Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 29 Juli 2025.
Di panggung kehidupan yang fana, kita semua adalah aktor, mengenakan jubah-jubah peran yang dirajut dari benang-benang ekspektasi dan narasi usang. Kita menari di bawah sorot lampu perhatian, meyakini topeng yang kita kenakan adalah cerminan sejati jiwa, padahal ia hanyalah ilusi, sebuah tirai yang menyembunyikan samudra kesadaran tak terbatas di baliknya. Setiap nama dan gelar yang disematkan, setiap cerita yang terucap tentang "siapa aku", adalah goresan cat pada topeng itu. Semakin tebal, semakin jauh kita dari kebenaran diri yang tak bernama, tak berwujud, dan abadi.
Dalam interaksi sosial kita sehari-hari, "kita berpegang pada peran, gelar, dan cerita tentang siapa kita, seolah-olah itu adalah esensi keberadaan kita" (Goffman, 1959). Identitas yang kita presentasikan kepada dunia—sebagai seorang profesional, orang tua, teman, atau warga negara—adalah konstruksi sosial yang terus-menerus dibentuk dan diperkuat oleh lingkungan dan interaksi kita. Ini adalah persona, topeng yang kita kenakan untuk berfungsi dalam masyarakat, untuk berjalan di dunia fisik dengan segala tuntutan kefisikan, namun seringkali kita keliru menganggapnya sebagai diri kita yang sejati.
"Apa yang sering kita sebut dan rasa sebagai diri yang kita lindungi hanyalah konstruksi mental, sebuah kumpulan pikiran, emosi, dan kenangan yang membentuk ego" (Jung, 1968). Ego ini, meskipun berfungsi sebagai pusat kesadaran kita dalam realitas sehari-hari, sejatinya adalah sebuah entitas yang rapuh dan terus-menerus mencari validasi eksternal. Ia melekat pada cerita-cerita masa lalu dan proyeksi masa depan, menciptakan rasa "aku" yang terpisah dan terbatas, jauh dari keluasan kesadaran murni.
Namun, "ajaran para Master spiritual, dari berbagai jaman, budaya dan latar belakang keagamaan, mengajak kita untuk melampaui ego menuju kesadaran murni; diri yang sejati bukanlah nama, bukanlah gelar, ia adalah ruang di balik pikiran" (Tolle, 2004). Ini adalah undangan untuk melepaskan identifikasi kita dengan kefisikan maupun topeng-topeng yang telah kita pahat, untuk menembus ilusi ego, dan menemukan kembali esensi keberadaan kita yang tak terbatas. Diri sejati ini adalah kehadiran yang sunyi, ruang hening di mana semua pengalaman muncul dan berlalu, namun ia sendiri tetap tak tersentuh, tak tergambarkan, tak terbandingkan.
Perjalanan menuju pemahaman bahwa identitas adalah topeng, bukan cermin, adalah sebuah proses pelepasan yang mendalam. Ini melibatkan pemahaman dan kesadaran akan lapisan-lapisan dimensi manusia, dari yang fisik hingga konstruksi mental yang telah kita bangun sebagai "diri", dan keberanian untuk melangkah melampaui batasan-batasan tersebut. Maka, biarkanlah topeng-topeng itu meluruh, bukan untuk dihilangkan, melainkan agar kita dapat memilah dan memilihnya dengan sadar, bukan karena keterikatan dan keterjeratan buta. Dengan melepaskan cengkeraman pada kekuatan dan ketampanan badani, kehebatan peran dan gelar, kita membuka diri pada dimensi keberadaan yang lebih luas, di mana kebebasan sejati dan kedamaian batin bersemayam. Sebab, badan, peran dan gelar pada saatnya akan kita tanggalkan dan tinggalkan. Yang menanggalkan dan meninggalkan itulah kita yang sejati, sebuah kesadaran murni yang tak terdefinisi. Ini adalah cermin sejati, yang memantulkan keagungan tak bersyarat dari Keberadaan itu sendiri, tempat di mana kita menemukan Kediaman Abadi dalam keheningan yang tak terlukiskan.
Referensi:
Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. Doubleday Anchor Books.
Jung, C. G. (1968). Man and His Symbols. Dell Publishing.
Tolle, E. (2004). The Power of Now: A Guide to Spiritual Enlightenment. New World Library.
_________________________________________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header