Oleh: Prof Makin Perdana Kusuma - Depok, 10 November 2025
Di langit yang tak pernah lelah menggantungkan misteri, gravitasi adalah hukum yang tak bisa dibantah. Ia menarik apel dari dahan, menjatuhkan air mata ke bumi, dan mengikat bintang-bintang dalam tarian abadi. Tak ada satu pun manusia yang berani menyangkalnya, sebab tubuh mereka sendiri adalah bukti yang tak bisa dielakkan. Namun, di sisi lain dari langit yang sama, ada keyakinan yang tak kasat mata, tak terukur, tak terdefinisi oleh rumus: agama. Ia bukan gaya tarik, melainkan gaya angkat; mengangkat jiwa dari keterpurukan, keraguan, dari kehampaan, dari keterasingan. “Kebenaran ilmiah bersandar pada observasi dan pengulangan, sedangkan kebenaran spiritual bersandar pada pengalaman dan penghayatan” (Nasr, 2006).
Gravitasi adalah konsensus universal. Dari Galileo hingga Newton, dari ISS hingga ruang kelas SD, ia diterima tanpa debat. “Hukum fisika bersifat objektif dan dapat diuji lintas budaya dan waktu” (Hawking, 2010). Sementara agama, meski telah hadir ribuan tahun, tetap menjadi medan tafsir dan perbedaan. Ada yang memeluknya dengan cinta, ada yang menjauhinya dengan luka. “Agama bukan hanya sistem kepercayaan, melainkan struktur makna yang membentuk cara manusia memahami eksistensi” (Geertz, 1973). Ia tidak hadir sebagai kepastian, melainkan sebagai kemungkinan yang menggetarkan batin. Di dalamnya, kebenaran bukan untuk dirumuskan, tapi dialami dan dihayati. Agama tidak menuntut pembuktian, melainkan perjumpaan. Dan dalam perjumpaan itu, manusia menemukan dirinya; bukan sebagai objek, tapi sebagai makhluk yang bertanya dan berharap.
Mengapa gravitasi diyakini semua orang, sementara agama tidak? Sebab gravitasi menunjukkan dirinya dalam setiap langkah kita. Ia tidak meminta iman, hanya pengakuan. Sedangkan agama menuntut lompatan batin, keberanian untuk percaya pada yang tak terlihat. “Kepercayaan religius adalah bentuk pengetahuan yang melampaui empirisme, namun tetap memiliki validitas dalam ranah eksistensial” (Tillich, 1957). Di sinilah letak perbedaan mendasar: satu berbicara pada tubuh, yang lain pada jiwa. Gravitasi menjatuhkan benda, tapi agama mengangkat makna. Yang satu bisa diukur dengan massa dan jarak, yang lain hanya bisa dirasakan dalam hening dan harap. Kita tidak pernah berdoa kepada gravitasi, tapi kita berserah kepada Tuhan. Dalam ruang batin manusia, yang tak terlihat seringkali lebih menentukan arah hidup daripada yang tampak.
Namun, bukan berarti agama lebih lemah dari sains. Justru, dalam ruang batin manusia, agama menawarkan sesuatu yang tak bisa diberikan oleh gravitasi: makna. “Sains menjelaskan bagaimana dunia bekerja, agama menjelaskan mengapa dunia layak untuk dijalani” (Barbour, 1997). Dalam dunia yang semakin mekanistik, kaku dan kering, agama menjadi oasis bagi pencari makna, bukan sekadar pengetahuan. Dalam dunia yang serba berkompetisi, yang semua urusan berdesak-desakan, yang saling menaklukkan, yang menyesakkan, agama menjadi tempat pulang untuk menemukan ketenangan dan kesejukan.
Kesimpulannya, gravitasi dan agama bukanlah dua kutub yang saling meniadakan. Mereka adalah dua cara manusia memahami kenyataan: yang satu melalui hukum, yang lain melalui harapan. “Kebenaran tidak tunggal, melainkan berlapis dan multidimensi” (Habermas, 1984). Kita tidak harus memilih antara keduanya, melainkan belajar berdamai dengan keduanya.
Dan di akhir renungan ini, kita menyadari: gravitasi menarik kita ke bumi, tapi agama mengangkat kita ke langit. Di antara keduanya, manusia berdiri dengan kaki di tanah dan mata menatap Bintang di langit jiwa. Mungkin, kebenaran sejati bukanlah yang bisa dibuktikan, tapi yang bisa mengubah kita. Sebab, dalam sunyi yang paling dalam, kita tidak bertanya “berapa berat tubuhku?”, melainkan “apa arti hidupku?”. Dan jawaban itu, tak akan ditemukan dalam rumus, melainkan dalam hati yang hening, bening, merunduk kepada Sang Pencipta semesta.
Referensi:
• Nasr, S. H. (2006). The Essential Sophia. World Wisdom.
• Hawking, S. (2010). The Grand Design. Bantam Books.
• Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. Basic Books.
• Tillich, P. (1957). Dynamics of Faith. Harper & Row.
• Barbour, I. G. (1997). Religion and Science: Historical and Contemporary Issues. HarperCollins.
• Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action. Beacon Press.
________________________________________
MPK’s Literature-based Perspectives Turning Information into Knowledge – Shaping Knowledge into Insight
________________________________________
(Keterangan Keterbukaan: Ide pokok artikel didapatkan dari pengamatan di dunia maya dan pengalaman di dunia nyata. Konteks, kerangka pemikiran, format, alur dan gaya bahasa dikembangkan oleh penulis. Bahan dirangkai, disusun, dan diperkaya menggunakan AI. Gambar pendukung dibuat dengan AI)
Editor : Nofis Husin Allahdji


Social Header