Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 26 November 2025
Di panggung semesta yang tak pernah sunyi, manusia berjalan dalam bayang-bayang perbandingan. Ada yang tampak cemerlang karena ada yang redup. Ada yang disebut tampan karena ada yang dianggap tidak menarik. Ada yang dipuja karena ada yang dilupakan. Dunia bukanlah ruang tunggal bagi keunggulan, melainkan lanskap kontras dan gradasi yang saling memberi nilai. “Keberadaan manusia hanya dapat dimaknai melalui relasi dan oposisi; terang hanya tampak karena ada gelap” (Merleau-Ponty, 1962). Maka, orang bodoh bukan sekadar kekurangan, melainkan latar yang membuat kecerdasan bersinar. Orang jelek bukanlah kesia-siaan visual, melainkan bingkai yang menegaskan estetika. Orang lemah bukan sekadar beban, melainkan ruang di mana kekuatan menemukan maknanya.
Dalam filsafat eksistensial, identitas bukanlah entitas tunggal, melainkan proses yang lahir dari interaksi dan perbedaan. “Manusia sebagai subjek sosial membentuk dirinya melalui kontras dan refleksi terhadap yang lain” (Sartre, 1943). Ketika kita menyebut seseorang pintar, kita secara tak sadar telah membandingkannya dengan yang tidak pintar. Ketika kita memuji ketampanan, kita sedang mengingatkan bahwa ada wajah lain yang tidak memenuhi standar estetika dominan. Dunia bekerja dalam oposisi, dan oposisi itulah yang melahirkan makna.
Dalam konteks sosial dan budaya, keberagaman eksistensial bukanlah ancaman, melainkan fondasi dari harmoni. “Perbedaan bukanlah deviasi, melainkan elemen penting dalam struktur sosial yang sehat dan dinamis” (Bauman, 2000). Di era digital, algoritma menonjolkan yang populer karena ada yang tidak populer. Yang viral menjadi viral karena ada yang tenggelam. Maka, keberadaan yang dianggap “kurang” bukanlah kegagalan, melainkan fondasi dari keberadaan yang “lebih”.
Secara psikologis, perbandingan sosial adalah mekanisme kognitif yang tak terhindarkan. “Manusia membentuk harga diri dan identitas melalui proses membandingkan diri dengan orang lain” (Festinger, 1954). Namun, perbandingan ini tidak selalu destruktif. Ia bisa menjadi ruang pembelajaran, empati, dan kesadaran bahwa setiap posisi dalam spektrum eksistensi memiliki peran. Orang bodoh mengajarkan kesabaran. Orang jelek mengajarkan penerimaan. Orang lemah mengajarkan perlindungan.
Dari sudut spiritual, keberadaan yang tampak “kurang” bukanlah kesalahan kosmik, melainkan bagian dari desain ilahi yang mengajarkan kerendahan hati dan keterhubungan. “Dalam tradisi mistik, setiap makhluk memiliki tempatnya dalam simfoni semesta, dan ketidaksempurnaan adalah pintu menuju kesadaran yang lebih tinggi” (Tolle, 2005). Setiap orang dan segala sesuatu menempati fungsinya masing-masing. Setiap hal adalah nada yang berkontribusi pada terciptanya simfoni. Nada yang rendah sama berartinya dengan nada tinggi dalam membentuk melodi. Orang bodoh mengingatkan kita bahwa kebijaksanaan sejati bukanlah akumulasi pengetahuan, melainkan kemampuan untuk melihat dengan hati. Orang jelek mengajarkan bahwa keindahan bukanlah bentuk, melainkan cahaya batin. Orang lemah menunjukkan bahwa kekuatan bukan dominasi, melainkan kemampuan untuk melindungi dan mengasihi. Dalam spiritualitas yang mendalam, kontras bukanlah konflik, melainkan harmoni yang belum kita pahami sepenuhnya.
Konklusinya; dunia tidak membutuhkan kesempurnaan tunggal. Ia membutuhkan keberagaman yang saling memberi arti. “Kehidupan adalah dialektika antara terang dan gelap, antara tinggi dan rendah, antara kuat dan lemah” (Nietzsche, 1886). Di mata semesta semua berguna, semua bermakna. Tak ada yang lebih hina, tak ada yang lebih mulia. Sebagaimana rumput dan pohon kelapa yang sama-sama berharga dalam fungsinya masing-masing dalam menyangga sistem kehidupan. Maka, keberadaan yang dianggap kurang bukanlah cacat, melainkan warna yang membuat lukisan kehidupan menjadi utuh.
Dan akhirnya, kita dihadapkan pada cermin yang tak memantulkan satu wajah, melainkan ribuan bayangan. Dunia bukan panggung bagi yang sempurna, melainkan taman bagi yang berbeda. Dalam perbedaan itulah kita belajar melihat, bukan hanya dengan mata, tapi dengan hati. Kita belajar bahwa menjadi “kurang” bukanlah akhir, melainkan awal dari makna yang lebih dalam. Di sana, dalam ruang yang tidak sempurna, manusia menemukan dirinya sebagai bagian dari harmoni yang tak bisa dibentuk oleh keseragaman.
Referensi:
• Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of Perception. Routledge.
• Sartre, J.-P. (1943). Being and Nothingness. Washington Square Press.
• Bauman, Z. (2000). Liquid Modernity. Polity Press.
• Festinger, L. (1954). A Theory of Social Comparison Processes. Human Relations, 7(2), 117–140.
• Nietzsche, F. (1886). Beyond Good and Evil. Penguin Classics.
• Tolle, E. (2005). A New Earth: Awakening to Your Life’s Purpose. Penguin Group.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji


Social Header