Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 22 November 2025
Di era digital, batas antara kerja dan hidup semakin kabur, seperti garis horizon yang larut dalam senja. Pekerja digital hidup dalam dunia tanpa sekat, di mana notifikasi adalah lonceng yang tak pernah berhenti berdentang, dan layar menjadi cermin yang memantulkan wajah lelah sekaligus ambisi. “Pekerja digital menghadapi risiko kaburnya batas waktu kerja dan waktu pribadi, yang berdampak pada kesehatan mental dan sosial” (Chesley, 2014). Dalam ruang ini, manusia menjadi nomaden virtual, berpindah dari satu tugas ke tugas lain tanpa jeda, seakan hidup hanyalah ekstensi dari pekerjaan.
Fenomena ini semakin nyata dengan hadirnya teknologi komunikasi yang memungkinkan kerja dilakukan kapan saja dan di mana saja. “Teknologi digital menciptakan kondisi kerja yang fleksibel, namun sekaligus menimbulkan ekspektasi untuk selalu tersedia” (Mazmanian, Orlikowski, & Yates, 2013). Pekerja digital sering kali merasa terikat pada perangkat mereka, seolah-olah jam kerja tidak pernah berakhir. Fleksibilitas yang dijanjikan berubah menjadi jebakan, di mana kebebasan justru melahirkan keterikatan baru.
Dari perspektif fisiologis, kondisi ini membawa konsekuensi serius. “Paparan kerja digital yang berlebihan meningkatkan kadar kortisol, mengganggu ritme tidur, dan menurunkan fungsi imun” (Yustini & Yuliza, 2021). Tubuh manusia membutuhkan siklus istirahat yang jelas, namun pekerja digital sering kehilangan ritme biologisnya. Ketika tubuh dipaksa untuk terus terjaga, ia kehilangan kesempatan untuk memulihkan diri, dan kelelahan kronis menjadi harga yang harus dibayar.
Neurosains pun menegaskan dampak kaburnya batas kerja-hidup. “Ketidakseimbangan kerja-hidup menurunkan kapasitas atensi, fleksibilitas kognitif, dan rentang afektif individu” (Al-Adawi et al., 2022). Otak manusia tidak dirancang untuk menerima arus informasi tanpa henti. Ketika pekerja digital terus-menerus terpapar tuntutan kerja, residui emosional terbawa ke ruang pribadi, menciptakan ketegangan yang sulit diurai. Kreativitas dan empati pun terkikis, digantikan oleh kelelahan mental.
Pergeseran budaya kerja di era digital bukan hanya soal teknologi, melainkan soal makna eksistensi manusia. “Budaya kerja kontemporer bergerak dari struktur hierarkis menuju jaringan fleksibel, namun di balik fleksibilitas itu muncul pertanyaan eksistensial tentang identitas dan tujuan” (Bauman, 2013). Dalam perspektif filsafat eksistensial, pekerja digital seakan hidup dalam ruang liminal: selalu hadir, namun kehilangan batas antara diri dan sistem. Seperti yang ditegaskan Heidegger, manusia bukan sekadar homo faber yang bekerja, melainkan Dasein yang mencari makna dalam keberadaan. Ketika kerja meresap ke seluruh ruang hidup, maka pertanyaan “siapa aku di luar kerja?” menjadi semakin mendesak, dan work-life balance berubah menjadi pencarian ontologis, bukan sekadar manajerial.
Dalam konklusi, pekerja digital menghadapi paradoks: teknologi yang menjanjikan kebebasan justru menciptakan keterikatan yang lebih dalam. Work-life balance menjadi semakin sulit dicapai, karena batas antara kerja dan hidup melebur dalam arus digital. “Keseimbangan kerja-hidup di era digital menuntut redefinisi, bukan sekadar pembagian waktu, melainkan penciptaan ruang yang melindungi identitas manusia” (ILO, 2023).
Dan akhirnya, di balik layar yang menyala sepanjang malam, pekerja digital dihadapkan pada pertanyaan eksistensial: apakah kita masih hidup di luar kerja, atau hanya bekerja di dalam hidup? Work-life balance bukan sekadar kebijakan, melainkan puisi yang menuntut jeda, ruang sunyi di mana manusia kembali menemukan dirinya. Dalam keheningan yang dipilih, kita belajar bahwa hidup bukan hanya tentang produktivitas, melainkan tentang keberanian untuk berhenti, mendengar, dan merasakan kembali denyut kemanusiaan.
Referensi:
• Chesley, N. (2014). Information and communication technology use, work intensification and employee strain. Work, Employment and Society, 28(4), 589–610.
• Mazmanian, M., Orlikowski, W. J., & Yates, J. (2013). The autonomy paradox: The implications of mobile email devices for knowledge professionals. Organization Science, 24(5), 1337–1357.
• Yustini, R., & Yuliza, N. (2021). Pengaruh Work-Life Balance terhadap Kesehatan Fisiologis Karyawan. Jurnal Manajemen dan Kesehatan Kerja, 9(2), 70–78.
• Al-Adawi, S., et al. (2022). The magnitude and effect of work-life imbalance on cognition and affective range among the non-western population. PLOS ONE, 17(2), e0263608.
• Bauman, Z. (2013). Liquid Modernity. Polity Press.
• International Labour Organization. (2023). Working Time and Work-Life Balance Around the World. Geneva: ILO.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji


Social Header