Breaking News

MAKNA ADALAH PELARIAN EKSISTENSIAL MANUSIA


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 27 November 2025

Semesta tidak pernah menjanjikan makna. Ia hadir seperti embun yang menguap, seperti cahaya yang menembus kabut tanpa arah. Ia mengada dan menghilang, tanpa henti, tanpa batas, tanpa maksud, tanpa niat menghibur ataupun menyakiti manusia. Semesta mengadakan dan memperlakukan manusia sebagaimana perlakuannya terhadap bulan, bintang, planet, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun bebatuan. Di dalam pusaran waktu dan ruang yang tak bertepi, segala peristiwa terjadi begitu saja; seperti hujan yang jatuh tanpa tahu siapa yang basah. Namun manusia, dengan luka dan harapannya, dengan akal dan egonya, menatap semesta dan bertanya: “Apa artinya semua ini?” Maka dimulailah penempelan makna, penafsiran, dan penilaian. “Makna bukanlah sesuatu yang ditemukan, melainkan sesuatu yang diciptakan oleh kesadaran manusia terhadap eksistensinya sendiri” (Frankl, 2006).

Dalam filsafat eksistensialisme, manusia adalah makhluk yang dilemparkan ke dunia tanpa petunjuk, namun diberi kebebasan untuk memilih dan memberi makna. Jean-Paul Sartre menyebut ini sebagai “l’être-pour-soi”; kesadaran yang menciptakan dirinya sendiri melalui pilihan dan tanggung jawab. “Kebebasan adalah esensi manusia, dan manusia yang bebas selalu menciptakan dirinya” (Sartre, 1943/2007). Maka, sesuatu yang menguntungkan atau mengenakkan akan disebut bermakna, bernilai, berarti. Sebaliknya, yang menyakitkan atau merugikan akan dianggap tak bermakna, bahkan absurd. Makna menjadi cermin dari kepentingan, bukan dari semesta itu sendiri.

Albert Camus menyebut absurditas sebagai titik temu antara pencarian makna dan kebisuan semesta. “Manusia terus mencari makna dalam dunia yang tidak memberikannya, dan dari ketegangan itulah lahir absurditas” (Camus, 1942/1991); bahwa hidup tidak memiliki makna bawaan, tetapi manusia tetap berjuang menciptakan makna agar bisa bertahan dalam kehidupan yang penuh ketidakpastian yang menyodorkan ruang bagi banyak pertanyaan. Tidak seperti halnya binatang dan tumbuh-tumbuhan yang mengada begitu saja dalam aliran semesta, manusia sibuk mempertanyakan aliran semesta. Manusia disiksa oleh pertanyaanya sendiri. Dalam absurditas itu, manusia tidak menyerah, melainkan menciptakan narasi, simbol, dan nilai. Ia menyusun mitos, membangun agama, menulis puisi, menggubah lagu, membuat permainan, membangun sistem sosial, dan menciptakan sistem moral, yang diharapkannya menjawab pertanyaannya. Manusia yang mengajukan pertanyaan, manusia juga yang menciptakan jawabannya. Semua itu bukan karena semesta bermakna, tetapi karena manusia tak tahan hidup tanpa makna. Kecerdasan manusia membuatnya menyukai kompleksitas dan misteri abstrak, dan pada saat yang sama, manusia, yang terbiasa hidup terkungkung dalam batasan pigura ruang dan waktu hukum dimensi fisik, mewajibkan segala sesuatu dan semua peristiwa memiliki sebab, akibat, alasan, dan tujuan. Manusia tak bisa menerima semesta yang sekedar mengada apa adanya dengan ketakterbatasan kemungkinannya. Oleh karenanyalah manusia menciptakan makna dan menyematkannya pada segala hal dan peristiwa di alam semesta.

Dari sudut pandang psikologi, pencarian makna merupakan mekanisme adaptif yang penting bagi kesehatan mental. Viktor Frankl, dalam logoterapinya, menekankan bahwa “dorongan utama manusia bukanlah kesenangan atau kekuasaan, melainkan pencarian makna dalam hidupnya” (Frankl, 2006). Penelitian kontemporer menunjukkan bahwa individu yang mampu mengaitkan pengalaman hidupnya dengan makna cenderung memiliki tingkat resiliensi yang lebih tinggi, serta lebih mampu mengatasi trauma dan stres (Steger et al., 2006). Makna menjadi semacam jangkar psikologis yang menstabilkan identitas dan memberi arah dalam menghadapi ketidakpastian eksistensial.

Kesimpulannya, makna bukanlah properti alam semesta, melainkan proyeksi batin manusia. Ia lahir dari kepentingan, dari rasa ingin bertahan, dari kebutuhan untuk merasa penting. “Makna adalah konstruksi yang dilekatkan manusia pada peristiwa, bukan sesuatu yang inheren dalam peristiwa itu sendiri” (Yalom, 1980). Maka, memahami makna berarti memahami manusia, dengan segala kompleksitasnya, dengan segala keinginan untuk menjinakkan kekosongan.

Namun, di balik semua itu, tersimpan ruang refleksi yang sunyi. Jika semesta memang tak bermakna, dan makna hanyalah tempelan yang kita buat, maka barangkali kebebasan sejati adalah menerima ketidakbermaknaan itu dengan lapang dada. Seperti langit yang tak menuntut untuk dimengerti, seperti batu yang tak meminta untuk diberi nilai. Di sanalah manusia bisa berhenti sejenak, tidak untuk mencari makna, tetapi untuk merasakan keberadaan itu sendiri. Dalam keheningan yang tak menuntut, barangkali kita menemukan oase batiniah yang lebih jujur daripada segala konstruksi makna yang pernah kita bangun.

------SELESAI------

Referensi:
• Camus, A. (1991). The Myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage International. (Original work published 1942)
• Frankl, V. E. (2006). Man’s Search for Meaning. Beacon Press.
• Sartre, J.-P. (2007). Being and Nothingness: An Essay in Phenomenological Ontology (H. E. Barnes, Trans.). Routledge. (Original work published 1943)
• Steger, M. F., Frazier, P., Oishi, S., & Kaler, M. (2006). The Meaning in Life Questionnaire: Assessing the presence of and search for meaning in life. Journal of Counseling Psychology, 53(1), 80–93.
• Yalom, I. D. (1980). Existential Psychotherapy. Basic Books.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM