Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 1 Oktober 2025.
Di tengah gemuruh dunia yang menuntut pencitraan, pencapaian, dan kesempurnaan, kejujuran adalah nyala kecil yang menolak dipadamkan. Ia bukan sekadar berkata benar, melainkan keberanian untuk membuka jendela jiwa dan membiarkan cahaya masuk, meski menyilaukan. “Kejujuran adalah pengakuan atas kenyataan, termasuk yang menyakitkan dan tak terkontrol” (Suud & Subandi, 2023). Dalam kejujuran, manusia tidak sedang kalah, melainkan sedang pulang; kepada dirinya yang sejati dan utuh, kepada hidup yang apa adanya. Ia adalah bentuk tertinggi dari kebersihan hati, karena ia tidak mengingkari kesalahan, tidak menyembunyikan luka, tidak memoles kelemahan, dan tidak menolak keterbatasan.
Secara psikologis, kejujuran terhadap diri sendiri adalah fondasi kesehatan mental. “Tanpa kesadaran dan penerimaan akan kondisi emosional dan psikologis kita sendiri, langkah-langkah perawatan lainnya sering kali menjadi kurang efektif” (IlmuPsikoKita, 2025). Mengakui bahwa kita tidak baik-baik saja, bahwa kita lelah, bingung, atau takut, bukanlah kelemahan; melainkan titik awal pemulihan. Studi menunjukkan bahwa kerendahan hati dan kejujuran terhadap diri sendiri berkorelasi positif dengan kesejahteraan psikologis dan kemampuan adaptasi (Ross & Wright, 2021). Dalam ruang batin yang jujur, emosi tidak lagi ditumpuk, melainkan diproses, dilepaskan, dialirkan. Dan dari proses itulah tumbuh kejernihan dan ketenangan yang tidak bisa dibeli, hanya bisa diraih lewat keberanian untuk mengakui.
Dari sudut pandang neuroscience, kejujuran bukan hanya keputusan moral, tetapi juga proses biologis yang menyehatkan otak. “Kejujuran memperkuat konektivitas antara area prefrontal cortex dan sistem limbik, yang berperan dalam pengambilan keputusan etis dan pengaturan emosi” (Yang et al., 2022). Ketika seseorang memilih untuk jujur, ia mengaktifkan jalur neural yang mendukung kontrol diri, empati, dan integritas. Penelitian menunjukkan bahwa perilaku jujur dapat menurunkan aktivitas amygdala yang terkait dengan stres dan rasa bersalah, serta meningkatkan pelepasan oksitosin dan serotonin; dua neurotransmiter yang berkontribusi pada rasa tenang, keterhubungan sosial, dan kesejahteraan psikologis (NeuroSearches, 2023). Maka, jujur bukan hanya soal hati yang bersih, tetapi juga tentang otak yang bekerja selaras dengan nilai-nilai luhur, menjadikan kejujuran sebagai terapi alami bagi jiwa dan saraf. Kejujuran tidak hanya menyembuhkan, tapi juga membahagiakan.
Dalam perspektif etika dan spiritualitas, kejujuran adalah bentuk kerendahan hati. “Sikap jujur melibatkan keberanian untuk mengakui kesalahan dan kelemahan, serta berkomitmen untuk selalu bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika” (UMA, 2024). Penelitian dari Journal of Personality and Social Psychology menegaskan bahwa kerendahan hati yang sehat melibatkan kesadaran diri yang jernih dan kecenderungan untuk merayakan orang lain tanpa merendahkan diri secara patologis (Weidman et al., 2018). Orang yang jujur tidak memaksakan kendali atas segalanya, karena ia tahu bahwa hidup bukan medan dominasi, melainkan ruang belajar. Dalam kejujuran, ada penerimaan. Dan dalam penerimaan, ada kedamaian. Secara sosial, kejujuran menciptakan kepercayaan yang kokoh. “Kejujuran menciptakan dasar kepercayaan dalam hubungan personal, profesional, dan sosial” (UMA, 2024). Dalam studi lintas disiplin, kerendahan hati intelektual; yakni kesediaan untuk mengakui bahwa kita bisa salah dan bahwa orang lain mungkin memiliki wawasan yang lebih baik, menjadi fondasi penting dalam membangun relasi yang sehat dan dialog yang bermakna (Davis, 2023). Ketika seseorang berani berkata jujur, ia sedang membangun jembatan, bukan hanya antara dirinya dan orang lain, tetapi antara harapan dan kenyataan.
Namun kejujuran, meski luhur, bukan tanpa bayang-bayang. Ia bisa menjadi pedang bermata dua; membuka pintu kepercayaan, namun juga mengundang luka. “Kejujuran yang disampaikan tanpa kepekaan dapat melukai, merusak relasi, dan menimbulkan konflik yang tidak perlu” (Le et al., 2022). Dalam dunia profesional, terlalu jujur bisa dianggap tidak diplomatis, dalam negosiasi, terlalu terbuka dapat melemahkan posisi tawar, dalam hubungan pribadi, bisa terasa seperti penghakiman. Bahkan secara psikologis, individu yang terlalu terbuka cenderung mengalami penurunan kesejahteraan emosional jika kejujuran mereka tidak diterima dengan hangat (Shalvi et al., 2025). Maka, kejujuran bukan sekadar keberanian berkata benar, tetapi juga kebijaksanaan memilih kapan dan bagaimana kebenaran itu diungkap. Ia adalah cahaya yang harus tahu kapan bersinar, dan kapan meredup agar tidak membakar.
Kesimpulannya, jujur bukan sekadar berkata benar. Ia adalah sikap batin yang mengakui bahwa kita tidak selalu benar, tidak selalu kuat, tidak selalu tahu, dan tidak selalu mampu. “Mengakui kenyataan bukanlah kelemahan, melainkan bentuk keberanian dan langkah awal menuju perbaikan dan pemulihan” (IlmuPsikoKita, 2025). Dalam kejujuran, kita tidak sedang menyerah, tetapi sedang menyatu dengan hidup yang sejati. Dan di titik senyap ini, kita diajak untuk merenung: berapa banyak dari hidup kita yang dibangun di atas kepura-puraan? Seperti cermin yang retak namun tetap memantulkan cahaya, kejujuran tidak menuntut kesempurnaan, hanya ketulusan. Ia adalah ruang di mana kita berhenti berdrama. Di sanalah, hati menjadi bersih, diri menjadi rendah, dan jiwa menjadi lapang. Jujur bukan akhir dari pencitraan, melainkan awal dari kebebasan.
Referensi:
• Davis, D. E. (2023). “The Interdisciplinary Study of Intellectual Humility.” The Journal of Positive Psychology
• IlmuPsikoKita. (2025). “Kejujuran pada Diri Sendiri sebagai Kunci Kesehatan Mental
• Le, B. M., Chopik, W. J., Shimshock, C. J., & Chee, P. X. (2022). When the truth helps and when it hurts: How honesty shapes well-being. Current Opinion in Psychology, 46, 101397.
• NeuroSearches. (2023). Neural Basis of Ethical Decision-Making.
• Ross, L. T., & Wright, J. C. (2021). “Humility, Personality, and Psychological Functioning.” Psychological Reports, 0(0), 1–24. https://doi.org/10.1177/00332941211062819
• Shalvi, S., Levine, E., Thielmann, I., et al. (2025). The Science of Honesty: A Review and Research Agenda. Carnegie Mellon University.
• Suud, F. M., & Subandi. (2023). “Kejujuran dalam Perspektif Psikologi Islam: Kajian Konsep dan Empiris.” Jurnal Psikologi Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta & Universitas Gadjah Mada.
• UMA. (2024). “Makna dan Karakter Sikap Jujur: Menjelajahi Pentingnya Kejujuran dalam Kehidupan Sehari-hari.” Fakultas Agama Islam, Universitas Medan Area
• Yang, H., Gao, X., Yu, H., He, Z., & Zhou, X. (2022). Neuroscience of Moral Decision Making. Peking University & University College London.
• Weidman, A. C., Cheng, J. T., & Tracy, J. L. (2018). “The Psychological Structure of Humility.” Journal of Personality and Social Psychology, 114(1), 153–178.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel merupakan kontribusi dari Pak Anton Sekar Panggung. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header