Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 19 November 2025
Di balik senyuman yang rapuh dan tatapan yang menyimpan badai, iri hati menyelinap seperti bayangan yang tak diundang. Ia bukan sekadar rasa tak suka, melainkan luka batin yang menggerogoti jiwa perlahan, seperti api yang memakan kayu bakar tanpa suara. “Iri hati adalah seni menghitung berkat orang lain daripada berkat kita sendiri” (Coffin, dalam Burton, 2024). Dalam lorong gelap kesadaran, iri hati menjadi cermin yang memantulkan kekosongan diri, mengungkapkan betapa rapuhnya rasa syukur dan betapa kuatnya hasrat untuk menjadi seperti orang lain. Ia adalah racun yang kita minum sendiri, berharap orang lain yang sakit.
Psikologi modern memandang iri hati sebagai emosi kompleks yang lahir dari ketidakpuasan dan perbandingan sosial. “Iri hati muncul dari ketidakpuasan batin yang dipicu oleh keberadaan orang lain yang memiliki apa yang kita dambakan” (Sanders, 2014). Emosi ini bukan hanya destruktif secara interpersonal, tetapi juga menghambat pertumbuhan pribadi. Brené Brown menekankan bahwa “Seringkali, iri hati muncul bukan dari keinginan untuk memiliki apa yang dimiliki orang lain, melainkan dari ketakutan akan apa yang tidak kita miliki” (Brown, dalam Softmind India, 2023). Ketakutan ini menciptakan ilusi kekurangan, padahal setiap jiwa memiliki berkahnya sendiri.
Dalam spiritualitas lintas tradisi, iri hati digambarkan sebagai penghalang utama menuju kedamaian batin. “Iri hati adalah tulang yang membusuk dalam diri manusia” (Amsal 14:30). Dalam Islam, Nabi Muhammad SAW memperingatkan bahwa “Iri hati memakan kebaikan seperti api memakan kayu bakar” (Hadits). Tradisi Buddha menyebut iri hati sebagai akar dari kejahatan, karena dari sanalah lahir kebencian dan kehancuran. Zen mengajarkan bahwa hanya dengan melepaskan ego dan keserakahan, kita bisa terbebas dari belenggu iri hati. “Hanya ketika kita menyerahkan ego dan keserakahan kita, kita bisa melepaskan diri dari belenggu iri hati” (Myss, 2013).
Dalam kajian neurosains, iri hati bukan sekadar emosi sosial, melainkan respons neurologis yang melibatkan aktivasi area korteks cingulate anterior dan ventral striatum—wilayah otak yang juga terlibat dalam rasa sakit dan penghargaan. “Iri hati mengaktifkan sistem limbik yang sama dengan rasa sakit fisik, menunjukkan bahwa penderitaan sosial memiliki jejak biologis yang nyata” (Takahashi et al., 2009). Ketika seseorang melihat keberhasilan orang lain, otak dapat menafsirkan hal itu sebagai ancaman terhadap status diri, memicu rasa tidak nyaman yang mendalam. Namun, dengan latihan kesadaran dan regulasi emosi, sistem ini dapat dilatih untuk merespons dengan empati dan penerimaan, bukan dengan kompetisi atau dendam.
Dari sudut pandang filsafat, khususnya dalam pemikiran eksistensialis dan stoik, iri hati adalah bentuk alienasi dari diri autentik. “Iri hati lahir ketika manusia gagal mengenali nilai intrinsik dirinya dan mulai mengukur eksistensinya melalui pencapaian orang lain” (Kierkegaard, dalam Solomon, 2006). Dalam stoisisme, iri hati dianggap sebagai gangguan batin yang muncul dari penilaian keliru terhadap apa yang benar-benar berada dalam kendali kita. Ketika kita menyadari bahwa kebahagiaan tidak bergantung pada hal eksternal, maka iri hati kehilangan kekuatannya. Filsafat mengajak kita untuk kembali ke pusat diri, tempat di mana nilai dan makna tidak ditentukan oleh perbandingan, melainkan oleh keutuhan eksistensi.
Sementara itu, dalam lensa energi spiritual, iri hati dipandang sebagai frekuensi rendah yang menghalangi aliran cahaya batin. “Energi iri hati menciptakan blokade dalam medan energi kehidupan, mengganggu keseimbangan antara hati dan pikiran” (Myss, 2013). Ketika seseorang terjebak dalam vibrasi iri, ia menutup pintu terhadap kelimpahan dan kedamaian. Praktik spiritual seperti meditasi, afirmasi syukur, dan penyelarasan energi melalui praktik kasih dan penerimaan dapat membantu mengubah energi iri menjadi energi cinta dan penerimaan. Dalam tradisi Dharma, diajarkan bahwa “Setiap kali Anda merasa iri, ingatlah bahwa Anda memiliki berkah unik Anda sendiri yang tidak dimiliki orang lain”—sebuah pengingat bahwa jalan spiritual bukanlah kompetisi, melainkan perjalanan pulang ke dalam diri.
Konklusinya, iri hati bukanlah musuh eksternal, melainkan bayangan dalam diri yang perlu dikenali dan dihadapi. “Makin tidak aman kita, makin besar kecenderungan kita untuk merasa iri” (Forward, dalam Psychology Today, 2024). Dengan mengenali akar rasa ketidakamanan dan membangun rasa syukur, kita dapat mengubah iri menjadi kekuatan untuk tumbuh. Perbandingan sosial yang merusak dapat digantikan dengan penghargaan terhadap keunikan diri. Dalam proses ini, spiritualitas, filsafat, dan neurosains bertemu: ketiganya mengajak kita untuk menyadari, menerima, dan melampaui.
Dan akhirnya, dalam ruang refleksi yang sunyi, kita menyadari bahwa iri hati bukanlah takdir, melainkan pilihan. Ia bisa menjadi racun atau menjadi guru, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Ketika kita berhenti menghitung berkat orang lain dan mulai menghargai berkat kita sendiri, maka cahaya kesadaran mulai menyinari lorong-lorong gelap jiwa. Di titik ini, iri hati tak lagi menguasai, melainkan menjadi cermin yang mengantar kita pulang ke dalam diri yang utuh dan bersyukur.
Referensi:
• Burton, N. (2024). The Psychology and Philosophy of Envy. Psychology Today.
• Sanders, E. (2014). Envy, Jealousy, and Related Emotions—Modern Theories. Oxford Academic.
• Softmind India. (2023). Exploring the Roots of Envy and Jealousy: A Psychological Perspective.
• Psychology Today. (2024). Envy and Insecurity: How Comparison Destroys Joy.
• Takahashi, H., et al. (2009). When Your Gain Is My Pain and Your Pain Is My Gain: Neural Correlates of Envy and Schadenfreude. Science, 323(5916), 937–939.
• Solomon, R. C. (2006). Continental Philosophy Since 1750: The Rise and Fall of the Self. Oxford University Press.
• Myss, C. (2013). Anatomy of the Spirit: The Seven Stages of Power and Healing. Harmony Books.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji


Social Header