Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma – Depok, 5 September 2025.
Di antara kabut pikiran dan riuhnya bahasa ilmiah, manusia sering tersesat dalam labirin konsep yang tak berwajah. Abstraksi, seperti bayangan yang tak punya tubuh, menari di benak namun sulit disentuh. Di sinilah analogi dan metafora hadir sebagai jembatan antara yang tak terlihat dan yang bisa dirasa. Mereka bukan sekadar alat retoris, melainkan lentera dalam gua Plato—menyulut cahaya pada ide yang gelap dan jauh. “Metafora adalah cara berpikir, bukan sekadar cara berbicara,” tulis Lakoff dan Johnson dalam Metaphors We Live By (1980), menegaskan bahwa pemahaman manusia terhadap dunia tak lepas dari struktur metaforis yang membentuknya.
Dalam pendidikan dan komunikasi ilmiah, analogi berfungsi sebagai pengait antara pengetahuan lama dan yang baru. Ketika guru menjelaskan atom sebagai “sistem tata surya mini”, ia sedang membangun jembatan dari pengalaman visual ke konsep mikroskopis. “Analogi memfasilitasi pemahaman dengan mengaktifkan skema kognitif yang sudah dikenal,” ujar Gentner (1983) dalam teorinya tentang Structure Mapping. Proses ini bukan hanya mempermudah, tapi juga memperdalam—karena pemahaman bukan sekadar tahu, melainkan mampu merasakan logika di baliknya.
Metafora juga memainkan peran penting dalam ranah psikologi dan filsafat. Dalam terapi naratif, misalnya, metafora digunakan untuk membingkai ulang pengalaman traumatis menjadi kisah yang bisa ditata ulang. “Metafora memungkinkan klien melihat masalah dari sudut pandang baru, yang membuka ruang untuk transformasi,” tulis Angus dan Rennie (1989) dalam Psychotherapy Research. Di ranah filsafat, Heidegger menyebut bahasa sebagai “rumah keberadaan”, dan metafora sebagai pintu-pintu yang membuka ruang makna baru. Dengan kata lain, metafora bukan hanya menjelaskan, tapi juga menciptakan realitas.
Dalam dunia ilmiah yang sering kering dan teknokratis, metafora menjadi oasis makna. Ketika ilmuwan menyebut DNA sebagai “blueprint kehidupan”, mereka sedang mengundang imajinasi untuk ikut serta dalam pemahaman biologis. “Metafora ilmiah bukan hanya alat komunikasi, tapi juga alat eksplorasi,” tulis Hellsten (2003) dalam Public Understanding of Science. Ia menunjukkan bahwa metafora dapat membentuk arah penelitian dan cara berpikir ilmuwan itu sendiri. Maka, metafora bukan sekadar jembatan, tapi juga kompas.
Kesimpulannya, analogi dan metafora adalah instrumen epistemologis yang tak tergantikan. Mereka menjinakkan kompleksitas, membentuk pemahaman, dan membuka ruang refleksi. Dalam dunia yang semakin dipenuhi data dan algoritma, kemampuan untuk mengubah informasi menjadi narasi yang bermakna menjadi semakin penting. “Tanpa metafora, kita kehilangan kemampuan untuk memahami yang tak langsung,” tulis Black (1962) dalam Models and Metaphors. Maka, menjadikan metafora sebagai bagian dari proses berpikir adalah langkah menuju kedalaman intelektual dan emosional.
Dan di akhir segala penjelasan, kita kembali pada keheningan: bahwa memahami bukan hanya soal logika, tapi juga soal resonansi. Seperti gema di dalam gua, makna yang sejati lahir dari benturan antara kata dan jiwa. Analogi dan metafora adalah nyanyian sunyi yang mengubah abstraksi menjadi pengalaman, konsep menjadi rasa, dan pengetahuan menjadi kebijaksanaan. Di sanalah kita menemukan bahwa bahasa bukan hanya alat, tapi juga cermin: memantulkan siapa kita, dan bagaimana kita memahami dunia.
Referensi:
• Lakoff, G., & Johnson, M. (1980). Metaphors We Live By. University of Chicago Press.
• Gentner, D. (1983). Structure-mapping: A theoretical framework for analogy. Cognitive Science, 7(2), 155–170.
• Angus, L., & Rennie, D. L. (1989). Interpretation in narrative therapy: The role of metaphors. Psychotherapy Research, 1(1), 15–29.
• Heidegger, M. (1971). Poetry, Language, Thought. Harper & Row.
• Hellsten, I. (2003). Focus on metaphors: The case of biotechnology in the media. Public Understanding of Science, 12(1), 55–68.
• Black, M. (1962). Models and Metaphors: Studies in Language and Philosophy. Cornell University Press.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header