Breaking News

“WORK-LIFE BALANCE” DI PERSIMPANGAN NILAI DAN KEMAJUAN TEKNOLOGI


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 24 November 2025

Di antara deru mesin dan detak jam yang tak pernah berhenti, manusia berdiri di persimpangan antara ambisi dan keheningan. Work-life balance bukan sekadar istilah manajemen modern, melainkan gema dari pertanyaan purba: “Untuk apa kita bekerja, dan kapan kita hidup utuh?” Dalam lanskap kerja global, keseimbangan ini menjadi medan tarik-menarik antara produktivitas dan kemanusiaan. Di satu sisi, ia adalah oase yang menjanjikan ketenangan jiwa; di sisi lain, ia dianggap sebagai ilusi yang melemahkan daya saing. “Makna work-life balance dibentuk oleh lapisan konteks global, nasional, organisasi, dan temporal yang saling berkelindan” (Lewis & Beauregard, 2018).

Di negara-negara Nordik seperti Swedia dan Denmark, work-life balance dijunjung tinggi sebagai hak sosial. Kebijakan cuti panjang, jam kerja fleksibel, dan dukungan negara terhadap keluarga menjadi bukti bahwa kerja bukanlah penjara waktu. “Keseimbangan kerja-hidup di negara-negara ini bukan sekadar kebijakan, melainkan nilai budaya yang tertanam dalam sistem sosial” (ILO, 2023). Sebaliknya, di negara-negara dengan budaya kerja keras seperti Jepang, Tiongkok atau Korea Selatan, jam kerja panjang dan loyalitas ekstrem terhadap perusahaan menjadi norma. Di sana, work-life balance sering dianggap sebagai kemewahan yang mengancam efisiensi dan pertumbuhan ekonomi.

Namun, perbedaan ini bukan semata-mata soal geografis, melainkan cerminan dari nilai-nilai yang dipegang masyarakat. “Kebijakan WLB dipengaruhi oleh kerangka budaya dan strategi implementasi yang sangat beragam antar negara” (Siregar & Prasetyo, 2024). Di Indonesia, misalnya, konsep work-life balance masih dalam tahap pencarian bentuk. Di tengah tekanan ekonomi dan tuntutan digitalisasi, banyak pekerja terjebak dalam ritme kerja yang tak mengenal batas. Meski beberapa perusahaan mulai menerapkan kebijakan fleksibel, stigma terhadap istirahat masih kuat: istirahat dianggap lamban, dan lamban dianggap gagal.

Paradoks terbesar work-life balance hari ini muncul dari kemajuan teknologi digital. Fleksibilitas waktu dan tempat (kerja jarak jauh atau remote work) yang seharusnya menjadi solusi, justru berubah menjadi jebakan eksistensial. Batasan fisik antara kantor dan rumah runtuh; waktu pribadi (personal time) dan waktu kerja (working time) melebur tanpa sekat yang jelas. Ponsel pintar dan laptop, yang menjanjikan kebebasan, secara bersamaan merantai individu pada kewajiban yang beroperasi 24/7. Dalam kondisi ini, kerja tidak lagi diukur oleh kehadiran fisik, melainkan oleh responsivitas yang konstan. Konsekuensinya, individu mungkin bekerja dari mana saja, tetapi sesungguhnya mereka tidak pernah benar-benar lepas dari pekerjaan.

Dari sudut pandang fisiologis, keseimbangan kerja dan hidup bukan sekadar kenyamanan, melainkan kebutuhan biologis. “Ketidakseimbangan kerja-hidup meningkatkan kadar kortisol, mengganggu ritme sirkadian, dan menurunkan fungsi imun tubuh” (Yustini & Yuliza, 2021). Tubuh manusia dirancang untuk beristirahat, memulihkan diri, dan mengalami variasi aktivitas. Ketika kerja mendominasi waktu dan ruang, tubuh kehilangan kesempatan untuk meregenerasi sel, memperbaiki jaringan, dan menstabilkan hormon. Dalam jangka panjang, ini berkontribusi pada kelelahan kronis, gangguan tidur, dan penyakit metabolik.

Dari perspektif neurosains, keseimbangan kerja-hidup berpengaruh langsung pada fungsi kognitif dan emosional. “Ketidakseimbangan kerja-hidup menurunkan kapasitas atensi, fleksibilitas kognitif, dan rentang afeksi individu” (Al-Adawi et al., 2022). Otak manusia tidak mengenal batas antara “kerja” dan “hidup” sebagaimana struktur organisasi mengenalnya. “Residui emosional, beban kognitif, dan stres sosial berpindah dari satu peran ke peran lain tanpa sekat” (Ensrud, 2025). Maka, fleksibilitas dan integrasi menjadi kunci keberlanjutan performa tinggi. Ketika otak diberi ruang untuk bernapas, ia mampu mengakses kreativitas, empati, dan ketahanan psikologis.

Sebagai konklusi, work-life balance bukanlah formula universal, melainkan pilihan yang dipengaruhi oleh nilai, sistem, dan keberanian untuk mendefinisikan ulang makna kerja. Ia bukan penghambat kemajuan, melainkan penyeimbang arah. “Keseimbangan bukan tentang membagi waktu secara sama, melainkan tentang memberi ruang bagi kehidupan untuk bernapas di antara kerja” (Lewis & Beauregard, 2018).

Dan akhirnya, di balik layar komputer dan rapat daring yang tak berujung, kita dihadapkan pada cermin: apakah kita masih hidup di dalam kerja, atau hanya bekerja di dalam hidup? Work-life balance adalah puisi yang belum selesai, sebuah ruang sunyi tempat manusia belajar menjadi utuh. Ia bukan sekadar kebijakan, tapi perlawanan lembut terhadap dunia yang terlalu cepat. Di sana, di antara waktu yang kita pilih untuk berhenti hening sejenak, kita menemukan kembali makna menjadi manusia.

Referensi:
• Al-Adawi, S., et al. (2022). The magnitude and effect of work-life imbalance on cognition and affective range among the non-western population. PLOS ONE, 17(2), e0263608.
• Ensrud, K. (2025). The Neuroscience of Work/Life Integration: Why Flexibility Is the New Productivity Hack. LinkedIn Articles.
• International Labour Organization. (2023). Working Time and Work-Life Balance Around the World. Geneva: ILO.
• Lewis, S., & Beauregard, T. A. (2018). The meanings of work–life balance: A cultural perspective. In K. M. Shockley, W. Shen, & R. C. Johnson (Eds.), The Cambridge Handbook of the Global Work–Family Interface (pp. 720–738). Cambridge University Press.
• Siregar, D., & Prasetyo, A. (2024). Cultural Contexts and Policy Frameworks: Examining Work-life Balance in Four Nations. International Journal of Economics, Business and Management Research, 12(1), 45–60.
• Yustini, R., & Yuliza, N. (2021). Pengaruh Work-Life Balance terhadap Kesehatan Fisiologis Karyawan. Jurnal Manajemen dan Kesehatan Kerja, 9(2), 70–78.
______________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM