Breaking News

MENGUCAPKAN TERIMAKASIH ITU MEMBEBASKAN, MENGHARAPKAN TERIMAKASIH ITU MEMENJARA JIWA

 
Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 26 November 2025

Mengucapkan terimakasih adalah seperti membuka jendela pada ruang batin yang pengap; ia melepaskan udara segar, membebaskan jiwa dari beban yang tak terlihat. Kata sederhana itu, meski ringan, mengalir seperti sungai yang menyejukkan dahaga eksistensial. Namun, ketika manusia mulai mengharapkan ucapan terimakasih dari orang lain, ia membangun tembok tak kasat mata, sebuah penjara yang mengikat kebebasan batinnya sendiri. “Terimakasih adalah ekspresi kebebasan batin, bukan tuntutan sosial” (Emmons & McCullough, 2003). Dalam paradoks ini, kita melihat bagaimana sebuah kata bisa menjadi oase sekaligus jerat.

Psikologi positif menegaskan bahwa praktik ucapan terimakasih, meningkatkan kesejahteraan emosional dan memperkuat relasi sosial. “Syukur, ungkapan terimakasih adalah fondasi dari kebahagiaan yang berkelanjutan” (Seligman, 2011). Mengucapkan terimakasih tanpa pamrih adalah tindakan yang memperluas ruang batin, membebaskan manusia dari ego yang menuntut balasan. Ia menjadi bentuk pemberian yang tidak mengikat, sebuah pelepasan yang justru memperkaya jiwa. Di sinilah penting untuk menyadari bahwa ucapan terimakasih adalah ekspresi dari keberlimpahan psikis dan spiritual. Mengharapkan terimakasih muncul dari rasa kekurangan psikis dan spiritual. Kalimat ini menegaskan bahwa rasa terimakasih sejati lahir dari kelimpahan batin, bukan dari kekosongan yang menuntut pengakuan.

Namun, ketika ucapan terimakasih dijadikan tuntutan, ia berubah menjadi beban. Mengharapkan orang lain untuk berterimakasih menciptakan ketergantungan emosional yang rapuh, menyesakkan dada, membocorkan persediaan energi, melelahkan. “Ketika ungkapan terimakasih dipaksa, ia kehilangan makna dan menjadi sumber frustrasi” (Wood, Froh, & Geraghty, 2010). Tuntutan akan ungkapan terimakasih adalah bentuk dari kelaparan akan pengakuan. Sebab, tuntutan selalu berakar pada rasa kekurangan. Dalam kondisi ini, manusia tidak lagi bebas, melainkan terikat pada pengakuan eksternal. Penjara itu bukanlah dinding nyata, melainkan konstruksi psikologis yang membatasi kebebasan batin, menyempitkan ruang jiwa di dada.

Sosiologi relasi manusia menunjukkan bahwa ekspektasi terhadap ucapan terimakasih sering kali berakar pada norma sosial dan kebutuhan akan pengakuan. “Ucapan terimakasih adalah simbol interaksi sosial yang meneguhkan status dan peran” (Gouldner, 1960). Namun, ketika simbol itu dijadikan syarat mutlak, ia menimbulkan ketegangan dalam hubungan. Alih-alih memperkuat ikatan, ekspektasi berlebihan justru merusak harmoni.

Dari perspektif spiritual, mengucapkan terimakasih adalah doa yang membebaskan, sementara mengharapkan terimakasih adalah keterikatan yang mengikat. “Rasa terimakasih sejati adalah pelepasan ego, bukan pencarian pengakuan” (Nhat Hanh, 1991). Spiritualitas mengajarkan bahwa kebebasan batin lahir dari memberi tanpa menuntut, dari menerima tanpa mengikat. Di sinilah terimakasih menjadi jalan menuju keheningan yang membebaskan.

Kesimpulannya, mengucapkan terimakasih adalah tindakan yang membuka ruang batin, memperluas kebebasan, melegakan, melapangkan, membahagiakan, dan memperkuat relasi. Sebaliknya, mengharapkan terimakasih adalah jerat yang menciptakan penjara psikologis. “Makna terimakasih bukan pada balasan, melainkan pada kebebasan memberi” (Emmons & McCullough, 2003). Maka, kebijaksanaan sejati adalah belajar mengucapkan terimakasih tanpa pamrih, dan melepaskan ekspektasi yang membelenggu.

Dan akhirnya, refleksi ini mengingatkan kita bahwa kebebasan batin tidak datang dari pengakuan orang lain, melainkan dari keberanian untuk memberi tanpa syarat. Terimakasih adalah cahaya kecil yang membebaskan, sementara ekspektasi adalah bayangan yang memenjarakan. Dalam memilih untuk berterimakasih tanpa menuntut, manusia menemukan oase batiniah yang sejati; tempat di mana jiwa bisa bernafas lega, bebas dari jerat pengakuan, dan berdiri tegak dalam keheningan yang penuh makna.

Referensi:
• Emmons, R. A., & McCullough, M. E. (2003). Counting blessings versus burdens: An experimental investigation of gratitude and subjective well-being in daily life. Journal of Personality and Social Psychology, 84(2), 377–389.
• Gouldner, A. W. (1960). The norm of reciprocity: A preliminary statement. American Sociological Review, 25(2), 161–178.
• Nhat Hanh, T. (1991). Peace is Every Step: The Path of Mindfulness in Everyday Life. Bantam Books.
• Seligman, M. E. P. (2011). Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well-being. Free Press.
• Wood, A. M., Froh, J. J., & Geraghty, A. W. A. (2010). Gratitude and well-being: A review and theoretical integration. Clinical Psychology Review, 30(7), 890–905.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM