Breaking News

NEUROSAINS DAN RUH: RUH BUKAN GELOMBANG, BUKAN IMPULS LISTRIK, BUKAN ZAT KIMIA


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma – Depok, 16 Oktober 2025.

Di antara denyut neuron dan sunyi jiwa, manusia berdiri sebagai teka-teki yang belum selesai. Otak berkilau dalam peta sinaptik, namun ruh berbisik dalam lorong yang tak terjamah. Ilmu pengetahuan menyalakan lampu di ruang gelap kesadaran, tetapi ruh tetap bersembunyi di balik tirai metafisika. Seperti hujan yang jatuh tanpa suara di malam tak bernama, ruh hadir tanpa bentuk, namun menggerakkan seluruh tarian kehidupan. “Kesadaran adalah hasil dari aktivitas neural, tetapi ruh adalah misteri yang melampaui pengukuran” (Kandel, 2021).

Neurosains, sebagai cabang ilmu yang mempelajari sistem saraf dan otak, telah mengungkap banyak rahasia tentang pikiran dan perilaku manusia. Ia menjelaskan bagaimana memori terbentuk, bagaimana emosi muncul, dan bagaimana keputusan bisa diprediksi sebelum disadari. “Kesadaran adalah hasil dari dari aktivitas otak” (Dehaene, 2014). Namun, ketika pertanyaan tentang ruh diajukan, ilmu ini terdiam. Ruh bukanlah gelombang, bukan impuls listrik, bukan zat kimia. Ia tidak bisa direkam oleh EEG atau dipetakan oleh MRI.

Dalam perspektif spiritual, ruh adalah tiupan ilahi, sumber kehidupan, dan inti eksistensi. Islam menyebutnya sebagai urusan Tuhan yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (QS. Al-Isra’ [17]: 85). Ruh bukan objek eksperimen, melainkan rahasia yang dihayati. Dalam tradisi mistik, ruh adalah cahaya yang menembus gelapnya tubuh, menghidupkan jasad yang diam. “Ruh adalah substansi halus yang berasal dari alam tinggi dan menjadi penghubung antara tubuh dan jiwa” (Al-Ghazali, 2005). Sebagaimana ruh manusia adalah tiupan Ruh Ilahi, dia tak terperi, tak terjangkau. Ada tapi kosong, kosong tapi ada. Konsep Nibana dalam Buddhisme juga menandai titik hening yang melampaui bentuk dan pikiran; kekosongan yang bukan kehampaan, melainkan pembebasan dari ilusi dan penderitaan. “Nibana adalah keadaan tanpa keinginan, tanpa bentuk, tanpa batas” (Rahula, 1974). Dalam Hindu, dikatakan ruh berasal dari Acintya; yang tak terpikirkan, tak terjangkau oleh logika, dan hanya bisa dialami dalam keheningan batin. “Acintya adalah sifat Tuhan yang melampaui pemahaman manusia, tak terlukiskan, tak terdefinisikan” (Bhaktivedanta, 1989). Di Nusantara, Kapitayan mengenal Sang Hyang Taya; yang bukan ada, bukan tiada, bukan bentuk, bukan bayang. Ia adalah kekosongan yang mengandung semua kemungkinan, ruang spiritual yang tak bisa dipetakan. Dalam Kejawen, ruh bersenyawa dengan konsep suwung dan tan kena kinaya ngapa; kekosongan yang penuh makna, dan hakikat yang tak bisa dijelaskan, tak bisa digambarkan, hanya bisa dirasa. “Suwung bukanlah ketiadaan, melainkan ruang batin tempat Tuhan bersemayam dalam diam” (Mulder, 2001).

Beberapa pendekatan kontemporer mencoba menjembatani antara neurosains dan spiritualitas. Neurotheology, misalnya, mempelajari korelasi antara pengalaman religius dan aktivitas otak. “Pengalaman spiritual dapat dikaitkan dengan aktivasi area tertentu di otak, tetapi tidak menjelaskan hakikat ruh itu sendiri” (Newberg & Waldman, 2016). Korelasi bukanlah penjelasan. Ketika seseorang merasakan kedamaian saat berdoa, berdzikir, mendaraskan mantra, membaca japa, bermeditasi, bersembahyang, neurosains hanya menunjukkan area otak yang aktif, bukan menjelaskan mengapa kedamaian itu muncul dari doa, berdzikir, bermeditasi, bersembahyang, bukan dari data. Dia hanya memotret adanya hubungan, tapi tidak menjelaskan bagaimana hubungan dan pengaruh itu terbentuk dan berkembang.

Konklusinya, neurosains dan ruh berjalan di dua jalur yang berbeda. Neurosains menjelaskan mekanisme, ruh menghidupkan makna. Otak adalah mesin, ruh adalah nyawa. Ilmu pengetahuan boleh menjelaskan bagaimana kita menangis, tetapi ruh-lah yang membuat tangisan itu bermakna. “Ilmu adalah cahaya, tetapi ruh adalah nyala” (Nasr, 1997).

Ruh bukan untuk dijelaskan, melainkan untuk dihayati. Ia hadir dalam cinta yang tulus, dalam pengorbanan yang sunyi, dalam kejujuran yang tak terucap, dalam pulang. Ruh adalah ruang pulang untuk berrefleksi yang tak terdefinisi, tempat manusia bertemu dengan dirinya yang terdalam, yang sejati. Di sana, ilmu berhenti, dan kebijaksanaan mulai berbicara. Ruh adalah jejak Tuhan dalam diri manusia; tak terlihat, tapi selalu terasa. Seperti angin yang tak bisa ditangkap, tetapi menggerakkan daun-daun kehidupan.


Referensi:
• Kandel, E. R. (2021). The Disordered Mind: What Unusual Brains Tell Us About Ourselves. Farrar, Straus and Giroux.
• Dehaene, S. (2014). Consciousness and the Brain: Deciphering How the Brain Codes Our Thoughts. Viking.
• Al-Ghazali. (2005). Ihya Ulumuddin. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
• Rahula, W. (1974). What the Buddha Taught. Grove Press.
• Bhaktivedanta, A. C. (1989). The Science of Self-Realization. Bhaktivedanta Book Trust.
• Mulder, N. (2001). Mysticism in Java: Ideology in Indonesia. Kanisius.
• Newberg, A., & Waldman, M. R. (2016). How Enlightenment Changes Your Brain. Avery.
• Nasr, S. H. (1997). Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man. ABC International Group.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives" 
Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM