Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 10 September 2025.
Di dalam setiap kafilah perjalanan bersama umat manusia menapaki, merayapi, menggali, mengorek dan mengais-ngais bumi untuk mencari penghidupan dan menjalani kehidupan, seringkali terdapati juga jiwa-jiwa yang berjalan tanpa getar, menatap derita orang lain seperti menatap batu di tepi jalan; tanpa desir, tanpa luka, tanpa gema. Empati yang tumpul adalah mata air yang mengering di tengah musim kemarau panjang; ia bukan sekadar ketiadaan rasa, melainkan retakan halus pada jembatan yang menghubungkan hati dengan hati. "Ketika empati memudar, manusia kehilangan sebagian kodratnya sebagai makhluk sosial yang saling menghidupi" (Saputra, 2022). Dan di sanalah, di ruang hampa itu, kemanusiaan perlahan menjadi bayangan yang tak lagi mengenali bagian tubuhnya sendiri. Karena pada dasarnya alam semesta seisinya ini satu tubuh adanya. Tidak ada pihak lain di alam semesta ini selain alam semesta itu sendiri, baik secara lahir maupun batin. Dan setiap dari kita adalah anggota tubuh, sekaligus peserta aktif dari alam semesta ini.
Fenomena tumpulnya empati dapat berakar dari paparan berulang terhadap kekerasan atau penderitaan, yang memicu desensitisasi emosional. "Paparan kronis terhadap stimulus emosional dapat menurunkan respons afektif individu" (Decety & Cowell, 2018). Dalam era banjir informasi, tragedi menjadi berita harian yang lewat di layar tanpa sempat singgah di hati. Otak, demi bertahan, membangun tembok tipis yang lama-lama menjadi benteng tebal.
Selain faktor lingkungan, ada pula dimensi biologis dan psikologis. "Gangguan pada fungsi prefrontal cortex dan amigdala dapat memengaruhi kemampuan empati" (Shamay-Tsoory, 2011). Beberapa kondisi klinis seperti gangguan kepribadian antisosial atau spektrum autisme tertentu dapat memengaruhi cara seseorang memproses emosi orang lain. Namun, tidak semua tumpulnya empati adalah gangguan jiwa; kadang ia adalah mekanisme adaptif yang keliru arah.
Konteks sosial-ekonomi juga berperan. "Ketimpangan sosial yang ekstrem dapat mengikis rasa kebersamaan dan memperkuat sikap individualistik" (Wilkinson & Pickett, 2020). Dalam masyarakat yang menyanjung kompetisi tanpa batas, empati sering dianggap kelemahan. Orang belajar untuk mengeraskan hati demi bertahan, bahkan jika itu berarti mengkhianati kodratnya sendiri. Pertambahan jumlah penduduk dunia juga menjadi faktor yang memperumit lanskap empati manusia. "Lonjakan populasi global meningkatkan tekanan terhadap ketersediaan sumber daya alam, memicu persaingan yang lebih sengit untuk mempertahankan hidup" (United Nations, 2022). Sementara gaya hidup manusia secara global juga tak lagi sesederhana dulu; semakin beragam, semakin kompleks, semakin mahal, semakin banyak, jauh melebihi kebutuhan dasarnya. Dalam situasi di mana kebutuhan dasar seperti pangan, air, dan tempat tinggal yang juga menjadi semakin terbatas, manusia cenderung memprioritaskan kepentingan diri dan kelompok terdekatnya. Mekanisme ini, meski adaptif dalam konteks bertahan hidup, sering kali mengikis ruang batin untuk memahami dan merasakan penderitaan orang lain di luar lingkaran tersebut.
Dari sudut pandang spiritualisme, tumpulnya empati sering dipandang sebagai kabut yang menutupi cahaya batin. "Dalam banyak tradisi mistik, empati dianggap sebagai pancaran langsung dari kesadaran ilahi yang bersemayam di dalam diri" (Rahman, 2021). Ketika empati meredup, hubungan manusia dengan sumber spiritualnya pun melemah. Praktik seperti meditasi welas asih, doa, atau kontemplasi batin diyakini mampu membersihkan kabut itu, mengembalikan kejernihan hati, dan membuka kembali saluran kasih yang menghubungkan manusia dengan sesamanya serta dengan semesta.
Paparan terhadap pengetahuan bahwa seluruh umat manusia—bahkan segala yang ada di alam semesta ini—adalah satu kesatuan, memiliki peran penting dalam menumbuhkan empati. "Baik ajaran spiritualisme maupun temuan fisika kuantum mengisyaratkan bahwa segala sesuatu saling terhubung dalam jejaring eksistensi yang tak terpisahkan" (Capra, 1999). Kurangnya pemahaman akan keterhubungan ini membuat manusia lebih mudah terjebak dalam ilusi keterpisahan, yang pada gilirannya melemahkan dorongan alami untuk peduli terhadap sesama dan lingkungan.
Tumpulnya empati adalah fenomena multidimensi—perpaduan antara pengetahuan, luka batin, adaptasi keliru, kompetisi, dan tekanan struktural. Ia bukan sekadar masalah moral, melainkan gejala dari sistem yang membentuk manusia untuk menutup telinga terhadap jeritan sesamanya. Mengatasinya memerlukan pendekatan lintas disiplin: pendidikan emosional, reformasi sosial, dan ruang hening batiniah untuk kembali merasakan.
Pada akhirnya, kita dihadapkan pada cermin yang memantulkan wajah kita sendiri; apakah kita masih mampu bergetar melihat air mata orang lain, ataukah kita telah menjadi batu di tepi jalan itu? "Empati adalah denyut nadi kemanusiaan; ketika ia berhenti, kita hanya tinggal tubuh tanpa jiwa" (Noddings, 2013). Mungkin, melawan tumpulnya empati bukan sekadar tugas moral, melainkan perjuangan untuk tetap menjadi manusia di tengah arus zaman yang membatu.
Referensi:
• Capra, F. (1999). The Tao of physics: An exploration of the parallels between modern physics and Eastern mysticism (4th ed.). Shambhala.
• Decety, J., & Cowell, J. M. (2018). Empathy, justice, and moral behavior. AJOB Neuroscience, 9(2), 3–14. https://doi.org/10.1080/21507740.2018.1437244
• Noddings, N. (2013). Caring: A relational approach to ethics and moral education (2nd ed.). University of California Press.
• Rahman, A. (2021). Spiritualitas dan empati: Perspektif lintas agama. Jurnal Filsafat dan Spiritualitas, 15(2), 101–118.
• Saputra, R. (2022). Empati dalam masyarakat modern: Sebuah kajian sosiologis. Jurnal Sosiologi Indonesia, 10(1), 45–59.
• Shamay-Tsoory, S. G. (2011). The neural bases for empathy. The Neuroscientist, 17(1), 18–24. https://doi.org/10.1177/1073858410379268
• United Nations. (2022). World population prospects 2022. United Nations Department of Economic and Social Affairs.
• Wilkinson, R., & Pickett, K. (2020). The inner level: How more equal societies reduce stress, restore sanity and improve everyone’s well-being. Penguin Books.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header