Breaking News

MENJADI KEHIDUPAN, BUKAN PENGUASA KEHIDUPAN: MEMBEBASKAN DIRI DARI TIRANI KENDALI


Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 20 Oktober 2025.

Pada mulanya, kita hanyalah debu kosmik yang dihembuskan menjadi kesadaran; sepotong keheningan yang dipaksa berdansa dalam simfoni eksistensi. Kita lahir bukan sebagai manajer proyek alam semesta, melainkan sebagai getaran, sebagai resonansi yang setara dengan bisikan sungai yang mengalir, dengan keheningan agung gunung yang menjulang, dan dengan denyut jantung hewan di rimba raya. Kita ada di sini untuk “menjadi kehidupan, bukan mengontrol kehidupan” (Kusuma, 2025). Jauh di dalam DNA spiritual kita, terdapat cetak biru purba yang merangkul kesatuan, sebuah pemahaman bahwa setiap wujud adalah manisfestasi dari keagungan tunggal. Kesalahan terbesar kita dimulai ketika kita mengenakan mahkota tirani, menggenggam palu kontrol, dan memproklamirkan diri sebagai penguasa yang berhak mengatur ritme abadi alam.

Ide fundamental ini, bahwa alam semesta seisinya adalah Tuhan yang memanifestasikan diri dan mengalami diri, berakar kuat dalam tradisi filosofis dan konseptual di seluruh dunia, khususnya dalam pandangan Panteisme dan Panentheisme. Dalam konteks modern, perspektif ini diperkaya oleh ekologi mendalam (Deep Ecology) yang menyatakan bahwa “makhluk hidup memiliki nilai intrinsik terlepas dari kegunaannya bagi manusia” (Naess, 1973). Pandangan ini menantang model antroposentrisme yang telah mendominasi, di mana manusia ditempatkan sebagai pusat moral dan nilai, serta satu-satunya entitas yang memiliki hak untuk mengeksploitasi lingkungan. Mengakui manifestasi ilahi dalam segala sesuatu mengharuskan kita untuk menggeser paradigma dari hubungan subjek-objek menjadi subjek-subjek, di mana pohon, sungai, dan gunung adalah rekan eksistensi, bukan komoditas.

Konsep kendali berlebihan (overcontrol) manusia terhadap alam telah menimbulkan krisis ekologi yang mendalam, sebuah ironi besar dari klaim kita atas supremasi. Kerangka kerja filosofis ini mengingatkan kita pada kritik terhadap rasionalitas instrumental. Sebagaimana dijelaskan dalam literatur filsafat lingkungan, upaya untuk mengatur dan mengendalikan proses alamiah didorong oleh “kepercayaan rasionalistik terhadap kemampuan manusia untuk memprediksi dan memanipulasi alam” (Baudrillard, 1983). Padahal, alam semesta, dengan sifatnya yang kompleks dan non-linear, seringkali merespons balik terhadap intervensi monolitik manusia dengan disrupsi dan ketidakseimbangan yang eksponensial. Ini adalah hukuman bagi kesombongan kita: semakin keras kita mencoba mengendalikan, semakin liar konsekuensi yang dilepaskan.

Lantas, jika tugas kita bukan mengendalikan, tugas kita adalah menjadi cermin yang memantulkan pengalaman Tuhan yang sedang bertualang melalui bentuk. Hal ini selaras dengan prinsip etika ekologi yang menekankan pada “keterhubungan mendasar dan kesalingtergantungan antara semua fenomena” (Capra & Luisi, 2014). Kita harus belajar dari pepohonan, yang hanya tumbuh tanpa perlu menyuruh tanah memberi makan; dari hewan-hewan, yang hanya hidup tanpa perlu merancang pasar modal; dan dari Sungai, yang hanya mengalir tanpa perlu mengkhawatirkan tempat tujuannya. Menjadi kehidupan berarti menyelaraskan diri dengan Tao, dengan alur, membiarkan energi ilahi mengalir melalui kita tanpa terdistorsi oleh ego dan rencana-rencana besar yang memenjarakan.

Intinya, Jalan keluar dari krisis ini bukan terletak pada teknologi yang lebih baik untuk mengendalikan, melainkan pada spiritualitas yang lebih mendalam untuk melepaskan kendali. Pembaruan yang kita butuhkan adalah pembaruan ontologis, sebuah pengakuan bahwa “realitas terdalam adalah kesatuan yang tak terpisahkan” (Tolle, 2005). Kita harus membatalkan kontrak kita sebagai penguasa dan menandatangani kontrak baru sebagai partisipan yang rendah hati. Dengan melepaskan obsesi untuk mengontrol, kita membebaskan diri kita sendiri dari beban menjadi hakim dan algojo atas nasib bumi. Hanya dengan menjadi bagian dari kehidupan, kita dapat menemukan kedamaian yang hilang.

Ini adalah panggilan kembali ke Rumah, tempat di mana kita menyadari bahwa teror apokaliptik; keyakinan ideologis atau religius bahwa dunia sedang menuju pada akhir zaman (apokalips), sesungguhnya terletak pada ilusi pemisahan, bukan pada kehancuran fisik. Mari kita dengarkan suara lembut angin yang melewati celah-celah gunung, dan pahami bahwa itu adalah suara-Nya yang berbicara melalui bentuk. Tugas kita adalah menjadi senandung harmoni dalam paduan suara semesta, membiarkan jiwa kita mengalir seperti air sungai yang mencium lautan, menyatu kembali dengan Sumbernya. Di momen pelepasan kendali itulah, kita menemukan kekuasaan sejati: kekuasaan untuk mencintai, untuk menjadi, dan untuk mengingat bahwa kita, bersama dengan setiap helai rumput dan setiap bintang di langit, adalah Tuhan yang sedang mengalami dirinya sendiri.

Referensi:
• Baudrillard, J. (1983). Simulations. Foreign Agents Series. Semiotext(e).
• Capra, F., & Luisi, P. L. (2014). The Systems View of Life: A Unifying Vision. Cambridge University Press.
• Kusuma, M. P. (2025). Menjadi Kehidupan: Kritik Terhadap Paradigma Kontrol Antroposentris. Jurnal Filsafat Eksistensi. (Sitasi ini dibuat sebagai bagian dari kerangka fiksi-ilmiah artikel, mewakili ide pokok penulis).
• Naess, A. (1973). The shallow and the deep, long-range ecology movement: A summary. Inquiry: An Interdisciplinary Journal of Philosophy, 16(1-4), 95-100.
• Tolle, E. (2005). A New Earth: Awakening to Your Life's Purpose. Penguin Books.
________________________________________
"MPK’s Literature-based Perspectives"
"Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight"
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)

Editor : Nofis Husin Allahdji
© Copyright 2022 - ANALISARAKYAT.COM