Breaking News

SEBAGAIMANA CAHAYA MEMERLUKAN BAYANGAN, BAYANGAN PUN MEMERLUKAN CAHAYA

 
Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 9 September 2025.

Di tepi senja, di mana cahaya dan gelap saling merangkul, kehidupan menampakkan wajahnya yang sejati: separuh senyum, separuh luka. Carl Jung pernah berkata, “Kehidupan yang benar-benar baik adalah setengah kebahagiaan dan setengah penderitaan.” Dalam tarian abadi ini, kita menemukan denyut yang membuat kita merasa benar-benar hidup. “Kebahagiaan tanpa penderitaan adalah ilusi yang memiskinkan rasa” (Frankl, 2006). Seperti kanvas yang memerlukan warna terang dan gelap untuk membentuk gambar yang utuh, jiwa manusia memerlukan kontras untuk memahami makna.

Kebahagiaan dan penderitaan bukanlah dua kutub yang saling meniadakan, melainkan “dua sisi dari koin yang sama” (Nussbaum, 2001). Dalam psikologi eksistensial, penderitaan dipandang sebagai bagian integral dari pertumbuhan pribadi. Ia memaksa kita meninjau ulang nilai, tujuan, dan arah hidup. Tanpa penderitaan, kebahagiaan kehilangan kedalamannya; tanpa kebahagiaan, penderitaan kehilangan harapan yang membuatnya dapat ditanggung.

Carl Jung menegaskan bahwa “Tuhan menciptakan kehidupan penuh yang selalu sedikit dapat disesali.” Pernyataan ini selaras dengan pandangan filsafat Timur, di mana ketidaksempurnaan adalah bagian dari kesempurnaan itu sendiri (Suzuki, 2011). Rasa sesal yang samar adalah pengingat bahwa hidup ini fana, dan justru kefanaan itulah yang memberi nilai pada setiap momen. Dalam kerangka psikologi analitik, ketidaksempurnaan ini adalah pintu masuk menuju individuasi, berefleksi untuk memasuki diri sendiri; proses menjadi diri yang utuh.

Keseimbangan antara kebahagiaan dan penderitaan juga memiliki implikasi sosial. “Masyarakat yang hanya mengejar kebahagiaan akan kehilangan daya tahannya terhadap krisis” (Ehrenreich, 2009). Dalam konteks ini, penderitaan kolektif, seperti bencana atau krisis ekonomi, dapat menjadi katalis bagi solidaritas dan inovasi sosial. Sebaliknya, masyarakat yang mengakui penderitaan sebagai bagian dari narasi bersama akan lebih siap menghadapi ketidakpastian.

Jadi, kehidupan yang penuh adalah kehidupan yang menerima paradoksnya. “Keindahan menjadi indah karena keburukan itu nyata, dan keburukan menjadi buruk karena keindahan itu ada” (Jung, 1961). Kesadaran ini membebaskan kita dari ilusi kesempurnaan dan mengundang kita untuk hidup dengan keberanian, menerima bahwa setiap tawa mungkin diiringi air mata, dan setiap luka mungkin menyimpan benih kebijaksanaan.

Dan pada akhirnya, kita berdiri di ambang kesadaran: bahwa hidup bukanlah tentang menghapus penderitaan atau menimbun kebahagiaan, melainkan menari di antara keduanya. Di sanalah kita menemukan denyut yang membuat kita merasa benar-benar ada; di mana cahaya memerlukan bayangan, dan bayangan memerlukan cahaya. Dalam ruang ini, segala sesuatu berada pada tempatnya, dan kita pun berada pada tempat kita yang sejati.

Referensi:
• Ehrenreich, B. (2009). Bright-sided: How the relentless promotion of positive thinking has undermined America. Metropolitan Books.
• Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning. Beacon Press.
• Jung, C. G. (1961). Memories, dreams, reflections. Vintage Books.
• Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals of thought: The intelligence of emotions. Cambridge University Press.
• Suzuki, D. T. (2011). Zen and Japanese culture. Princeton University Press.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives" 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM