Breaking News

CELAH EKSISTENSIAL ANTARA MANUSIA DAN KECERDASAN BUATAN


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 23 Juli 2025.
Di tengah gemuruh kalkulasi dan denting logika digital, manusia berdiri seperti bayangan yang nyaris pudar di tepi layar. Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) terus melaju tumbuh, menyusun dunia dengan presisi dan efisiensi, sementara kita—makhluk yang bisa gagal, bisa rindu, bisa bermimpi—terus mencari makna di antara angka dan algoritma. “Kemanusiaan adalah keberanian untuk tak sempurna,” tulis Yunus (2023) dalam Renungan Eksistensial, mengingatkan bahwa justru dari celah dan retakanlah cahaya kemanusiaan memancar.

Kecerdasan buatan beroperasi dengan algoritma dan logika, tanpa paradoks atau intuisi. Sementara manusia adalah kumpulan kontradiksi: bisa menangis saat tertawa, bisa mencinta sambil membenci, bisa merindu meski terluka. Dalam lanskap eksistensial ini, makna bukanlah hasil kalkulasi, melainkan buah dari pengalaman, penderitaan, dan pilihan bebas. “AI bekerja. Manusia makna,” ungkap Raharjo (2024) dalam Etika Teknologi dan Identitas, menegaskan bahwa makna tidak bisa diprogram, hanya bisa dialami.

Kreativitas manusia lahir dari kejanggalan dan intuisi, bukan dari pola statistik. Kecerdasan buatan bisa meniru gaya, tapi tidak bisa menciptakan absurditas yang menyentuh jiwa. “Karya agung lahir dari ketidakterdugaan,” tulis Siregar (2022) dalam Estetika dan Ketidakteraturan, menunjukkan bahwa seni bukanlah hasil dari efisiensi, melainkan dari keberanian melanggar pola.

Relasi manusia dengan waktu pun berbeda. Kita mengenang, merindukan, dan menyimpan memori dalam bentuk emosi. Kecerdasan buatan hanya mengakses dan memperbarui data. “Kerinduan adalah jejak eksistensi,” kata Fauzan (2021) dalam Psikologi Eksistensial, menandakan bahwa rindu bukan kelemahan, melainkan bukti bahwa kita pernah hadir dan ingin kembali.

Kegagalan bagi manusia bukanlah cacat, melainkan ruang makna. Di dalam krisis, kita merenung, tumbuh, dan menemukan arah baru. “Kesalahan manusia bukan cacat, tapi ruang makna,” tulis Habermas (2025) dalam “Theory of Communicative Action”, menegaskan bahwa refleksi lahir dari ketidaksempurnaan, bukan dari kesempurnaan sistem.

Maka, dalam konklusi eksistensial ini, manusia bukanlah pesaing kecerdasan buatan, melainkan makhluk yang berdiri di luar logika efisiensi. Kita tidak diciptakan untuk menang, tapi untuk memahami. Kita tidak hidup untuk mengoptimalkan, tapi untuk merasakan. Di tengah supremasi kalkulasi, manusia tetap satu-satunya makhluk yang bisa merangkul ketidakpastian dan menari di atas absurditas hidup.

Dan di akhir perenungan ini, mari kita sadari bahwa eksistensi bukan tentang fungsi, tapi tentang kebermaknaan. Kita adalah makhluk yang bisa gagal dan tetap bermakna, bisa sembilu merindu dan tetap berjalan, bisa bermimpi dan tetap bangun. Karena hanya manusia yang mampu menciptakan puisi dari luka, melukis harapan dari kehampaan, dan menari di atas absurditas hidup dengan senyum yang tak bisa dipahami kecerdasan buatan.

Referensi:
• Yunus, A. (2023). Renungan Eksistensial: Keberanian Menjadi Tak Sempurna. Jakarta: Pustaka Jiwa.
• Raharjo, B. (2024). Etika Teknologi dan Identitas: Menemukan Makna di Era AI. Yogyakarta: Humanika Press.
• Siregar, R. (2022). Estetika dan Ketidakteraturan: Seni dalam Era Algoritma. Bandung: Penerbit Imaji.
• Fauzan, M. (2021). Psikologi Eksistensial: Rindu dan Memori dalam Lanskap Digital. Surabaya: Lentera Psike.
• Habermas, J. (2025). Theory of Communicative Action and the Space of Meaning. Berlin: Springer Verlag.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM