Breaking News

“NEW THEISTS”: KEBANGKITAN SPIRITUAL DI RUANG INTELEKTUAL

 
Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma – Depok, 19 September 2025.

Di lorong sunyi antara logika dan luka, di celah sempit antara nalar dan kehilangan, para pemikir besar mulai mendengar suara yang tak terdengar. Bukan suara dogma, bukan gema agama, melainkan bisikan lembut dari kedalaman jiwa yang telah lama terabaikan. Mereka bukan pengikut yang tunduk, melainkan peziarah yang bertanya. “Kita tidak bisa hidup tanpa rasa makna yang melampaui diri kita sendiri,” ujar Matthew Crawford, filsuf publik yang menemukan Tuhan bukan di dalam kitab, bukan di tempat ibadah, melainkan di dalam krisis dan cinta. Dalam dunia yang semakin terang oleh sains namun gelap oleh makna, spiritualitas kembali mengetuk pintu pikiran para intelektual dunia.

Fenomena “new theists” bukanlah kebangkitan religiusitas yang dogmatis, melainkan evolusi kesadaran. Mereka adalah para intelektual yang pernah menggugat theisme institusional-doktrinal, lalu memuja skeptisisme, namun kemudian menyadari bahwa nihilisme tidak memberi jawaban, hanya kekosongan. “Kebutuhan akan transendensi adalah bagian dari struktur kesadaran manusia” (Zohar & Marshall, 2000). Dalam pencarian yang panjang, mereka menemukan bahwa Tuhan bukanlah paket sosok beserta buku panduannya yang jatuh dari langit, bukan entitas yang dipaksakan, melainkan pengalaman yang ditemukan; dalam keheningan, dalam cinta, dalam krisis, dan dalam pencarian. Mereka mendapatkan iman tidak melalui warisan, bukan melalui disiplin doktrinal, melainkan melalui pergulatan. Setiap langkah menuju Tuhan bukanlah kepastian, melainkan keraguan yang dipeluk dengan nyali dan kejujuran, dan ditelusuri alur dan alirnya. Di balik tesis-tesis akademik dan debat epistemologis, mereka menemukan bahwa ada ruang sunyi yang tak bisa dijangkau oleh logika. “Spiritualitas bukanlah pelarian dari akal, melainkan perluasan dari kesadaran itu sendiri” (Taylor, 2007). Maka, Tuhan yang mereka temukan bukan Tuhan yang diwariskan, tetapi Tuhan yang lahir dari keberanian untuk bertanya ulang tentang makna hidup.

Peter Savodnik mencatat bahwa para pemikir seperti Crawford, yang dulu mengagumi Nietzsche dan Dawkins, kini mulai meragukan rasionalitas sebagai satu-satunya cahaya. “Ada tatanan yang lebih besar yang mencakup kita dan menuntut sesuatu dari kita,” kata Crawford dalam refleksi konversinya. Dalam ruang peribadatan tua yang dipenuhi cahaya kaca patri dan kenangan perang, ia menemukan bukan hanya iman, tetapi juga arah. Tuhan, dalam konteks ini, bukanlah jawaban yang siap saji, melainkan pertanyaan yang terus hidup.

Kembalinya Tuhan ke ruang intelektual bukanlah kemunduran, melainkan transformasi. Ia tidak hadir sebagai dogma, tetapi sebagai ruang dialog. “Agama dan filsafat tidak harus saling meniadakan; keduanya bisa menjadi mitra dalam pencarian makna” (Habermas, 2010). Dalam dunia yang semakin bising oleh opini dan polarisasi, ruang sunyi untuk bertanya tentang asal-usul dan tujuan hidup menjadi semakin langka; dan Tuhan hadir sebagai ruang itu, bukan sebagai sosok maupun lembaga, tetapi sebagai kemungkinan.

Dan di sinilah ruang refleksi itu terbuka. Bahwa menjadi manusia yang hidup bukanlah tentang menjawab, tetapi tentang bertanya. Para “new theists” mengajarkan bahwa iman bukanlah warisan, melainkan penemuan. Bahwa Tuhan bukanlah sosok yang diturunkan dari langit, tetapi cahaya yang ditemukan di dasar jiwa. Dalam dunia yang kehilangan arah, mungkin yang dibutuhkan bukan peta baru, tetapi keberanian untuk bertanya ulang ke dalam. Dan dalam pertanyaan itu, Tuhan menunggu; bukan di atas mimbar, bukan di dalam kitab, tetapi di heningnya kedalaman jiwa. Di dalam hening yang mencukupi, menjawab, dan memahami.

Referensi:
• Savodnik, P. (2024). How Intellectuals Found God. The Free Press
• Zohar, D., & Marshall, I. (2000). Spiritual Intelligence: The Ultimate Intelligence. Bloomsbury Publishing.
• Habermas, J. (2010). An Awareness of What is Missing: Faith and Reason in a Post-secular Age. Polity Press.
• Taylor, C. (2007). A Secular Age. Harvard University Press.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives" 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari berbagai sumber. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM