Oleh: Makin Perdana Kusuma - Depok, 30 Agustus 2025
Pada kanvas eksistensi, nafsu sering kali dilukis sebagai iblis pembawa kehancuran, rantai yang membelenggu jiwa, dan jurang yang menelan akal sehat. Kita kerap diperdengarkan tentang kisah-kisah tragis akibat nafsu yang tak terkendali, menjadikannya musuh yang harus diberangus, api yang harus dipadamkan. Namun, bagaimana jika kita menukik lebih dalam, menembus selubung prasangka? Nafsu sejatinya adalah kecerdasan alami, percikan api kehidupan, denyut nadi kehidupan itu sendiri, dan benih yang menumbuhkan peradaban. Ia adalah kecerdasan azali, “program bawaan pabrikan” yang membentuk “operating system” manusia, yang mendorong manusia untuk bergerak, untuk menciptakan, dan untuk bertahan hidup. Tanpa kobaran nafsu, dunia akan membeku dalam ketiadaan, diam dalam kehampaan. Tanpa nafsu, tubuh akan layu, jiwa akan beku, dan sejarah akan berhenti. Nafsu bukanlah kabut yang menutupi cahaya, melainkan cahaya itu sendiri—asal mula gerak, rasa, dan pencarian.
Nafsu, dalam esensinya, adalah dorongan biologis fundamental yang memastikan kelangsungan hidup individu dan spesies. "Nafsu makan adalah dorongan dasar yang vital untuk kelangsungan hidup manusia, menyediakan energi dan nutrisi yang diperlukan agar tubuh berfungsi dengan optimal." (Pinel, 2011). Dorongan ini mendorong kita mencari makanan dan minuman, sebuah tindakan yang esensial untuk menjaga homeostasis tubuh. Tanpa hasrat untuk makan, kita akan mati kelaparan, dan garis keturunan manusia akan terhenti. Keinginan untuk beristirahat dan tidur juga merupakan nafsu yang tak kalah penting. "Keinginan untuk tidur adalah mekanisme biologis yang mendorong pemulihan fisik dan mental, esensial untuk menjaga kesehatan dan fungsi kognitif yang optimal." (Walker, 2017). Dorongan ini memastikan bahwa tubuh dan pikiran kita memiliki waktu untuk memperbaiki diri, memulihkan energi, dan memproses informasi yang diterima sepanjang hari.
Lebih jauh, nafsu menjadi motor penggerak reproduksi. "Nafsu seks adalah dorongan alamiah yang krusial untuk keberlanjutan spesies, memastikan reproduksi dan penerusan genetik dari satu generasi ke generasi berikutnya." (Sapolsky, 2017). Tanpa dorongan ini, reproduksi manusia tidak akan terjadi secara alami, dan populasi akan menyusut hingga akhirnya punah. Selain itu, nafsu juga mendorong manusia untuk mencari perlindungan dan keamanan. Keinginan untuk mengumpulkan sumber daya dan benda-benda pendukung hidup, seperti tempat tinggal dan pakaian, adalah manifestasi dari nafsu bertahan hidup. "Keinginan untuk mengumpulkan sumber daya dan properti adalah motivasi dasar untuk memastikan keamanan fisik, yang merupakan prasyarat untuk pertumbuhan dan perkembangan pribadi." (Maslow, 1943). Dorongan ini memastikan bahwa manusia memiliki tempat yang aman untuk berlindung dari ancaman lingkungan, memastikan kelangsungan hidup individu dan keluarga.
Pada akhirnya, nafsu bukanlah sesuatu yang secara inheren baik atau buruk. Ia adalah energi netral, sebuah kekuatan dasar yang mengalir dalam diri setiap makhluk. Bahaya muncul bukan dari keberadaan nafsu itu sendiri, melainkan dari ketidakmampuan kita untuk mengelolanya. Ketika nafsu dibiarkan liar tanpa kendali, ia dapat berubah menjadi obsesi, ketamakan, dan kehancuran. Namun, ketika nafsu diarahkan oleh akal sehat dan kebijaksanaan, ia menjadi alat yang ampuh untuk mencapai tujuan, mendorong inovasi, dan membangun peradaban. Maka, tugas kita bukanlah memadamkan nafsu, melainkan memahami, menyeimbangkan, dan mengarahkannya agar menjadi cahaya kekuatan yang membangun.
Dan di sinilah kita berdiri, di antara bara dan cahaya. Nafsu bukanlah bukanlah dosa, bukanlah noda, bukan cela, melainkan nyala. Ia adalah api yang menghangatkan saat dingin, namun juga dapat membakar habis jika tak dijaga. Ia adalah arus yang membawa kita ke tujuan, namun juga bisa menenggelamkan jika kita tak pandai berenang. Ia adalah gerak yang membawa kita dari kelahiran menuju kematangan, dari lapar menuju pencarian makna. Dalam setiap dorongan nafsu, ada pesan kehidupan yang ingin didengar. Mari kita berhenti melabelinya sebagai musuh, dan mulai menganggapnya sebagai guru. Guru yang mengajarkan kita tentang batas, tentang kekuatan, dan tentang esensi sejati dari kehidupan itu sendiri. Karena pada akhirnya, keberanian sejati bukanlah tentang memadamkan api nafsu, melainkan tentang menari di tengah-tengah kobaran apinya, menyadarinya, menerimanya, memahaminya, menjadikannya cahaya yang menuntun langkah, bukan bayangan yang menelan kita dalam kegelapan.
Referensi:
• Maslow, A. H. (1943). “A Theory of Human Motivation”. Psychological Review, 50(4), 370–396.
• Pinel, J. P. J. (2011). “Biopsychology (8th ed.)”. Pearson.
• Sapolsky, R. M. (2017). “Behave: The Biology of Humans at Our Best and Worst”. Penguin Press.
• Walker, M. (2017). “Why We Sleep: Unlocking the Power of Sleep and Dreams”. Scribner.
________________________________________
“MPK’s Literature-based Perspectives”
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header