Breaking News

MENGAPA CINTA BISA BUTA?


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 30 Oktober 2025.

Ada sebuah pepatah kuno yang berbisik melintasi zaman, mengklaim bahwa cinta itu buta; sebuah frasa puitis yang menyiratkan ironi paling mendasar dalam pengalaman manusia. Ketika panah Asmara dilepaskan, ia tidak hanya mengenai hati, tetapi juga menyentuh pusat-pusat kognitif kita, secara metaforis menarik tirai di hadapan mata rasionalitas. Dalam pusaran asmara, kita menjadi penyair yang mengabaikan cacat, menjadi hakim yang menolak bukti, dan menjadi seniman yang melukiskan pasangan kita dengan warna-warna idealisme yang tak pernah ada. Buta ini bukan kekurangan pandangan fisik, melainkan penolakan sukarela terhadap realitas yang tidak sempurna, sebuah fenomena yang, sebagaimana akan kita selami, memiliki akar yang kuat, baik dalam filsafat maupun dalam biokimia otak.

"Cinta romantis yang intens berkaitan dengan penonaktifan jaringan saraf yang biasanya aktif selama penilaian sosial kritis" (Bartels & Zeki, 2004). Secara harfiah, cinta memiliki kemampuan untuk meredupkan cahaya pada area otak yang bertanggung jawab atas penilaian negatif dan skeptisisme, khususnya bagian korteks prefrontal. Mekanisme neurologis ini menjelaskan mengapa dalam tahap awal jatuh cinta (limerence), kita cenderung mengabaikan bendera merah (red flags) atau kekurangan pada pasangan. Fenomena ini bukanlah kebodohan, melainkan sebuah kondisi biokimia yang didorong oleh banjir hormon dopamin dan oksitosin, menciptakan euforia yang memprioritaskan ikatan di atas logika pertimbangan risiko. Dopamin adalah hormon sistem motivasi dan imbalan (reward); ia memberikan energi dan kegembiraan untuk memburu hal-hal yang membuat bahagia. Oksitosin adalah hormon pembangun ikatan, kepercayaan, empati, dan rasa tenang.

"Fenomena bias ilusi positif (positive illusion bias) dalam hubungan interpersonal adalah universal, di mana individu melihat pasangannya lebih positif daripada pandangan pasangan itu sendiri atau pandangan pengamat netral" (Murray et al., 1996). Bias ini adalah inti dari kebutaan cinta. Kita tidak hanya menerima pasangan apa adanya; kita secara aktif menciptakan versi ideal dari mereka di dalam benak kita. Kekeliruan atribusi positif terjadi ketika perilaku negatif pasangan dijelaskan sebagai faktor eksternal (misalnya, 'dia marah karena hari ini sedang stres berat'), sementara perilaku positif dijelaskan sebagai faktor internal yang stabil (misalnya, 'dia selalu baik hati karena itu memang sifat dasarnya'). Hal ini memungkinkan kelangsungan ikatan meskipun menghadapi kekurangan yang nyata.

Secara filosofis, konsep 'cinta buta' dapat dipandang sebagai pertarungan antara eros (cinta gairah) dan logos (alasan/rasionalitas). Filsafat Plato sering merujuk pada gagasan bahwa cinta sejati (agape) melampaui atribut fisik atau materi, bergerak menuju pengakuan akan kebaikan dan keindahan yang mendasari pasangan (Irwin, 1995). Dalam konteks ini, kebutaan cinta bukanlah kegagalan, melainkan kemenangan abstraksi. Artinya, cinta menolak untuk dibatasi oleh detail duniawi, kekurangan sementara, atau bahkan pandangan sosial. Cinta buta adalah penegasan bahwa nilai sejati seseorang terletak pada esensi yang tidak dapat diukur oleh akal sehat atau daftar pro dan kontra.

Meskipun secara biologis cinta mematikan sebagian fungsi kritik di otak dan secara psikologis mendorong bias ilusi positif, "kebutaan" ini memiliki fungsi adaptif. Ia memungkinkan pembentukan ikatan yang kuat, yang penting untuk kelangsungan hidup pasangan dan pemeliharaan hubungan jangka panjang di tengah tantangan hidup (Fletcher et al., 2009). Namun, kelangsungan cinta yang sehat memerlukan transisi: dari kebutaan total yang didominasi euforia dopamin menjadi pandangan yang berempati. Keseimbangan ditemukan ketika individu belajar untuk melihat kekurangan pasangan, bukan untuk menghakiminya, melainkan untuk menerima dan mencintainya dalam konteks kemanusiaan yang utuh.

Saat layar kegilaan telah memudar dan euforia kimiawi telah mereda, yang tersisa bukanlah kebutaan yang naif, melainkan sebuah visi baru. Ia adalah pandangan yang telah ditempa oleh penerimaan dan kesabaran, sebuah mata hati yang telah belajar bagaimana menatap kegelapan kekurangan pasangan tanpa berpaling. Kebutaan cinta pada akhirnya mengajarkan bahwa cinta sejati bukanlah tidak adanya penglihatan, melainkan sebuah penglihatan yang lebih tinggi, yang memilih untuk tidak hanya melihat apa yang ada di permukaan, tetapi juga merayakan janji yang tersembunyi di balik ketidaksempurnaan. Keberanian terbesar bukanlah jatuh cinta tanpa melihat, tetapi tetap mencintai setelah semua tirai ilusi telah dibuka.

Referensi:
• Bartels, A., & Zeki, S. (2004). The neural basis of romantic love. NeuroReport, 11(17), 3829-3834.
• Fletcher, G. J., Simpson, J. A., Campbell, L., & Overall, N. C. (2009). The science of intimate relationships. Current Directions in Psychological Science, 18(4), 198-202.
• Irwin, T. (1995). Plato's Ethics. Oxford University Press.
• Murray, S. L., Holmes, J. G., & Griffin, D. W. (1996). The self-fulfilling nature of idealization in close relationships. Journal of Personality and Social Psychology, 71(6), 1157–1180.
________________________________________
“MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM