lain. Konflik ini adalah drama abadi di mana naluri bertahan hidup menantang etika tertinggi yang kita anut, meninggalkan jejak kekejaman yang tak terhindarkan dalam rantai makanan dan dalam perebutan sumber daya.

Konflik moral ini dapat dipahami melalui lensa neurobiologi, di mana tindakan yang didorong oleh kasih sayang atau altruisme memicu pelepasan bahan kimia positif (pleasant neurochemicals), sementara ancaman atau agresi terkait dengan respons stres yang menginduksi ketidaknyamanan. Secara neurologis, "prosocial" atau mekanisme pro-sosial yang otomatis untuk mengidentifikasi dengan orang lain adalah bagian dari otak moral kita (neuromoral network) (Liu et al., 2017). Sebaliknya, perilaku yang diperlukan untuk bertahan hidup dalam konflik, seperti agresi, sering kali terkait dengan pelepasan hormon seperti testosteron dan dopamin dalam konteks kemenangan, yang memotivasi pengulangan perilaku yang "menguntungkan" untuk bertahan hidup, terlepas dari nilai moralnya (APA Blog, 2024).

Namun, realitas material memaksakan tuntutan yang melampaui preferensi neurokimiawi ini. Survivalisme menuntut suatu bentuk "pembunuhan" yang meluas. Seseorang tidak bisa makan tanpa mengakhiri kehidupan tumbuhan atau hewan, dan bahkan proses pernapasan kita melibatkan perusakan mikroorganisme (Minarno, 2001). Prinsip etika yang melarang pembunuhan (non-maleficence) sering kali bertabrakan dengan prinsip biologis yang menuntut kelangsungan hidup. Bahkan dalam konteks etika medis, perdebatan tentang euthanasia menunjukkan bahwa tindakan mengakhiri hidup, meskipun didorong oleh motif belas kasihan (seperti mengakhiri penderitaan), tetap merupakan pelanggaran terhadap nilai tertinggi kehidupan dan seringkali bertentangan dengan norma hukum dan agama (Habibie, 2021).

Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun kita memiliki kompas moral yang secara bawaan (innately) cenderung ke arah kerja sama dan kasih, kompas tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kebutuhan fisik. Kondisi kekurangan, ketakutan, dan ketidakamanan akan "menumbuhkan ketakutan lebih lanjut dan meningkatkan kemungkinan kekerasan pre-emptive atau tindakan pro-survival" (APA Blog, 2019). Dalam kondisi ekstrim, studi menunjukkan bahwa norma etika cenderung berkurang dampaknya dalam pengambilan keputusan, meskipun kesadaran akan etika itu sendiri tetap ada sampai batas tertentu (Navarrete et al., 2012). Ini membuktikan bahwa mekanisme bertahan hidup dapat mengambil alih sirkuit moral yang kita anut, memprioritaskan tindakan "non-cinta" untuk melestarikan diri.

Konklusi yang dapat ditarik adalah bahwa eksistensi manusia, sebagai makhluk biologis-etis, terkunci dalam dilema abadi. Kita adalah organisme yang diciptakan untuk mencari kebahagiaan neurokimiawi melalui kasih dan kerja sama, tetapi pada saat yang sama, kita harus terlibat dalam kekejaman yang diperlukan demi kelangsungan hidup di dunia yang terbatas. Konflik ini bukanlah kegagalan moral, melainkan suatu tragedi struktural dari keberadaan di alam materi.

Oleh karena itu, refleksi mendalam mengajak kita untuk tidak menyangkal kontradiksi ini, melainkan untuk merangkulnya dengan kesadaran penuh. Tugas kita bukan untuk menghilangkan kebutuhan survival—sebuah kemustahilan—tetapi untuk meminimalkan kerugian dan mengoptimalkan kasih dalam setiap pilihan yang memungkinkan. Kita diundang untuk menjalani hidup sebagai sebuah tawar-menawar yang suci: bagaimana kita dapat mengambil apa yang harus kita ambil untuk hidup, sambil tetap menjaga jaringan saraf moral kita tetap aktif, memancarkan sebanyak mungkin cahaya kasih yang dapat ditoleransi oleh kegelapan dunia ini. Inilah kebijaksanaan sejati: memahami bahwa kejahatan terbesar bukanlah pembunuhan yang tak terhindarkan, melainkan ketidakpedulian terhadap pilihan moral dalam setiap tindakan survival.

Referensi:
• APA Blog. (2019). A Neurophilosophy of Conflict, War, and Peace. Diakses 25 Oktober 2025. https://blog.apaonline.org/2019/12/09/a-neurophilosophy-of-conflict-war-and-peace/
• APA Blog. (2024). The Philosophy and Neurochemistry of Hierarchical Power: A Transdisciplinary Analysis. Diakses 25 Oktober 2025. https://blog.apaonline.org/2024/10/08/the-philosophy-and-neurochemistry-of-hierarchical-power-a-transdisciplinary-analysis/
• Habibie, R. (2021). Legal Etik Euthanasia: Kajian Yuridis, Filosofis, dan Agama. Palangka Law Review, 1(1), 27-40.
• Liu, J., Loke, E., & Guterstam, J. (2017). The Neurobiology of Moral Behavior: Review and Neuropsychiatric Implications. Frontiers in Systems Neuroscience, 11(41), 1-13.
• Minarno, E. B. (2001). Pembelajaran Bioetika Sebagai Pengawal Perkembangan Biologi Modern Dan Penyelamatan Lingkungan Hidup. Jurnal Inovasi Pendidikan Bioekonomi, 1(2), 1-15.
• Navarrete, G., Di Paolo, R., Mautone, P., & D’Onofrio, F. (2012). Surviving at Any Cost: Guilt Expression Following Extreme Ethical Conflicts in a Virtual Setting. PLoS ONE, 7(8), e44171.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM