Breaking News

“AGAMA” BARU ITU BERNAMA KECEPATAN

Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 5 September 2025.
Di zaman ini, waktu bukan lagi sebuah sungai yang mengalir tenang, melainkan sebuah pusaran badai yang menyeret kita ke dalam arus tanpa henti. Kecepatan menjadi “agama” baru. Kita berlari di atas roda-roda kehidupan yang berputar semakin cepat, didorong oleh sebuah mesin bernama teknologi yang menjanjikan efisiensi dan kemudahan. Segala yang kita pesan cepat sampai di meja, keinginan baru cepat terlintas, dan tuntutan pekerjaan cepat mengejar. Kita mengira telah mengendalikan kecepatan, padahal sebenarnya kitalah yang dikendalikan olehnya. Tidak seperti di zaman ayah-ibu atau kakek-nenek kita, kehidupan kita kini telah berubah menjadi sebuah perlombaan lari “sprint” tanpa garis akhir, dilatari suara tabuhan genderang ketergesa-gesaan, diiringi rentetan tembakan notifikasi. Letupan-letupan keinginan terus bertambah, berubah dan membuncah akibat iklan/propaganda yang difasilitasi oleh teknologi. Desakan pekerjaan, melalui teknologi, dari atasan, kolega, pelanggan, maupun sistem dengan ganas dan tanpa perasaan menuntut respon balik yang cepat dan tanpa cacat, yang tak pernah usai, dan menyesakkan. Perjumpaan dan pertukaran cahaya mata antar jiwa tidak lagi mutlak diperlukan, berjalan pelan adalah hinaan terhadap peradaban, jeda adalah dosa. Semua itu difasilitasi oleh teknologi; sebuah capaian peradaban, yang ironisnya juga mencambukkan siksaan.

Fenomena ini sebagian dapat dirunut melalui lensa psikologi kepuasan instan yang diakselerasi oleh teknologi. Platform e-commerce dan layanan daring telah mengubah cara manusia memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Terdapat penelitian yang menemukan bahwa "kemudahan akses dan kecepatan pengiriman produk secara signifikan meningkatkan perilaku konsumerisme" (Pranata, 2024). Ketika hasrat dapat terpenuhi dalam hitungan jam, otak terbiasa dengan siklus reward yang instan, sehingga membuat orang lebih cepat merasa bosan dan mendambakan hal baru. Kondisi ini menuntut individu untuk terus-menerus mencari stimulasi berikutnya yang lebih baru, lebih banyak, lebih besar, lebih intens, lebih enak, dan lebih sering. Ini menciptakan apa yang disebut dengan  “hedonic treadmill”, siklus tanpa akhir dari keinginan yang tidak akan pernah benar-benar memuaskan (Brickman, 1971).

Selain itu, percepatan juga terjadi di ranah profesional dan bisnis, mengubah dinamika pekerjaan secara fundamental. Sebuah artikel ilmiah mencatat bahwa "siklus inovasi produk telah memendek secara dramatis, dari bertahun-tahun menjadi berbulan-bulan, bahkan berminggu-minggu" (Chen, 2023). Perusahaan dituntut untuk lebih cepat dalam merespons tren pasar, mengejar progres, dan meluncurkan produk, yang secara langsung memberikan tekanan besar pada karyawan. Hal ini menciptakan budaya kerja yang sering kali mengorbankan keseimbangan kehidupan pribadi, di mana pekerjaan seolah tidak pernah selesai dan tuntutan untuk selalu produktif menjadi norma. 

Tanda lain dari percepatan ini adalah kaburnya batasan antara waktu kerja dan waktu pribadi. Kemudahan komunikasi digital membuat individu diharapkan untuk selalu terhubung dan responsif terhadap teman, saudara, atasan, kolega, pelanggan, maupun sistem. Berdasarkan riset, "ketergantungan pada media sosial dan instant messaging telah menciptakan budaya 'selalu aktif' yang menggerus waktu istirahat" (Putri, 2024). Akibatnya, pikiran kita tidak pernah benar-benar beristirahat. Perasaan tergesa-gesa ini pun merembes ke setiap aspek kehidupan, dari merencanakan liburan hingga interaksi sosial, semuanya harus diatur dengan efisien dan cepat.

Sebagai konklusi, percepatan yang disebabkan oleh teknologi telah membentuk sebuah era di mana manusia berlari lebih cepat dari irama alaminya. Siklus konsumsi, tuntutan pekerjaan, dan keterhubungan yang konstan menciptakan sebuah realitas di mana waktu untuk diri sendiri adalah komoditas langka dan istirahat merupakan kemewahan. Ini adalah sebuah perjalanan tanpa jeda yang mengikis kesehatan mental dan kebahagiaan sejati.

Pada akhirnya, mungkin kita harus bertanya: hendak ke mana sebenarnya kita manusia ini bergegas? Mungkin keterengah-engahan napas jiwa dalam kecepatan dan percepatan ini memantik tanya akan esensi hidup yang sejati. Mungkin jiwa menuntut untuk sejenak berhenti, duduk, mencicipi kembali seteguk keheningan. Dalam keheningan itulah kita bisa merasakan irama waktu alami yang sejati, bukan waktu yang diciptakan dan dipaksakan oleh mesin. Mungkin makna dari semua ini bukanlah tentang menjadi yang tercepat, melainkan tentang menemukan titik henti, tempat di mana jiwa bisa bernapas alami kembali, dan kesadaran kita tidak lagi menjadi budak dari jam dan notifikasi.

------SELESAI------

Referensi:
• Brickman, P., & Campbell, D. T. (1971). Hedonic relativism and planning the good society. In M. H. Appley (Ed.), Adaptation Level Theory: A Symposium. Academic Press.
• Chen, S. (2023). Why Product Innovation Is Speeding Up and How to Keep Up. Harvard Business Review.
• Pranata, D. (2024). The Impact of E-commerce on Consumer Behavior and Instant Gratification. ResearchGate.
• Putri, E. (2024). Digital Communication and the Blurring of Work-Life Boundaries: A Sociological Perspective. Jurnal Universitas Indonesia.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM